10 Tahun Liga Kompas, Melahirkan Puluhan Pemain Timnas

Minggu, 22 September 2019, laga pekan pertama musim ke-10 Liga Kompas U-14 bakal digelar. Selama satu dekade, kompetisi usia muda yang diikuti 16 sekolah sepak bola di kawasan Jabodetabek ini telah melahirkan puluhan pemain timnas di berbagai kelompok umur dan pemain profesional di sejumlah klub Liga 1 yang diharapkan mengangkat prestasi persepakbolaan Indonesia.

Hari itu juga menandai komitmen Kompas dalam ikut melakukan pembinaan usia dini di tengah kondisi terpuruknya persepakbolaan nasional. Sejumlah sponsor turut membantu seperti Kacang Garuda, Suzuki, SKF, Nestle, Ortuseight, dan Freeport Indonesia.

Kelahiran Liga Kompas memang dilandasi keprihatinan terhadap prestasi sepak bola Indonesia yang terus mengalami kemunduran. Awalnya, Kompas bersama sejumlah tokoh sepak bola nasional mulai dari Bob Hippy, JC Moerad, Taufik Jusral Effendi, Fritz Simanjuntak, hingga Sutan Harharah menggagas gelaran Liga Kompas Gramedia U-14 pada 2010. Kompetisi usia muda itu diharapkan menjadi jembatan pembinaan sepak bola nasional.

Warta Kota/Umar Widodo
Komite Liga Kompas Gramedia U-14 2010, (dari kiri) Bob Hippy, Anton Sanjoyo, JC Moerad, dan Sutan Harharah, memamerkan bola merek Triple-S yang akan digunakan selama kompetisi Liga Kompas musim pertama berlangsung.

Saat kompetisi ini pertama kali digelar, nyaris tidak ada kegiatan sepak bola untuk kategori usia anak di bawah 13 tahun (U-13) maupun U-14 yang kompetitif. Hal itu membuat pesepak bola muda tidak memiliki wadah pembinaan berkelanjutan. Lahirnya Liga Kompas Gramedia (LKG) U-14 mengisi kekosongan tersebut.

Dengan semangat menjunjung tinggi sportivitas, kejujuran, dan kualitas, Liga Kompas pun diharapkan bisa turut menelurkan bibit sepak bola handal demi membenahi sepak bola nasional di masa mendatang.

”Kompetisi usia 14 tahun ini untuk menyambung pembinaan yang terputus. Tanpa pembinaan usia muda yang berkesinambungan, lubang-lubang pembinaan sepak bola tidak akan tertutup,” ujar Wakil Ketua Umum LKG U-14 Bob Hippy saat jumpa pers di Jakarta, Sabtu (17/7/2010), atau sehari sebelum pembukaan musim pertama Liga Kompas di Lapangan C Senayan, Jakarta.

Kompas/Agus Susanto
Pemain SSB Asiop Apac Inti A, Ryan Irsandi (kanan) berebut bola dengan pemain SSB Tangerang Raya, Retiana Mia Shandy (kiri) dalam laga Liga Kompas U-14 di Lapangan AS-IOP, Senayan, Jakarta, Minggu (3/10/2010). Kondisi lapangan yang tergenang air tak menyurutkan semangat anak-anak muda ini bertarung meraih kemenangan.

Pada mulanya, Liga Kompas belum bergulir dengan sistem kompetisi penuh. Ketika itu, liga yang diikuti 16 tim sekolah sepak bola (SSB) tersebut hanya bergulir dengan sistem setengah kompetisi dengan total pertandingan mencapai 120 laga. Namun, pada tahun ketiga, liga diputuskan bergulir dengan sistem kompetisi penuh dengan jumlah pertandingan mencapai 300 laga. Dengan demikian, setiap tim memainkan pertandingan kandang dan tandang.

Menjunjung sportivitas

LKG U-14 sangat menekankan nilai-nilai fair play dansportivitas di lapangan maupun di luar lapangan agar pesepak bola yang lahir menjadi lebih baik. Sebelum kompetisi bergulir, misalnya, pengurus berupaya penuh untuk mencegah pencurian umur yang sering menjadi masalah utama dalam kompetisi usia muda nasional.

Screening pemain dilakukan dengan pengecekan terhadap satu per satu pemain disertai bukti-bukti pendukung. Bukti-bukti tersebut berupa akte kelahiran, kartu keluarga, nomor induk siswa, dan buku rapor sekolah. Jika ada keraguan, ada pemeriksaan gigi dan tulang oleh dokter.

Kompas/Iwan Setiyawan
Mochamad Chikal Ulung Perkasa, pemain SSB Pemuda Jaya, menjalani pemeriksaan fisik oleh dokter sebagai syarat untuk bisa bermain di Liga Kompas di Gedung Kompas, Jakarta, Rabu (14/9/2011). Selain menjalani verifikasi administratif, setiap pemain juga menjalani pemeriksaan fisik untuk menghindari kecurangan pencurian umur.

Di lapangan, selama bertanding, pemain wajib dan mutlak harus mematuhi keputusan wasit. Pemain dan atau pelatih yang dinilai tidak sportif akan dikenai sanksi, salah satunya dicoret dari seleksi pemain/pelatih menuju Piala Gothia. Mulai musim 2018/2019, untuk memicu agar pemain terus mengedepankan sportivitas, diadakan penghargaan Tim Fair Play. Seusai bertanding, semua pemain dan pelatih wajib menyalami pemain dan pelatih tim lawan.

Liga juga mengupayakan pemerataan jam tanding untuk para pemain. Semua pemain wajib diturunkan minimal selama 15 menit. SSB yang melanggar peraturan ini dikenai sanksi pengurangan 1 poin. Aturan ini mencegah SSB bermain demi mengejar kemenangan semata.

Sebab, tujuan utama kompetisi ini adalah pembinaan atlet usia muda. ”Yang terpenting dari kompetisi ini adalah membiasakan bibit-bibit muda sepak bola dengan iklim kompetisi. Dengan kompetisi akan muncul pemain,” kata salah satu penggagas LKG, JC Moerad.

Tampil di Piala Gothia

Liga Kompas bukan akhir dari pembinaan para pemain yang berpartisipasi. Sejak musim pertama, pengurus liga lewat sejumlah pemandu bakat mencari pemain-pemain terbaik untuk menjadi satu tim yang dikirim ke ajang turnamen sepak bola kelompok usia terbesar di dunia, Piala Gothia di Gothenburg, Swedia setiap bulan Juli.

Arsip Cheng Kwok-Keung
Suasana keceriaan tim ASIOP Apacinti SKF Indonesia, sebagai perwakilan dari Liga Kompas, setelah kemenangan 1-0 atas Dallas Texans (Amerika Serikat), pada semifinal kelompok umur 14 tahun Piala Gothia 2013 di Gothenburg, Swedia, Jumat (19/7/2013). ASIOP SKF akhirnya menduduki posisi runner up setelah kalah adu penalti pada final Sabtu (20/7), dari NK KRSKO (Slovenia).

Salah satu pemandu bakat LKG U-14, Dede Sulaeman mengatakan, ada empat aspek utama dalam menilai pemain muda, yakni bakat, sikap yang baik, kontribusi terhadap tim, dan konsistensi pernampilan. ”Namun, untuk saya, dua yang pertama, yakni bakat dan sikap merupakan komponen terpenting,” tutur penyerang timnas Indonesia dekade 1970-1980-an itu.

Bibit sepak bola Indonesia nyatanya bisa bersaing di dunia internasional jika dikelola dengan baik. Sepuluh kali mengirim tim ke Piala Gothia, sepuluh kali pula tim itu bisa memberikan prestasi cukup membanggakan di ajang prestisius yang sering disebut sebagai Piala Dunia-nya anak-anak tersebut. Prestasi paling membanggakan ketika tim menjadi pemenang ketiga pada 2012, pemenang kedua pada 2013, dan pemenang ketiga pada 2018.

Bermain di Piala Gothia diharapkan memberikan pengalaman besar untuk para pemain tentang bagaimana suasana persaingan tingkat dunia. Hal itu diharapkan pula bisa membentuk mental mereka menjadi lebih tangguh. Selama ini, mental bertarung yang kurang menjadi salah satu kelemahan pesepak bola Indonesia ketika bersaing di kejuaraan internasional.

”Jalan utama memperbaiki prestasi sepak bola nasional adalah memperbaiki pembinaan sepak bola usia muda. Sebab, dari para pemain muda tersebut fondasi sepak bola nasional berasal. Jika fondasinya tidak kuat, ke depan, tim nasional yang dihasilkan pun tidak akan solid,” ujar Dede.

Menjadi pemain nasional

Dengan sejumlah aturan ketat liga dan kesempatan dikirim bertanding ke Piala Gothia, tak sedikit alumni Liga Kompas menjadi pemain muda handal yang kemudian direkrut oleh klub Liga Indonesia, klub luar negeri, hingga bergabung dengan timnas berbagai kelompok usia.

Para pemain itu diantaranya Egy Maulana Vikri yang kini bermain di Liga Polandian bersama Lechia Gdańsk, Billy Keraf yang bermain di Liga 1 bersama Pusamania Borneo FC, dan masih banyak lagi. Sekarang, puluhan almuni LKG U-14 bermain untuk berbagai kelompok umur timnas mulai dari U-16, U-19, hingga U-23.

AFP PHOTO/KIM DOO-HO. Insert: Kompas/Gatot Widakdo
Egy Maulana Vikri saat memperkuat timnas Indonesia melawan Brunei Darussalam pada laga Piala AFC U-19 di Paju, Korsel, 31 Oktober 2017. Insert: Egy saat mewakili Liga Kompas pada Piala Gothia di Gothenburg, Swedia, Swedia, Selasa (15/7/2014).

Bagi sejumlah alumni, Liga Kompas banyak memberikan manfaat untuk perjalanan kariernya. Bek Persija U-16, Muhammad Uchida Sudirman misalnya. Kapten tim LKG-SKF Indonesia di Piala Gothia 2018 itu menuturkan, Liga Kompas mengajarkannya cara bersikap menjadi atlet yang baik, yakni belajar fair play dan sportivitas. Skill dan mental bertandingnya pun terasah dengan baik setelah menjalani 30 laga semusim dan beberapa laga hingga semi final Piala Gothia 2018.

”Saya banyak belajar cara bersikap di dalam dan luar lapangan selama di LKG U-14. Kemampuan saya bermain bola juga semakin terasah karena menjalani 30 laga semusim dan ikut Piala Gothia. Kata beberapa pelatih dan pemandu bakat, sikap dan jam terbang adalah faktor penting yang mendukung kesuksesan karier pesepak bola,” kata pemain SSB ASIOP Apacinti di Liga Kompas musim 2018 itu.

Pelatih timnas U-23 Indra Sjafrie mengutarakan, kompetisi usia dini seperti Liga Kompas membantu mengasah talenta-talenta berbakat sepak bola di Tanah Air. ”Jika melihat profil-profil (pemain timnas Indonesia), hampir separuhnya pernah ikut LKG U-14. Kerja sama antara swasta, sponsor, pemerintah, dan PSSI harus terus didorong agar lebih banyak muncul pemain yang kita inginkan,” tuturnya.

Indra menambahkan, kompetisi semusim penuh seperti LKG U-14 tidak semata mengasah kemampuan teknik pemain muda, tetapi juga mental dan karakter. ”Di Indonesia banyak pemain dengan teknik dan fisik yang hebat. Namun, satu yang kurang, yaitu mental. Inilah yang harus diasah agar kita bisa kompetitif (di kancah internasional),” ujarnya.

Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi menyampaikan, Liga Kompas yang dilaksanakan dengan sistem yang jujur dan terukur merupakan contoh ideal untuk menggerakkan kompetisi usia muda. ”Kami sangat senang, bergembira, dan mendukung agar LKG ini tidak hanya diikuti oleh sekian kota dan kabupaten di Jabodetabek, tetapi harus diperluas, dan menjadi liga resmi U-14 secara nasional,” harapnya.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Pemain tim nasional U-23 Billy Keraf (tengah) berusaha melewati hadangan pemain Semen Padang Novrianto dalam laga uji coba di Stadion Madya, Gelora Bung Karno, Jakarta, Selasa (12/3/2019). Billy adalah salah satu alumni Liga Kompas yang berhasil masuk timnas Merah Putih dan kini bermain di Liga 1 Pusamania Borneo FC.

Salah satu pendiri sekaligus anggota komite Liga Kompas, Anton Sanjoyo menyampaikan, LKG U-14 diharapkan menghasilkan sekumpulan pemain berkualitas yang kelak akan berkompetisi ke jenjang yang lebih tinggi hingga mencapai level senior. ”Kompetisi ini diharapkan bisa menyelamatkan satu generasi sepak bola Indonesia dari ‘kepunahan’,” ujarnya ketika LKG U-14 edisi pertama akan digulirkan.

Kini, 10 tahun kemudian, kompetisi ini telah melahirkan para pemain profesional yang bermain di Liga 1 dan puluhan pemain timnas yang diharapkan mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.