100 Tahun RSCM, Senjata Biologis, dan Simpul Kebangsaan

Hari ini, 19 November 2019, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) genap berusia 100 tahun. Lembaga yang semula bernama Centraal Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ) ini berdiri pada 1919.

Menurut sejarawan kesehatan Ravando Lie yang sedang menempuh program doktoral di Melbourne, Australia, rumah sakit itu semula berada di bawah pengelolaan Kotapraja Batavia.

”Sebelum dijadikan Rumah Sakit CBZ tahun 1919, di lokasi yang sama sudah ada rumah sakit bernama Staat Verband. Lembaga tersebut berada di bawah Gemeente atau Kotapraja Batavia. Pada saat berdiri, CBZ memang disiapkan menjadi rumah sakit modern di awal abad ke-20,” kata Ravando yang melakukan sejumlah riset sejarah medis dengan menggunakan arsip media-media Melayu-Tionghoa.

”Terdapat 200-an kamar rawat, fasilitas rumah pompa air, fasilitas dapur, tempat mesin-mesin, bangunan paviliun besar untuk perawatan pasien, dan berbagai fasilitas lain,” lanjut Ravando.

Kompas/Dudy Sudibyo
Gedung RSCM ketika diabadikan pada 19 November 1979. Rumah sakit yang semula bernama CBZ itu tahun ini genap berusia satu abad atau 100 tahun.

Direktur pertama CBZ adalah seorang Eropa, yakni dokter Hulshoff. Pendirian CBZ itu berlangsung tidak lama setelah wabah global flu Spanyol melanda dunia pada tahun 1918-1919 yang menelan korban jutaan jiwa di seluruh belahan bumi menyusul berakhirnya Perang Dunia I di Eropa. Flu Spanyol adalah satu dari sekian jenis wabah penyakit maut yang merajalela pada zaman itu.

Tio Tek Hong dalam buku Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Sebuah Kenangan 1882-1959, mencatat pentingnya fasilitas air bersih. Tio yang memiliki toko senjata api dan alat musik di Pasar Baru menceritakan pengalaman keluarganya melarikan diri atau menjauhi wabah kolera yang menyebar lewat air yang dikonsumsi warga Batavia.

Ketika itu, begitu cepatnya sumber air tercemar sehingga warga harus mengungsi menjauhi lokasi wabah penyakit. Tio Tek Hong sempat mengungsi ke daerah pegunungan di Bogor dan arah Sukabumi untuk menghindari wabah kolera. Ketika kembali ke Pasar Baru, Tio Tek Hong mendapati beberapa tetangganya sudah tiada, menjadi korban wabah kolera.

Berbagai wabah yang disebarkan lewat udara dan air memang menjadi momok pada tahun 1800-an dan awal 1900-an di Hindia Belanda dan terutama Pulau Jawa.

Ravando menjelaskan, kolera, disentri, pes, tuberkulosis, menjadi hantu mematikan bagi warga Hindia Belanda semasa itu. Keberadaan fasilitas pompa air dan sarana air bersih di CBZ merupakan salah satu jawaban terhadap wabah penyakit.

Soal diskriminasi dan perbedaan antara tuan atau penguasa kolonial dengan kawula jajahan juga mewarnai perjalanan sejarah CBZ. Ravando mengungkapkan, dalam sebuah terbitan Sin Po, dituliskan sindiran terhadap dokter-dokter Eropa dan pengelola CBZ yang menanyakan kebangsaan pasien sebelum memberikan pertolongan.

Perlakuan diskriminasi tersebut memicu berbagai golongan, seperti bumiputra, bangkit dengan gerakan Boedi Oetomo dan golongan Tionghoa mendirikan beberapa rumah sakit. Salah satunya adalah Rumah Sakit Jang Seng Ie (kini Rumah Sakit Husada di Jakarta Barat, tempat dr Tjipto Mangoenkoesoemo wafat pada 8 Maret 1943) dan beberapa rumah sakit Tionghoa di sejumlah wilayah di Pulau Jawa.

Menurut Ravando, Tjipto ditangani salah satu sahabatnya di RS Jang Seng Ie, yakni dokter Kwa Tjoan Sioe, hingga menutup mata dalam sakit yang menggerogotinya. Tjipto sangat menderita karena untuk mendapatkan suntikan adrenalin guna mengurangi rasa sakitnya pun tidak ada semasa pendudukan Jepang.

Namun sayang, tidak banyak informasi yang menjelaskan sejarah CBZ-RSCM di rumah sakit nomor satu Republik Indonesia itu. CBZ berganti nama menjadi Roemah Sakit Oemoem Negeri (RSON) di zaman Jepang, lalu pada tahun 1945 menjadi Roemah Sakit Oemoem Poesat. Baru pada tahun 1964, oleh Presiden Soekarno, rumah sakit itu diberi nama Rumah Sakit Tjipto Mangoenkoesoemo (ejaan sekarang menjadi Cipto Mangunkusumo, sehingga disingkat RSCM).

Soekarno menangis ketika memberi nama resmi Rumah Sakit Tjipto. ”Onze Tjip… (Tjipto kita…),” demikian Bung Karno mengingat mentor kebangsaannya itu.

Tjipto berulang kali memberikan nasihat kepada Bung Karno bahwa Republik Indonesia kelak yang beraneka ragam suku, bangsa, dan keyakinan akan dilandasi semangat kebangsaan yang inklusif dan bukan semata gairah identitas keagamaan.

Tjipto yang lahir di Pecangaan dekat Jepara tahun 1866 adalah pendobrak pada zamannya. Pada Kongres I Boedi Oetomo tahun 1908, dia sudah mendesak agar perkumpulan itu menjadi gerakan politik praktis memperjuangkan kawula Jawa.

Tjipto pun menjadi dokter pro bono, kata Ravando, mengobati wabah pes di Malang ketika tidak ada dokter mau masuk ke daerah tersebut karena sudah banyak warga yang meninggal. Di sana, Tjipto menyelamatkan anak perempuan yang ayah-ibunya meninggal karena pes. Anak tersebut diberi nama Pesjati, yang kemudian merawatnya hingga akhir hidupnya.

Dokter Tjipto, yang kemudian mendapat penghargaan medali Ridder van Oranje Nassau, ditolak ketika hendak ikut memberantas wabah pes di wilayah Surakarta. Medali tersebut kelak dipasang Tjipto di pantatnya sebagai tanda protes terhadap penguasa Hindia Belanda.

Medali tersebut kelak dipasang Tjipto di pantatnya sebagai tanda protes terhadap penguasa Hindia Belanda.

Tjipto kemudian mendirikan Partai Hindia (Indische Partij), bersama Douwes Dekker dan Suwardi Surjaningrat, untuk memperjuangkan Hindia merdeka untuk orang-orang Hindia, yakni kaum bumiputra dan berbagai kaum lainnya yang memiliki gagasan sama untuk bebas dari belenggu kolonialis.

Tjipto pun memperjuangkan kesetaraan dalam kehidupan. Dia menikahi Nyonya Vogel dan mempunyai dua anak angkat lainnya, yakni Donald dan Louis Vogel. Bersama Pesjati, mereka semua menemani Tjipto yang dibuang ke Banda pasca-pemberontakan PKI. Penulis pernah mengunjungi rumah pembuangan dr Tjipto dan keluarga di Banda Neira.

Kompas/Ferganata Indra Riatmoko
Rumah pengasingan salah satu perintis gerakan nasionalis Indonesia, dr Tjipto Mangoenkoesoemo, yang menempati rumah itu beserta keluarganya pada tahun 1928-1940, di Pulau Naira, Kepulauan Banda Naira, Maluku, Jumat (23/7/2010).

Tjipto menolak diungsikan ke Australia dan hidup aman dalam lindungan Sekutu ketika pecah Perang Dunia II. Dia memilih kembali ke Jawa meski sakit-sakitan akibat tuberkulosis yang mendera tubuhnya yang semakin kurus.

Tidak banyak yang tersisa dari kenangan terhadap dokter rakyat yang mengobati warga secara cuma-cuma dan rela hidup sederhana sambil memperjuangkan gagasan kebangsaan yang inklusif mendahului zamannya itu!

Senjata biologis Jepang

Mewarnai sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia, kompleks CBZ-RSCM juga menjadi saksi kekejaman Jepang pada Perang Dunia II tahun 1942-1945. Praktik pembuatan senjata biologis yang diuji coba pada ribuan romusha Indonesia mengakibatkan para dokter Indonesia di Lembaga Eijkman di kompleks CBZ menjadi kambing hitam Kempeitai.

Dokter Achmad Mochtar, Direktur Lembaga Eijkman, dibantai Kempeitai Jepang pada 3 Juli 1945 demi melindungi belasan koleganya yang bersama dirinya dituding Jepang menyabot vaksin TCD (typhus, cholera, dysentrie). Padahal, vaksin tersebut buatan Lembaga Pasteur di Bandung, Jawa Barat.

Tropenmuseum
Gedung Lembaga Eijkman di Jalan Diponegoro 69, Jakarta Pusat. Dokumentasi Tropenmuseum, Belanda.

Sejarawan Didi Kwartanada mengatakan, kasus uji coba vaksin dengan mengorbankan ratusan jiwa—ada yang menyebut ribuan—romusha Indonesia tersebut dihilangkan dari catatan sejarah.

Kasus tersebut mirip dan diduga terkait dengan Unit 731 Angkatan Darat Jepang yang mengadakan uji coba senjata biologis terhadap tawanan perang dan manusia di daerah pendudukan Jepang di China dan seantero Asia Tenggara.

Tahun 2015, Direktur Lembaga Bio Molekuler Eijkman Sangkot Marzuki dan J Kevin Baird meluncurkan buku tentang Achmad Mochtar, berjudul War Crimes in Japan-Occupied Indonesia: A Case of Murder by Medicine. Mereka mengungkapkan betapa Mochtar dan kawan-kawan disiksa Kempeitai di kompleks sekolah hukum tinggi (kini kompleks Kementerian Pertahanan).

Mochtar kemudian diberitakan dipenggal Jepang, walau ada keterangan lain yang menyatakan tubuhnya hancur digilas mesin giling (stoomwals) Jepang. Kasus vaksin tersebut, seperti kasus Unit 731 yang dipimpin Ishi, kemudian menghilang dari pengadilan kejahatan perang di Tokyo yang dipimpin Amerika Serikat setelah Perang Dunia II berakhir.

Simpul kebangsaan

Semangat dr Tjipto dan Rumah Sakit CBZ adalah simpul sejarah pergerakan hingga kemerdekaan Indonesia menjadi sebuah bangsa. Ada benang merah yang erat di antara pergerakan kebangsaan yang melahirkan Sumpah Pemuda tahun 1928 melalui para mahasiswa kedokteran STOVIA yang bekerja di CBZ.

Kompas/Dudy Sudibyo
Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo pada akhir Maret 1976.

Jejak langkah kebangsaan itu dilanjutkan lagi menjelang Indonesia merdeka tahun 1945, sekali lagi lewat para mahasiswa (mahasiswa Ika Daigaku atau Fakultas Kedokteran), zaman pendudukan Jepang yang juga berpraktik di CBZ.

Sebagian dari pemuda yang menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok dan hadir pada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia adalah mahasiswa Ika Daigaku yang aktif berkarya di kompleks CBZ.

Semoga semangat dokter kerakyatan dan teladan dr Tjipto soal pelayanan dan keberagaman terus menjadi jiwa rumah sakit di Indonesia!

Pada zaman peralihan Orde Lama ke Orde Baru pun, mahasiswa-mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia turut memberi warna Angkatan 1966. Arief Rahman Hakim, simbol perjuangan mahasiswa Angkatan 1966, adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Pun ada peralihan rezim Orde Baru ke zaman Reformasi, lagi-lagi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan kompleks RSCM menjadi bagian sejarah berakhirnya rezim militer Soeharto yang berkuasa pada 1966-1998.

Setelah perjalanan sejarah yang panjang, tahun 1994 nama resmi yang diberikan adalah Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Cipto Mangunkusumo. Semoga semangat dokter kerakyatan dan teladan dr Tjipto soal pelayanan dan keberagaman terus menjadi jiwa rumah sakit di Indonesia!