Jika membicarakan kiprah tim nasional Hindia-Belanda di Piala Dunia 1938, nama dr Achmad Nawir atau lebih umum dikenal dengan Nawir tidak bisa dilepaskan dari capaian bersejarah itu. Ia adalah kapten tim gado-gado bentukan Persatuan Sepak Bola Hindia-Belanda (NIVU) yang terdiri pemain beretnis pribumi, Belanda, dan Tionghoa.
Meskipun hanya bermain satu kali di babak gugur 16 besar dan tumbang 0-6 dari Hongaria, Nawir menciptakan sejarah tersendiri bagi Hindia-Belanda. Tidak hanya soal ban kapten yang dilekatkan di lengan kirinya, tetapi juga penampilannya yang khas dengan menggunakan kacamata.
Jauh sebelum eks pemain bintang Belanda, Edgar Davids, menggunakan kacamata pada awal dekade 2000-an, Nawir telah menjadi pemain pertama yang menggunakan atribut bantuan penglihatan itu.
Nawir menggunakan kacamata bukan disebabkan penglihatannya terganggu akibat konsumsi obat-obatan seperti Davids. Ia berkacamata karena terlalu tekun belajar untuk menempuh pendidikan kedokteran di Sekolah Kedokteran Hindia-Belanda (NIAS) yang kini telah menjadi Universitas Airlangga.
Dibandingkan rekan setimnya, penampilan Nawir juga terlihat lebih pendek. Tetapi, kemampuan olah bola dan jiwa kepemimpinannya diakui oleh media-media Hindia-Belanda, akhir 1930-an. Nawir dikenal sebagai pemain gelandang yang pandai mengatur permainan, memiliki tendangan keras, dan bisa membimbing rekan setimnya.
Baca “Seri Legenda Sang Garuda” lainnya: Ramang, Mitos Teragung Sepak Bola Indonesia
Nawir piawai mengisi posisi tengah pada formasi 2-3-3-2 yang bisa bertransformasi menjadi 2-5-3. Posisi Nawir adalah di sisi kiri pada tiga gelandang di depan dua bek tengah. Di era modern saat ini, Nawir lebih berperan sebagai inverted full-back yang bisa bermain di tengah maupun di sisi sayap.
Nawir dikenal sebagai pemain gelandang yang pandai mengatur permainan, memiliki tendangan keras, dan bisa membimbing rekan setimnya.
Di mana pun Nawir bermain, ia selalu menjadi kapten tim. Pada 1930, ia membela HBS (Houdt Braef Standt), perkumpulan sepak bola pertama yang dibelanya di Surabaya, Jawa Timur. Setahun membela HBS, ban kapten pertama kali ia kenakan dalam karier sepak bolanya.
Koran Surabaya berbahasa Belanda, Soerabaijasch Handelsblad, menjadi media massa yang pertama kali menyebut kiprah Nawir di HBS. Itu hadir pada edisi 11 Mei 1931 yang melaporkan kekalahan HBS, 2-3, dari tim Tiong Hwa.
Lalu, koran Hindia-Belanda lainnya, De Locomotief, memuat berita di edisi 4 Agustus 1931 dengan menyebut Nawir sebagai bagian skuad HBS yang mengikuti turnamen mini di Semarang, Jawa Tengah. Nawir tampil pada dua laga di turnamen itu menghadapi Go Ahead (3-2) dan MOT (2-2).
Memasuki tahun 1932, Nawir direkrut untuk bermain di SVB (Soerabajase Voetbal Bond)—cikal bakal Persebaya—bersama sejumlah pemain multietnis dari bersuku Jawa, Timur, Tionghoa, hingga Belanda. Ketika menyambut musim kompetisi NIVU pada 1935, Nawir mulai dipercaya untuk menjadi kapten SVB.
Pada periode itu, Nawir terdaftar sebagai bagian skuad dari HBS dan SVB. Selain berstatus sebagai pemain inti, ia juga dipercaya sebagai kapten tim. Kepercayaan sebagai pemimpin di kedua tim itu tidak pernah lepas dari dirinya hingga Nawir memutuskan gantung sepatu pada 1949.
Statusnya itu membuat trio pemimpin skuad NIVU untuk Piala Dunia 1938, yaitu F Van Bommel (pemimpin umum), RE Weiss (pemimpin tim), dan JC Mastenbroek (pemimpin teknis sekaligus pelatih), sepakat menunjuk Nawir sebagai kapten duta Asia pertama di turnamen sepak bola terakbar di dunia itu.
Foto-foto pemimpin tim Hindia-Belanda untuk Piala Dunia 1938 yang dimuat dalam koran berbahasa Belanda, “De Indische Courant, edisi, 28 April 1938. Mereka adalah Pemimpin Umum F Van Bommel (atas), Pemimpin Tim RE Weiss (bawah), dan pemimpin teknis sekaligus pelatih JC Mastenbroek (tengah).
Media Hindia-Belanda, Dagblad Van Noordbrabant, edisi 4 Juni 1938, yang mengulas persiapan tim Hindia-Belanda dan Belanda untuk Piala Dunia edisi kedua itu menampilkan foto Nawir. Foto pemain, yang lahir pada 1911 itu, bersanding dengan kapten tim ”Oranye” ketika itu, Puck van Heel.
Kedua tim Belanda itu pun langsung tersisih di laga pertama. Jika Hindia Belanda dilibas Hongaria, yang menjadi runner-up, Belanda kalah dari Cekoslovakia, 0-3.
”Ini pertama kali dan terakhir kesebelasan NIVU melawat ke luar negeri untuk Piala Dunia,” tutur Nawir kepada Kompas yang dimuat di edisi Minggu, 20 April 1980.
Hasil seleksi
Perjalanan Nawir mencetak sejarah di Perancis 1938 melalui proses yang panjang. Ia mulai bergabung dengan tim sepak bola di Jakarta, SVVB, pada 1926. Bakat alam dan kemauan keras untuk berlatih menjadi modal kuat Nawir untuk menetapkan keseriusan menjadi pemain sepak bola di luar ambisi memenuhi mimpi menjadi dokter.
Ia pindah ke Surabaya dan bergabung dengan HBS menyusul keputusannya melanjutkan kuliah kedokteran di NIAS. Ketika NIVU gencar melangsungkan turnamen di beberapa wilayah di Pulau Jawa, seperti Surabaya, Bandung, Semarang, dan Jakarta, Nawir aktif mengikuti kompetisi itu, baik ketika tampil di turnamen mini bersama HBS dan dalam kejuaraan resmi dengan membela SVB.
Persiapan untuk menjalani Piala Dunia 1938 telah digagas NIVU sejak akhir 1937. Tiket ke Perancis 1938 adalah jatah satu tiket dari Grup 12 (zona Asia). Hindia-Belanda lolos ke Piala Dunia edisi kedua menyusul pengunduran diri Jepang pada laga kualifikasi.
Sebelumnya, keputusan pada laga kualifikasi itu ditentukan FIFA dalam rapat umum di Paris, Perancis, April 1936. Menurut berita media Hindia-Belanda, De Locomotief, NIVU menjadi delegasi perwakilan Hindia-Belanda yang diundang dan diakui FIFA, meski ketika itu Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) telah berdiri sejak 1930.
Pertemuan umum FIFA 1936 adalah agenda FIFA pertama yang diikuti NIVU sejak menjadi anggota induk sepak bola dunia itu, Mei 1934. Kala itu, NIVU masih bernama NIVB (Nederlandsch-Indische Voetbal Bond).
Untuk membentuk skuad tim Hindia-Belanda, NIVU melakukan pertandingan untuk menyeleksi pemain. Laga seleksi itu pertama kali berlangsung pada 13 Februari 1938 yang mempertemukan tim kombinasi Jawa Tengah dan Barat menghadapi tim Jawa Timur di Lapangan Tambaksari, Surabaya.
Pertandingan itu dimenangi Jawa Timur, 5-4. Nawir menjadi kapten tim Jawa Timur. Kemudian, 11 pemain terbaik dari duel itu dikumpulkan ke dalam tim Hindia XI (Indisch XI) yang bertarung menghadapi Hindia Lainnya (Rest van Indie) di tempat yang sama. Nawir, yang masuk ke dalam tim Rest van Indie, gagal membawa timnya terhindar dari kekalahan, 2-3.
Tim Indisch XI ini yang kemudian dibawa NIVU keliling Pulau Jawa untuk melakukan persiapan. Secara mengejutkan, tim bentukan NIVU tumbang, 0-4, melawan Voetbal Bond Bandoeng en Omstreken (VBBO) pada laga ekshibisi di Lapangan Sidolig, Bandung, 13 Maret 1938. Saat itu, Nawir belum masuk ke dalam skuad Hindia-Belanda.
Sebelum menetapkan skuad final, NIVU menjalani laga uji coba terakhir melawan HBS di Surabaya, 18 April 1938. Pada saat itu, NIVU memusatkan aktivitas organisasinya di Surabaya. Salah satu buktinya, koran Soerabaijasch Handelsbad edisi 1 Juni 1936 memuat foto agenda acara makan malam yang dihadiri sekitar 120 pengurus NIVU di Hotel Simpang, Surabaya.
Pada laga uji coba itu, NIVU unggul 3-1. Merujuk arsip De Indische Courant, nama Nawir sudah masuk ke dalam skuad inti NIVU di pertandingan itu. Bahkan, Nawir sudah menjadi kapten tim.
Hanya berjarak sembilan hari sejak laga melawan HBS, 27 April, tim Hindia-Belanda memulai perjalanan ke Perancis melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
”Suasana Tanjung Priok penuh sesak karena kehadiran ratusan orang untuk memberi sambutan kepada tim yang akan tampil di Piala Dunia 1938,” tulis laporan Soerabaijasch Handelsbad edisi 28 April 1938.
Di tengah perjalanan, tim Hindia-Belanda sempat singgah di Medan, Sumatera Utara, untuk menjalani pertandingan melawan Oost Sumatera Voetbal Bond (OSVB). Laga, yang berlangsung 2 Mei 1938, itu dimenangi Hindia-Belanda, 4-2.
Tim juga sempat singgah di Kolombo (Sri Lanka). Mereka tiba di Den Haag, Belanda, pada 18 Mei 1938. Tim itu kemudian mendapatkan fasilitas akomodasi dan diberikan tempat latihan oleh Persatuan Sepak Bola Belanda (KNVB).
Skuad Hindia-Belanda menjalani latihan di Belanda hingga 31 Mei 1938, kemudian meninggalkan Belanda menuju Paris, Perancis, 2 Juni 1938. Tim tiba di Reims, lokasi laga melawan Hongaria, pada 4 Juni atau satu hari sebelum pertandingan berlangsung.
Setelah menjalani pengalaman tak terlupakan di Piala Dunia 1938, Nawir melanjutkan kariernya bersama SVB untuk mengikuti sejumlah kejuaraan nasional. Ia mempersembahkan satu gelar juara Kejuaraan NIVU edisi 1941 untuk SVB sebelum kejuaraan itu dihentikan akibat Perang Dunia II.
Kariernya di HBS, sebelum Perang Dunia II, ditutup dengan membawa HBS juara pada turnamen mini di Lapangan Tambaksari, Surabaya, awal Mei 1941. Turnamen itu diikuti tiga kontestan, yaitu BOW asal Semarang, Tiong Hwa, dan HBS.
Mengabdi tim ”Garuda”
Kehadiran Jepang pada 1942 mengubah pula sejarah sepak bola Indonesia. Nama-nama klub bernuansa Belanda harus diganti. SVB pun berubah nama menjadi SIVB (Soerabajase Indonesia Voetbal Bond). Atas perintah Jepang yang belum sreg dengan SIVB, nama tim akhirnya diubah menjadi Persibaya di tahun yang sama.
Pada 1944, kata Nawir kepada Kompas pada April 1980, Persibaya berubah menjadi Persebaya. Sejak saat itu, Nawir diangkat sebagai Ketua Persebaya menggantikan Dr Soewandi.
”Saya sebagai Ketua Persebaya juga sebagai pemain. Jadi, tidak terlalu sulit untuk membina anak-anak yang rata-rata seumur dengan saya,” kata Nawir.
Di bawah kendali Jepang, aktivitas sepak bola benar-benar terhenti pada 1945. Kedatangan kembali Belanda pada periode 1946 hingga 1948 sempat menghidupkan kembali kejuaraan sepak bola. Kejuaraan NIVU sempat diselenggarakan kembali pada 1947 dan 1948 masing-masing di Surabaya dan Semarang.
Nawir sempat mengikuti dua kejuaraan itu sebelum mengakhiri karier sepak bolanya pada 1949. ”Jadi, kalau mau bercerita tentang dunia bola dalam kehidupan saya terbagi tiga zaman. Pertama, zaman sebelum Perang Dunia II, zaman pendudukan Nippon-Kemerdekaan Indonesia, dan zaman tahun 1950-an,” ujar Nawir.
Pada 1950, ia meninggalkan Surabaya untuk mengambil studi dokter spesialis kehamilan dan kandungan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Meski tengah melanjutkan pendidikan kedokteran, Nawir tetap menaruh perhatian besar pada sepak bola.
Itu ia tunjukkan dengan menerima tawaran sebagai Pelatih interim Tim Nasional Indonesia setelah “Garuda” ditinggalkan Choo Seng Quee, juru taktik asal Singapura, pada 1953. Ia mengisi kursi pelatih hingga PSSI mendatangkan Antun ”Tony” Pogacnik pada 1954.
Setelah timnas dipegang Pogacnik, Nawir pun kembali ke Surabaya untuk membuka klinik rawat inap. Meski begitu, ia menerima tawaran Pogacnik untuk menjadi anggota teknik dan tim pencari bakat skuad tim Indonesia.
Nawir selaku anggota tim teknik timnas Indonesia juga ikut berjasa membentuk tim untuk Olimpiade 1956. Nawir bersama Pogacnik, Kosasih Purwanegara, dan Sriamin berkeliling Jawa, Sumatera, dan Sulawesi untuk mencari pemain terbaik Indonesia.
Selain Itu, dilaporkan oleh media berbahasa Belanda, Algemeen Indisch Daglad, edisi 1 Agustus 1957, yang memuat berita Pogacnik, Nawir, Basir Isa, dan Mochtar Siregar tengah mencari satu pemain terbaik pada Kejuaraan PSSI di Padang, Sumatera Barat.
Sebelumnya, tim tersebut, tulis Algemeen Indisch Daglad, telah memilih delapan pemain terbaik, yaitu Saelan (Makassar), Nuis (Bandung), Nong (Padang), Van der Vin (Medan), Liong Houw (Jakarta), Ramang (Makassar), Omo (Bandung), dan Kiat Sek (Jakarta).
Terkait pengalamannya menjadi kapten tim Hindia-Belanda di Piala Dunia 1938, Nawir mengungkapkan tiga syarat utama untuk menjadi kapten di luar kemampuan sepak bola yang mumpuni. Ketiga syarat itu ialah kemampuan otak atau berpikir yang lumayan, kewibawaan, dan kejujuran.
Nawir adalah salah satu sosok pionir di Indonesia yang telah menganggap pentingnya penerapan sains olahraga untuk membentuk timnas yang hebat. ”Banyak faktor yang harus dipenuhi, seperti kejiwaan pemain, pelatih yang ideal untuk kita, teknis, bahkan sampai pembetulan menu makanan pemain,” katanya.
Meskipun telah wafat pada 1995, riwayat dr Nawir di dunia sepak bola tidak bakal terhapus waktu. Namanya tetap abadi seiring jejak bersejarahnya di Piala Dunia 1938.