Jika mengacu pada temuan dalam studi berjudul Bangkit Lebih Kuat: Pemulihan Pembelajaran Pascapandemi, jawabannya adalah “ya”. Namun, masih banyak tantangan yang harus dihadapi.
Di Indonesia, sebagian besar peserta didik belum memenuhi standar capaian pembelajaran, baik menurut standar capaian nasional maupun global. Hal ini tecermin dalam studi yang dilakukan oleh INOVASI (program kemitraan Pemerintah Australia dan Indonesia) bersama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), serta Australian Council of Education Research (ACER).
Studi yang melibatkan 18.370 peserta didik dari 20 kabupaten di seluruh Indonesia ini memperlihatkan gambaran hasil belajar selama pandemi COVID-19 dan dampak yang ditimbulkan oleh faktor-faktor seperti karakteristik peserta didik, keluarga, sekolah, dan lingkungan belajar.
Temuan studi menunjukkan satu dari dua siswa tersebut belum mencapai tingkat kompetensi minimum dalam bidang literasi. Yang lebih mengkhawatirkan, dua dari tiga siswa tidak memenuhi standar kemampuan minimum dalam bidang numerasi.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih detail mengenai perkembangan pembelajaran siswa sebelum, selama, dan setelah pandemi, digunakan subsampel tertentu yang terdiri dari 4.103 peserta didik dari 69 sekolah di tujuh kabupaten untuk mengukur hasil belajar sebelum pandemi (2020), satu tahun setelah pandemi (2021), dan dua tahun kemudian (2022).
Meskipun tidak diragukan lagi bahwa segala jenis penutupan dan pembatasan sosial yang diterapkan telah menyelamatkan banyak nyawa, penutupan sekolah dan keterbatasan sumber daya daring adalah salah satu faktor yang menyebabkan kemunduran signifikan dalam proses pembelajaran anak-anak. Hanya dalam satu tahun penutupan sekolah, siswa kehilangan enam bulan kemajuan proses belajar (learning loss) dalam bidang literasi (atau setara dengan 0,47 standar deviasi/sd) dan kehilangan lima bulan kemajuan proses belajar dalam bidang numerasi (atau setara dengan 0,44 sd).
Kehilangan hasil belajar siswa dalam satu tahun penutupan sekolah selama pandemi
Studi ini, di satu sisi, memberikan gambaran mengenai indikasi kehilangan kemajuan proses belajar (learning loss). Di sisi lain, studi ini menemukan adanya pemulihan pembelajaran (learning recovery). Beberapa faktor ditengarai berkontribusi pada learning recovery, di antaranya adalah pembelajaran yang berpusat pada anak dan fokus pada keterampilan dasar. Aspek ini selaras dengan karakteristik utama Kurikulum Merdeka.
Secara sederhana, kesenjangan pembelajaran merupakan kesenjangan antara kemampuan peserta didik dengan standar nasional dan global. Kesenjangan belajar di Indonesia sangat besar, dengan sedikit peserta didik yang memenuhi standar numerasi dan literasi yang diharapkan.
Dalam hal numerasi, studi ini menemukan bahwa pada tahun ajaran 2020/2021, sebanyak 78 persen peserta didik kelas 1 tidak memenuhi standar yang diharapkan dan sebanyak 99 persen peserta didik kelas 3 tidak berada pada tingkat yang diharapkan. Dalam hal literasi, 71 persen peserta didik kelas 2 belum mencapai standar yang diharapkan, dan di kelas 3 terdapat 98 persen peserta didik yang belum mencapai standar tersebut.
Hasil ini menunjukkan jika anak belum mampu menguasai kemampuan dasar di jenjang awal maka mereka akan semakin tertinggal di jenjang-jenjang berikutnya.
Kurikulum khusus (atau biasa dengan kurikulum darurat) adalah kurikulum yang dikeluarkan oleh Kemendikbud yang memberikan fleksibilitas bagi satuan pendidikan untuk menentukan kurikulum sesuai dengan kebutuhan pembelajaran peserta didik pada masa pandemi.
Kurikulum yang berjalan terlalu cepat berisiko mengurangi perhatian peserta didik dan menjadikan mereka semakin tertinggal. Di Indonesia, siswa kelas 1 diharapkan sudah bisa menghitung penjumlahan bilangan hingga 20, berdasarkan kurikulum 2013. Sedangkan berdasarkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (TPB/SDGs), kompetensi ini seharusnya baru dikuasai di kelas 2. Selain itu, peserta didik kelas 3 diminta mendeskripsikan dan menentukan hubungan antara satuan baku (misalnya, kg, g, m, dan cm). Di tingkat internasional, kompetensi ini seharusnya baru dikuasai di kelas 6.
Keterampilan dasar yang diperoleh sejak dini, seperti literasi dan numerasi, sangat dibutuhkan siswa untuk mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang lebih kompleks. Ketidakmampuan untuk memenuhi keterampilan dasar akan membatasi potensi siswa untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, dan menciptakan inovasi. Hasil studi menemukan, sebagai contoh, dengan kecepatan dan kemampuan belajar saat ini, siswa kelas 1 membutuhkan waktu 14 bulan untuk mencapai tingkat kompetensi yang diharapkan, dengan kesenjangan hasil belajar yang cenderung meningkat di jenjang yang lebih tinggi.
Capaian pendidikan anak di sekolah dapat diibaratkan lomba balap karung. Semua anak harus melompat maju di lintasan dengan panjang yang sama untuk mencapai garis akhir. Meski berawal dari garis yang sama, beberapa dapat melompat ke depan tanpa hambatan, beberapa yang lain mengalami rintangan. Beberapa dapat melaju dengan cepat, yang lain lebih lambat, bahkan ada yang tertinggal di belakang.
Peserta didik penyandang disabilitas, peserta didik dengan latar belakang sosio-ekonomi dan tingkat pendidikan orang tua yang rendah, tinggal di lokasi terpencil, dan tidak menguasai Bahasa Indonesia merupakan kelompok yang paling rentan jika dibandingkan dengan kelompok lain dan menghadapi learning loss yang signifikan.
Sebanyak 9 dari 10 peserta didik penyandang disabilitas yang tinggal di area pedesaan tidak memenuhi standar literasi.
Selain itu, peserta didik yang belum menguasai Bahasa Indonesia juga sangat dirugikan. Di daerah pedesaan, 81 persen peserta didik laki-laki dan 71 persen peserta didik perempuan yang belum menguasai Bahasa Indonesia gagal memenuhi standar literasi.
Dari seluruh sampel, peserta didik perempuan dan peserta didik laki-laki yang tidak memenuhi standar masing-masing mencapai 59 persen dan 69 persen. Sebelum dan sesudah pandemi, hasil belajar peserta didik perempuan menunjukkan hasil yang lebih tinggi daripada peserta didik laki-laki. Meski demikian, peserta didik perempuan mengalami learning loss yang lebih signifikan. Hal ini karena, secara umum, mereka dibebani tugas domestik yang lebih banyak sehingga memiliki waktu yang terbatas untuk belajar.
Di samping temuan mengenai adanya kehilangan pembelajaran, studi ini juga menemukan tanda-tanda pemulihan pembelajaran yang positif, yaitu setara dengan dua bulan pembelajaran (atau 0,16 sd untuk literasi dan 0,12 sd untuk numerasi) pada dua tahun setelah pandemi.
Di sisi lain, temuan studi menunjukkan peningkatan setara empat bulan pembelajaran bagi siswa yang gurunya melakukan penyesuaian kurikulum selama pandemi. Penyesuaian kurikulum yang dilakukan guru umumnya berfokus pada kemampuan dasar literasi dan numerasi. Misalnya, untuk kemampuan literasi, guru fokus mengajarkan anak tentang pengenalan huruf, suku kata, dan kata sebagai modal awal siswa untuk bisa lancar membaca.
Adaptasi pembelajaran juga dilakukan oleh guru baik secara mandiri atau mengacu pada kurikulum darurat, yaitu Kurikulum 2013 yang disederhanakan, yang sudah disediakan oleh pemerintah. Pemulihan tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan peserta didik yang gurunya tidak mengadopsi praktik ini. Asesmen diagnostik (asesmen awal yang dilakukan guru untuk mengindentifikasi kompetensi kekuatan dan kelemahan peserta didik) dan pembelajaran berdiferensiasi yang mempertimbangkan kemampuan peserta didik yang bervariasi juga memiliki pengaruh positif pada tingkat pemulihan pembelajaran.
Selain faktor guru, kepemimpinan kepala sekolah serta dukungan pemerintah menjadi faktor kunci pemulihan pembelajaran. Kepala sekolah yang melakukan monitoring berkala terhadap guru dan memanfaatkan data hasil monitoring tersebut berhasil mempercepat pemulihan pembelajaran hingga lima bulan. Sekolah-sekolah yang mendapatkan dukungan dalam bentuk peralatan dukungan untuk menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh dari pemerintah pusat dan daerah mampu meningkatkan pemulihan pembelajaran hingga tiga bulan.
Temuan dari studi ini berpengaruh pada pendekatan yang diterapkan pemerintah dalam proses pemulihan pembelajaran. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim, menyampaikan hasil studi ini kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan mendapatkan dukungan untuk Kurikulum Merdeka yang telah diterapkan sebagai opsi pemulihan pembelajaran sejak 2022 lalu.
Memastikan keberlanjutan reformasi komprehensif menjadi hal yang krusial, terutama menjelang Pemilihan Umum Nasional pada tahun 2024. Meskipun pandemi COVID-19 tidak lagi menjadi kondisi darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian nasional dan internasional, krisis pembelajaran yang berkepanjangan masih berlangsung. Namun, temuan dari studi ini membuktikan bahwa terdapat alasan untuk tetap berharap.
Kurikulum yang lebih fleksibel dalam penerapannya, fokus pada kompetensi literasi dan numerasi, serta pembelajaran yang berfokus pada peserta didik dengan menerapkan asesmen dan pembelajaran berdiferensiasi, diharapkan dapat mengakselerasi pemulihan pembelajaran.
Rekomendasi di bawah sejalan dengan karakteristik Kurikulum Merdeka
(Infografis_PMM.pdf (kemdikbud.go.id);
https://kurikulum.kemdikbud.go.id/kurikulum-merdeka/).
*Artikel ini merupakan publikasi hasil studi yang dilakukan oleh INOVASI.