Anak-anak yang Melukis di Medan Perang

Dalam sejarah peperangan, dikenal keberadaan wartawan perang yang membuat laporan jurnalistik tentang pertempuran di garis depan. Semasa Perang Kemerdekaan Republik Indonesia, tidak hanya wartawan, anak-anak kecil juga turut terlibat.

Jika wartawan dengan tulisannya, anak-anak ini dengan coretannya yang melukis jalannya pertempuran. Ini berlangsung khususnya sejak Serangan Umum di Yogyakarta tahun 1949 hingga tercapainya kesepakatan damai antara Indonesia dan Belanda.

Dalam buku Dongeng dari Dullah karya Agus Dermawan T terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), diceritakan tentang belasan bocah cilik yang turut terlibat dalam Perang Kemerdekaan RI selama periode 1945-1949. Mereka dari Sanggar Indonesia Muda (SIM) milik Dullah di Yogyakarta.

Ketika itu Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta tengah diasingkan tentara Belanda ke luar Jawa sehingga putus komunikasi dengan Yogyakarta.

repro dari buku karya dalam peperangan dan revolusi
Lukisan Mohammad Toha yang menggambarkan Bung Karno, Bung Hatta, dan para pemimpin bangsa lainnya yang diangkut oleh Belanda ke lapangan terbang Maguwo untuk diasing ke Sumatera. Sebelumnya, mereka telah sepekan ditawan Belanda di Istana Kepresidenan RI di Yogyakarta. Media: cat minyak di atas kertas 17,1 x 24,2 cm.

Demi perjuangan diplomasi Indonesia, seniman Dullah kemudian menyiapkan pameran 80-an lukisan anak-anak asuhnya di sanggar tentang suasana perang.

Namun, paket tersebut hilang. Diduga pengiriman lukisan tersebut disabotase oleh pihak Belanda, lalu lukisannya dibakar. Padahal, menurut rencana, lukisan itu akan dikirimkan ke India dan dipamerkan di sana.

Dalam keadaan gundah gulana, muncul gagasan liar, yakni mengerahkan anak-anak didiknya yang masih belia ke kancah pertempuran untuk melukis langsung di tempat kejadian.

Lukisan karya anak-anak tersebut diyakini Dullah akan bercerita dengan jujur tentang kelakuan kejam tentara Belanda. Anak-anak yang masih polos tentu akan merekam kejadian perang secara apa adanya. Terlebih jika menerjukan orang dewasa untuk melukis, hal itu akan mengundang kecurigaan tentara Belanda.

Dullah merundingkan gagasannya dengan sang istri, Bibi Fatima. Istrinya keberatan karena khawatir keselamatan anak-anak asuh mereka. ”Kalau keserempet mortir atau kena peluru nyasarpanjenengan mau apa?” kata Bibi kepada Dullah.

Ketika itu mereka belum dikaruniai anak. Dullah sempat bimbang. Sambil menimbang-nimbang, Dullah kemudian menawarkan gagasan melukis kekejaman tentara Belanda kepada Mohammad Toha, salah satu anak didiknya.

”Siap, Pak. Saya mau,” kata Toha antusias. Saat itu ia berusia 11 tahun.

Niat Toha didukung ibu dan ayahnya, diiringi pesan agar putranya itu berhati-hati, ”Maju wae, Le, ning sing ngati-atiLondo kuwi mburisrowo, ngawur tur medeni.” (Maju saja Nak, tetapi hati-hati. Serdadu Belanda itu seperti raksasa Burisrowo yang ngawur dan berbahaya).