Terkait muasal garam di pegunungan ini, warga sekitar hanya mengandalkan ingatan yang terawat melalui cerita kakek, nenek, buyut, kerabat, atau tetangga. ”Ini cerita saya dapat dari orangtua. Konon kejadiannya tahun 92 Masehi,” ujar Robert pada akhir 2021, mengawali kisahnya.
Syahdan, lokasi Robert duduk itu dulunya hutan rimba dengan rawa di beberapa lokasi. Penduduk setempat, yakni masyarakat Dayak Lun Dayeh, menjadikan hutan itu sebagai ladang berburu burung, tupai, kijang, babi, atau rusa.
Suatu kali, seorang warga melihat seekor burung balud tengah bertengger di sebuah dahan. Ia memicingkan sebelah mata seraya mengambil anak panah kecil yang telah dilumuri racun. Dimasukkannya mata panah ke dalam sumpit. Lewat tiupan melalui ujung sumpit yang tertempel di ujung bibir, mata panah itu dibidikkan dengan cermat ke arah burung tersebut.
”Fuuh!” Sang balud pun meluncur jatuh setelah sempat terbang gontai beberapa saat seusai tertancap mata panah.
Sang pemburu menembus semak-semak mencari si burung yang ternyata tergeletak tak bernyawa di kubangan air. Sumber protein hewani itu ia bawa pulang untuk dibakar dan disantap bersama keluarga.
”Menurut cerita, daging burung itu nikmat dan gurih, seperti ada asin-asinnya. Berbeda dengan daging dari tempat berburu lain,” kisah Robert.
Pengalaman serupa dialami dua warga Dayak Lun Dayeh yang berburu di kawasan yang sama. Penasaran, dua pemburu itu kembali menyambangi tempat tersebut. Dari sejumlah kubangan yang ada di sana, dua di antaranya berair asin setelah dicicipi.
“Mungkin burung itu minum air asin di situ, atau burungnya terendam air asin dulu setelah disumpit, jadi air asinnya meresap ke daging. Makanya rasanya enak betul setelah dibakar,” lanjut Robert.