Jadikan Aku Acarmu!

Tradisi mengonsumsi acar sudah berlangsung sejak lama. Acar bukan hanya akrab di lidah masyarakat Tanah Air, melainkan juga tak asing bagi masyarakat di sejumlah negara.

Meski bukan merupakan menu utama, acar tak bisa dipandang sebelah mata. Kehadirannya justru menyempurnakan sejumlah hidangan, terutama masakan yang terkesan ”berat” dan berbumbu mlekoh alias ”tebal”. Tak heran, jika acar kerap dirindukan.

Acar seolah menjembatani aneka rasa di dalam mulut melalui sensasi segar yang ditimbulkan. Menyantap lumpia tanpa acar mentimun kok rasanya kurang nikmat, seperti makan ayam goreng tanpa sambal. Sama halnya ketika makan mi jawa atau mi ayam, acar selalu diburu meski hanya sebagai hidangan pendamping.

Kira-kira begini keluhan pembeli saat berjumpa acar yang tak sesuai harapan, ”Kok acarnya sedikit?” atau ”Lho, acarnya mana?”. Sebelum dicecar, penjual sebaiknya cepat-cepat meletakkan semangkuk acar mentimun di meja.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Acar mentimun.

Acar terbuat dari campuran beberapa bahan yang menghadirkan rasa berbeda, yakni asam, asin, dan manis. Rasa yang nano-nano inilah yang bikin lidah kepincut.

Rasa asam didapat dari cuka dan rasa asin berasal dari garam, sedangkan rasa manis disumbangkan oleh gula.

Penambahan salah satu bahan secara dominan berpotensi merusak cita rasa. Padahal, acar menjadi ”kuncian” setelah hidangan utama masuk ke dalam mulut. Bayangkan jika acar memiliki rasa amat asin. Alih-alih menyegarkan, kehadirannya justru merusak cita rasa masakan utama.

Oleh sebab itu, pembuatan acar tak bisa sembarangan. Keseimbangan rasa menjadi kunci kenikmatan. Bahan-bahan yang digunakan pun harus segar dan bagus sebab acar membutuhkan waktu tunggu sebelum bisa bercengkerama dengan seluruh bahan untuk menghasilkan cita rasa yang khas. Bahan yang tidak segar berpotensi membawa mikroba yang dapat membahayakan kesehatan tubuh.