Bagaimana “Big Data” Mengubah Sepak Bola?

Musim kompetisi sepak bola Eropa 2018/2019 baru saja usai dengan dinobatkannya Liverpool sebagai raja “Benua Biru”. Pada partai final Liga Champions 2019 di Wanda Metropolitano, Madrid, 1 Juni 2019, “The Reds” mengalahkan sesama tim dari Liga Inggris, Tottenham Hotspur, 2-0.

Di kompetisi domestik, tim asuhan Juergen Klopp ini mencatatkan rekor tertinggi perolehan poin dalam sejarah mereka, 97 poin. Meskipun demikian, mereka harus puas di peringkat kedua klasemen Liga Inggris, selisih satu poin dengan juara Manchester City.

Bagaimana Klopp dalam empat tahun mampu mengembalikan Liverpool yang sempat terpuruk ke tataran elite sepak bola Eropa? Bagi para pengamat dan “armchair supporter” (pendukung klub namun tidak pernah pergi ke stadion), jawaban tercepat barangkali adalah karena kejeniusan pelatih asal Jerman itu dan penampilan hebat para pemain kelas dunia seperti Mohamed Salah, Alisson Becker, dan Virgil van Dijk. Tidak ada yang salah dengan jawaban itu.

Namun di balik layar, di luar lapangan, di depan komputer, ada pekerjaan besar lain yang dilakukan untuk mencapai itu. Ada pekerjaan rumit untuk memaksimalkan penampilan pemain, mematangkan taktik, menganalisis kekuatan dan kelemahan lawan, dan sebagainya.

Beberapa tahun terakhir, ada satu revolusi di sepak bola yang barangkali tidak terlalu disadari. Seperti juga di bidang lain, tren pemanfaatan big data juga terjadi di olahraga sepak bola. Big data diantaranya dipakai untuk meracik strategi, mengembangkan pemain, pencegahan cedera, pembinaan pemain muda, pencarian bakat, dan transfer pemain.

PA via AP/Peter Byrne
Pemain Manchester City saat parade trofi di Manchester, Inggris, 20 Mei 2019. Selama bertahun-tahun, City memperkerjakan para ahli data.

Kita barangkali sering melihat angka statistik tampil di layar televisi, koran, atau di situs berita, seperti persentase penguasaan bola, tendangan ke gawang, jumlah sepak pojok, hingga heat map yang menunjukkan pergerakan pemain di lapangan.

Namun, itu semua hanya sebagian kecil saja dari data yang bisa dikumpulkan dalam satu pertandingan. Perusahaan statistik Opta, seperti dikutip dari The Guardian, mencatat setidaknya 1.500 jenis “event” dari setiap laga.