Dr. Cipto Mangunkusumo, dokter pendobrak zaman
”Onze Tjip... (Tjipto kita...),” demikian Bung Karno, mengingat mentor kebangsaannya saat meresmikan pergantian nama Rumah Sakit Tjipto, 1964. Soekarno menangis ketika itu.
Dr. Tjipto berulang kali memberikan nasihat kepada Bung Karno bahwa Republik Indonesia kelak yang beraneka suku, bangsa, dan keyakinan akan dilandasi semangat kebangsaan yang inklusif dan bukan semata gairah identitas keagamaan.
Dalam sejarahnya, diskriminasi dan perbedaan antara tuan atau penguasa kolonial dan kawula jajahan mewarnai perjalanan sejarah CBZ. Sejarawan kesehatan, Ravando Lie, yang menempuh program doktoral di Melbourne, Australia, mengungkapkan, dalam sebuah terbitan Sin Po, dituliskan sindiran terhadap dokter-dokter Eropa dan pengelola CBZ yang menanyakan kebangsaan pasien sebelum memberikan pertolongan.
Perlakuan diskriminasi tersebut memicu berbagai golongan, seperti bumiputra, bangkit dengan gerakan Boedi Oetomo dan golongan Tionghoa mendirikan beberapa rumah sakit. Salah satunya adalah Rumah Sakit Jang Seng Ie, tempat dr. Tjipto Mangoenkoesoemo wafat pada 8 Maret 1943.
Dokter Tjipto, yang kemudian mendapat penghargaan medali Ridder van Oranje Nassau, ditolak ketika hendak ikut memberantas wabah pes di wilayah Surakarta.
Tjipto yang lahir di Pecangaan dekat Jepara 1866 adalah pendobrak pada zamannya. Dalam Kongres I Boedi Oetomo tahun 1908, dia sudah mendesak agar perkumpulan itu menjadi gerakan politik praktis memperjuangkan kawula Jawa.
Tjipto pun menjadi dokter pro bono, kata Ravando, mengobati wabah pes di Malang ketika tidak ada dokter mau masuk ke daerah tersebut karena sudah banyak warga yang meninggal. Di sana, Tjipto menyelamatkan anak perempuan yang ayah-ibunya meninggal karena pes. Anak tersebut diberi nama Pesjati, yang kemudian merawatnya hingga akhir hidupnya.
Dokter Tjipto, yang kemudian mendapat penghargaan medali Ridder van Oranje Nassau, ditolak ketika hendak ikut memberantas wabah pes di wilayah Surakarta. Medali tersebut kelak dipasang Tjipto di pantatnya sebagai tanda protes terhadap penguasa Hindia Belanda.
Tjipto kemudian mendirikan Partai Hindia (Indische Partij), bersama Douwes Dekker dan Suwardi Surjaningrat, untuk memperjuangkan Hindia merdeka untuk orang-orang Hindia, yakni kaum bumiputra dan berbagai kaum lainnya yang memiliki gagasan sama untuk bebas dari belenggu kolonialis.
Tjipto pun memperjuangkan kesetaraan dalam kehidupan. Dia menikahi Nyonya Vogel dan mempunyai dua anak angkat lainnya, yakni Donald dan Louis Vogel. Bersama Pesjati, mereka semua menemani Tjipto yang dibuang ke Banda pasca-pemberontakan PKI.
Tjipto menolak diungsikan ke Australia dan hidup aman dalam lindungan Sekutu ketika pecah Perang Dunia II. Dia memilih kembali ke Jawa meski sakit-sakitan akibat tuberkulosis yang mendera tubuhnya.
Tidak banyak yang tersisa dari kenangan terhadap dokter rakyat yang mengobati warga secara cuma-cuma dan rela hidup sederhana sambil memperjuangkan gagasan kebangsaan yang inklusif mendahului zamannya itu!