Banjir Berulang di Kota Semarang

Meskipun instalasi pengendali banjir terus dibangun, Kota Semarang tetap berulang kali dilanda air bah. Hujan ekstrim, kiriman banjir, dan kenaikan muka air laut secara bersamaan membuat banjir belum berhasil dicegah.

Rabu, 10 Februari 1971 petang, hujan lebat selama berjam-jam di Kota Semarang menyebabkan sekitar 10.000 jiwa mengungsi. Genangan air hingga 1,5 meter menutupi perkampungan dan jalan-jalan kota. Bencana ini disebut sebagai yang terdahsyat yang pernah terjadi. Jejak bencana yang seolah tak lekang dari jantung pantura Jawa ini.

Susteran Gedangan di Kelurahan Tanjung Mas, Semarang Utara, kala itu menjadi salah satu lokasi yang cenderung kering dibandingkan dengan sejumlah permukiman di sekitarnya. Akhirnya kompleks susteran itu menampung 2.000 warga terdampak banjir. Demikian laporan harian Kompas pada 16 Februari 1971.

Sekitar 50 tahun berselang atau pada 6 Februari 2021, banjir hebat kembali melanda Kota Semarang. Namun, Susteran Gedangan justru menjadi lokasi terdampak. Dari sejumlah foto yang beredar di media arus utama dan media sosial, bangku-bangku di kapel tua tampak porak poranda dan mengambang di atas genangan. Peristiwa itu terjadi tepat sehari setelah 151 tahun susteran tersebut berdiri.

”Banjir datang bersamaan kami memperingati 151 tahun peringatan pelayanan kongregasi kami,” kata salah satu biarawati, Senin (8/2/2021), sambil menunjukkan sebuah prasasti marmer bertuliskan 5 Februari 1870 berbahasa Belanda.

Pada tahun 2021, hujan sejak Jumat (5/2) malam dan memuncak pada Sabtu (6/2) subuh menjadi salah satu pemicu banjir di Kota Semarang. Pada Sabtu pagi air meninggi. Sedikitnya delapan dari 16 kecamatan terdampak. Bencana kali ini disebut sebagai banjir dengan dampak terluas dalam sekitar 10 tahun terakhir. Bahkan, kawasan Kota Lama yang sudah direvitalisasi serta bertahun-tahun tak banjir juga terendam hingga 60 sentimeter (cm). Bandara Internasional Jenderal Ahmad Yani dan Stasiun Semarang Tawang pun lumpuh. Polder Tawang, di sebelah selatan Stasiun Tawang, tak lagi tampak wujudnya karena terendam. Sementara Jalan Kaligawe di Gayamsari, serta jalur pantura Semarang-Demak di Genuk, terendam bahkan belum mengering hingga sepekan setelahnya.

Selain dipicu hujan ekstrem, mencapai 171 milimeter, banjir juga disebabkan sejumlah masalah yang selama ini  mendera, seperti penurunan muka tanah, daerah aliran sungai (DAS) yang kritis, dan drainase tak lancar. Begitu juga pasang surut air laut membuat air tak mengalir lancar ke muara sehingga meluap dari kali dan membanjiri jalan serta permukiman. Tak hanya itu, hujan deras kembali mengguyur Kota Semarang pada Selasa (23/2/2021) sore. Dua jam hujan deras mengguyur, sejumlah titik protokol kota, seperti kawasan Simpang Lima, Jalan Pahlawan, bahkan kompleks kantor Gubernur Jawa Tengah, tergenang. Memang, di titik-titik vital itu, genangan lekas surut, tetapi di beberapa titik lain dengan muka tanah rendah, seperti  Kemijen, Kaligawe, dan Genuk, genangan berhari-hari tak surut.

Dua banjir dalam waktu kurang dari tiga pekan, Kota Semarang ramai menjadi perbincangan di media sosial. Bahkan, peristiwa itu sempat menjadi trending topic di Twitter. Bukan hanya isu kebencanaan dan lingkungan, perbincangan bebas di jagat maya juga menyerempet ranah politis. Tak sedikit yang membandingkan dengan provinsi tetangga yang juga baru kebanjiran.