Kanal Kapiten Cina Hingga Kanal Banjir Timur

Kanal Kapiten Cina Hingga Kanal Banjir Timur

Jakarta kebanjiran, di Bogor angin ngamuk. Rumah ane kebakaran gare-gare kompor mleduk.... Rumah ane kebanjiran gara-gara got mampet....

Itulah penggalan lagu Benyamin S tahun 1970 berjudul ”Kompor Mleduk”.

Lagu-lagu Benyamin menjadi potret sosial kehidupan Jakarta di zaman Gubernur Ali Sadikin yang melakukan revolusi perbaikan infrastruktur Kota Jakarta yang kemudian terhenti di zaman penggantinya, Gubernur Tjokropranolo.

Banjir dalam lagu Benyamin masih dan tetap relevan bagi Jakarta yang dilintasi 13 sungai, berada di dataran rendah rawa, dan mengalami penurunan muka tanah tiap tahun.

Pendangkalan dan banjir seiring sejalan tercatat dalam sejarah Jakarta. Adolf Heuken SJ dalam buku Historical Sites of Jakarta mencatat, pada zaman kedatangan misi Portugis ke Sunda Kalapa, mereka meninggalkan Padrao (baca: Padrong), batu penanda perjanjian kerja sama Portugis dengan Kerajaan Hindu Pajajaran tahun 1522.

Batu tersebut terletak di pinggir pantai Sunda Kalapa yang kini menjadi persimpangan Jalan Cengkeh-Jalan Kalibesar Timur di Kota Tua Jakarta, sekitar 1,5 kilometer dari pantai di tepi Museum Bahari.

Kompas/Agus Susanto

Luapan Kali Ciliwung melumpuhkan Jalan Jatinegara Barat, Jakarta Timur, Selasa (6/2/2018).

Pendangkalan karena sedimentasi Ciliwung dan belasan sungai lainnya mengubah wajah daratan Teluk Jakarta. Sekitar 5 abad silam. Padrao ditemukan tahun 1918 di bibir pantai Sunda Kalapa. Namun kini titik itu sudah menjadi daratan bagian Kota Tua Jakarta!

Ketika itu, menurut arkeolog Universitas Indonesia, Hassan Djafar, pusat Pajajaran masih berada di wilayah Batutulis Bogor yang diapit dua sungai, yakni Ciliwung dan Cisadane. Begitu banyak temuan purbakala di bantaran Ciliwung yang menunjukkan sungai tersebut menjadi saksi peradaban manusia pra-sejarah penghuni kawasan hulu dan hilir sungai yang kini menjadi wilayah Bogor, Depok, dan Jakarta.

Masa itu, menurut Djafar, warga masih hilir-mudik melalui Ciliwung dengan rakit bambu.

Sastrawan Pramoedya Ananta Toer juga menulisnya dalam roman sejarah Arus Balik yang menceritakan kehadiran Portugis, surutnya Kerajaan Hindu Pajajaran, dan bangkitnya Kerajaan Islam di sepanjang alur Ciliwung antara Batutulis dan Kalapa.

Repro Kompas/Wisnu Widiantoro

Molenvliet Canal, repro dari buku "Batavia in Nineteenth Century Photographs", menunjukkan kanal Molenvliet di Jalan Gajah Mada saat ini pada tahun 1870-an.

Kanal Kapitan Cina

Semasa era kompeni Belanda atau VOC mulai menancapkan kekuasaan di Batavia tahun 1619, persoalan banjir dan tata kelola air sudah menjadi momok. Wabah penyakit terkait buruknya sanitasi dan irigasi merajalela di Kota Batavia yang menjadi pusat perdagangan VOC.

Kompas/Agus Susanto

Pekerja membersihkan sampah di Kali Besar, Kelurahan Roa Malaka, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, Selasa (29/5/2007). Kali ini adalah bagian dari sistem kanal yang dibangun untuk melindungi pusat kota Batavia dari banjir di era VOC.

Ketika itu, suhu udara Batavia lebih dingin 2-3 derajat celsius dibandingkan saat ini. Namun, kematian karena penyakit rawa—diduga oleh infeksi nyamuk yang kini dikenal sebagai malaria, ataupun infeksi dengue atau DBD menjadi hantu bagi penghuni Batavia.

Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen harus membangun kota agar tidak terendam banjir di musim hujan dan menjadi sarang nyamuk. Ketika itu, ketua komunitas masyarakat China pada tahun 1648 dipimpin Kapitan China Phoa Beng Gam–ada yang menyebutnya Phoa Bing Ham (1615-1665). Phoa menggantikan kapitan China pertama, Souw Beng Kong, yang berhasil mendatangkan ratusan pedagang China ke Batavia sejak 1619.

Dalam buku Kesusasteraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 10, Kapiten Phoa dan Jan Pieterszoon Coen sepakat mencari jalan untuk mengeringkan daerah di sekitar Kota Tua Batavia agar tidak terendam.

Kapiten Phoa kemudian menggalang dana dari Gong Goan atau Kamar Dagang Tionghoa dan masyarakat China untuk berswadaya membangun saluran air agar rawa-rawa di sekitar Batavia dapat dikeringkan.

Kompas/Kartono Ryadi

Pintu air Manggarai dipotret dari udara, 17 Januari 1980. Pintu air itu menghubungkan aliran Kali Ciliwung lama (bawah) dengan Kanal Banjir Barat (atas) yang dibangun pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1922.

Pembangunan saluran atau kanal pun dimulai dari depan wilayah yang sekarang dikenal sebagai perempatan Harmoni ke arah Jalan Alaydrus ke Gang Ketapang. Akhirnya rawa-rawa berhasil dikeringkan dan tanah tersebut ternyata cocok untuk bertani dan kanal yang ada menjadi sarana lalu-lintas perahu dan rakit.

Situasi berubah ketika kemarau panjang tiba, kanal menjadi kering dan perdagangan yang mengandalkan lalu lintas sungai terganggu. Kapiten Phoa kembali memutar otak dan menjelajahi daerah Ommelanden—luar tembok Kota Batavia ke arah selatan.

Dia pergi ke arah Pejambon dan menemukan bagian alur Ciliwung yang lebar dan deras. Dibangunlah kanal menghubungkan wilayah Pejambon kelak menjadi Benteng Frederik Hendrik yang kini dibangun menjadi Masjid Istiqlal ke Jalan Veteran dan Harmoni. Atas jasanya, Kompeni memberikan hadiah wilayah Tanah Abang kepada Kapiten China Phoa Beng Gam.

Kapiten Phoa kemudian menganjurkan membangun industri kapur dan batu bata untuk membangun rumah dan berbagai infrastruktur Batavia. Pabrik batu bata dan pekapuran bermunculan seiring tumbuhnya Batavia di medio 1650-an.

Banyak lio—tempat pembakaran batu bata dan genteng—dibangun di sepanjang Tanah Abang hingga Kota. Alhasil lokasi tersebut dikenal sebagai Krukut Lio dan Pekapuran. Dia juga membangun rumah sakit bagi masyarakat Tionghoa di Pejagalan dekat Jalan Roa Malaka dewasa ini, sedangkan VOC membangun pabrik mesiu di kawasan Lindeteves.

Kanal pertama, yakni kanal Molenvliet itulah yang kini dikenal sebagai saluran antara Jalan Gajah Mada—Jalan Hayam Wuruk dari Harmonie hingga ke arah Glodok—Pancoran di Kota Tua Jakarta, peninggalan dari era tahun 1648 semasa Kapiten China Phoa Beng Gam.

Kompas/Kartono Ryadi

Massa berkumpul di sekitar kanal yang memisahkan Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, dalam peristiwa kerusuhan 15 Januari 1974 (Malari). Kanal tersebut adalah kanal tua pertama yang dibangun otoritas VOC untuk mencegah banjir di kota Batavia.

Perubahan ekologi

Masa itu, industri gula yang menurut sejarawan UI Bondan Kanumuyoso dan sejarawan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Mona Lohanda, menjadi tulang punggung ekonomi Batavia, tumbuh pesat. Pabrik-pabrik gula tumbuh di sepanjang alur sungai dan membutuhkan banyak kayu bakar untuk tungku pemasak gula.

Kondisi itulah yang menyebabkan kawasan hulu Ciliwung dan sungai-sungai lain yang mengalir di Batavia mulai mengalami perubahan ekologi.

”Industri gula Batavia mencapai puncak pada akhir 1600-an. Menjelang tahun 1740 sudah terjadi krisis ekonomi dan politik akibat surutnya industri gula yang mengakibatkan Kota Batavia juga mengalami kemerosotan,” kata Bondan Kanumuyoso.

Adapun Mona Lohanda mengingatkan, persoalan kanal dan saluran di Batavia memang menjadi hal penting. Pada tahun 1699 dan 1780 terjadi sumbatan pada kanal-kanal Batavia akibat material vulkanis yang memicu banjir pada musim hujan.

Mona mengingatkan, dalam mengatur suatu wilayah, Belanda menggunakan pendekatan ekologi dan bukan aturan pembagian wilayah yang kaku. Semisal dalam mengatur kawasan Afdeling Batavia yang menjadi dasar adalah kesatuan bentangan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dari hulu hingga hilir.

Oleh karenan itu tidak terjadi pertentangan dan kesulitan koordinasi yang terjadi saat ini antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kota/Kabupaten Bogor, dan Pemerintah Kota Depok.

Kanal dan sungai dibuat saling tersambung, seperti Kali Mookervart antara Batavia dan Tangerang. Saluran tersebut dapat dilayari kapal dan rakit bambu dari Tangerang dan Batavia hingga tahun 1970-an.

Selanjutnya, pada pengujung abad ke-19, pada tahun 1892 dan 1893, Batavia dilanda banjir besar. Restu Gunawan dalam buku Gagalnya Sistem Kanal, Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa menulis, pada banjir tahun 1893, Batavia bahkan disebut sebagai onder water (di bawah air).

Hujan terus-menerus selama 8 jam mengakibatkan wilayah Weltevreden, bahkan Pasar Minggu, banjir. Semasa itu, terdapat tiga pusat kota yang terhubung, yakni Batavia-Weltevreden-Meester Cornelis. Banjir di Weltevreden menggenangi pusat pemerintahan Hindia Belanda yang berada di kawasan Istana Rijswijk dan Noordwijk yang kini berada di Medan Merdeka Utara atau Lapangan Monas.

Kompas/Kartono Ryadi

Akibat guyuran hujan selama beberapa jam, Jakarta Pusat digenangi banjir pada 14 Agustus 1975. Akibat saluran pembuangan air tak lagi mampu menampung volume air, maka banjir menggenangi Jalan MH Thamrin, Jalan Sabang, Gereja Theresia, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jalan H Agus Salim, dan kawasan Kebon Sirih dan sekitarnya. Kemacetan lalu lintas di wilayah tersebut seakan membuat Jakarta lumpuh dari segala kegiatan.

Setahun kemudian, banjir yang dibarengi air laut pasang tidak hanya menenggelamkan Weltevreden, Kampung Kepu, Kemayoran, tetapi juga mengakibatkan daerah pelabuhan di Marunda dan Tanjung Priok juga terendam. Wilayah Sawah Besar, Kandang Sapi, Pesayuran, Kebon Jeruk, Tangki Belakang, Tanah Sereal, Tanah Nyonya, Kampung Kepal, Tanah Tinggi, dan Sumur Batu terendam air setinggi 1 meter. Di tepian pantai, daerah Pasar Ikan terendam air setengah meter. Banjir itu memicu wabah kolera di Batavia.

Selanjutnya, banjir (Belanda: overstromen) melanda tahun 1895, 1899, dan pada awal abad baru pada tahun 1904 dan 1909. Koran de Locomotief dalam terbitan 19 Februari 1909 menyindir pemerintah kolonial karena kanal-kanal sudah tidak bisa menampung banjir dan menulis berita Batavia Onder Water yang disingkat BOW. BOW juga adalah singkatan dari dinas pekerjaan umum masa itu yang dikenal sebagai burgerlijke den openbare werken.

Pada banjir tahun 1909 banjir melanda Waterlooplein (Lapangan Banteng) hingga menjadi danau besar, layanan trem berhenti akibat luapan Ciliwung dan perkampungan warga Betawi terendam. Daerah yang kerap dilanda banjir dalam kurun 1892 -1909 adalah wilayah Weltevreden di aliran Sungai Krukut, dan Ciliwung.

Kompas/Muhammad Sudarto

Banjir di Jakarta turut disebabkan kerusakan lingkungan yang terjadi di kawasan hulu sungai-sungai yang mengaliri Jakarta. Kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, ini misalnya, terus berubah menjadi kawasan permukiman dan wisata. Foto diambil 21 April 1985.

Gagasan Van Breen

Bencana banjir besar di Kota Batavia kembali terjadi awal tahun 1918 pada saat dunia masih dilanda Perang Dunia I dan kemudiaan diikuti wabah virus flu spanyol yang menewaskan jutaan orang di seluruh dunia. Hujan deras pada 4 Januari selama tiga hari, tanggal 13 Januari, lalu tanggal 4, 14 dan 16 Februari memicu banjir.

Semasa itu, persoalan sampah belum merajalela seperti sekarang di hulu hingga hilir Ciliwung. Banjir melanda Noordwijk, Rijswijk, Pecenongan, Pasar Baru, Waterloplein (Lapangan Banteng), School Weg, dan Kampung Pejambon, terendam air setengah hingga satu meter.

Rumah Tangga Kepresidenan/Dudi Anung

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Menlu Marty Natalegawa meninjau banjir di lingkungan Istana Kepresidenan, Kamis (17/1/2013) pagi. Kawasan elite ini sudah dilanda banjir sejak akhir abad ke-19.

Penduduk banyak yang mengungsi ke Willems Kerk (kini Gereja GPIB Imannuel di seberang Stasiun Kereta Api Gambir), mereka dikisahkan hanya membawa tikar dan bantal pada saat mengungsi. Banjir juga melanda Rumah Sakit Cikini (bekas kediaman pelukis Raden Saleh), bahkan ada buaya yang hanyut masuk ke rumah sakit!

Banjir tahun 1918 merata hingga ke daerah Kemayoran, Senen, bahkan markas Korps Marinir di Kwitang menjadi pusat pengungsian. Semasa itu, warga Betawi yang membutuhkan pinjaman uang harus mendapat surat keterangan dari kepala kampung. Malangnya, mereka malah diperas. Demikian pula untuk membeli makan di warung Bumiputra dan Tionghoa pun harga dinaikkan.

Ketika itu koran Sin Po mencatat tindakan filantropis Khouw Kim An, kelak menjadi Majoor der Chinezen di Batavia, memborong nasi dan membagikan gratis bagi para korban banjir. Adapun polisi—veldt politie—juga membuka posko memberikan nasi dan ikan asin bagi warga korban banjir.

Pihak militer, KNIL, juga membagikan makanan agar tidak terjadi kelaparan bagi warga di pengungsian. Gubernur Jenderal Hindia Belanda juga menawarkan berbagai jenis bantuan bagi korban banjir Batavia. Banjir ketika itu semakin buruk karena bendungan Sungai Grogol di barat Batavia jebol.

Menyikapi banjir 1918, insinyur Herman van Breen mengajukan usulan pengendalian air dari hulu dibatasi jumlahnya yang masuk ke Kota Batavia dengan membangun kolektor di selatan kota dan kanal untuk mengalirkan air ke laut.

Kompas/Totok Wijayanto

Alat berat dipergunakan untuk mengeruk lumpur Kanal Banjir Barat yang melinasi kawasan Tanah Abang, Jakarta, Rabu (17/1/2018). Pengerukan tersebut dilakukan untuk menormalkan kedalaman sungai sehingga air tidak meluap saat pasokan dari hulu meningkat.

Sistem itu dikenal sebagai Banjir Kanal (kini Kanal Banjir Barat) yang memotong Kota Jakarta dari Pintu Air Manggarai bermuara di kawasan Muara Angke. Selain itu, daerah hulu (kawasan Puncak dan Bogor) harus ditangani terpadu. Banjir Kanal mulai dibangun sejak tahun 1922.

Penanganan daerah hulu inilah yang kemudian terbengkalai selama puluhan tahun. Pembangunan waduk untuk penampungan air di kawasan hulu itu bahkan baru dimulai tahun 2016 dan tahun 2017 lalu, dengan dimulainya pembangunan bendungan di hulu Kali Ciliwung di Ciawi dan Empang di hulu Sungai Cisadane.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menjelaskan, puluhan dam dibangun untuk meminimalisasi dampak derasnya air dari daerah hulu Ciliwung.

Selanjutnya, Restu Gunawan mencatat, pada tahun 1930-an kembali terjadi banjir di Batavia yang disebabkan tidak maksimalnya fungsi Banjir Kanal. Banjir terjadi tahun 1931 dan tahun 1932. Terlebih pada awal tahun 1932, banjir melanda beberapa wilayah di Sumatera dan Jawa.

Holle Laan (sekarang Jalan Sabang) disebut sebagai Kali Gang Holle. Banjir terjadi dua kali pada 8 Januari dan 15 Januari 1932. Tidak hanya limpasan Ciliwung, air Sungai Cisadane dan Sungai Grogol juga meluap membanjiri Batavia. Ketika itu, Sungai Citarum juga mengalami banjir besar karena cuaca musim hujan yang ekstrem.

Majalah Pandji Poestaka terbitan Januari 1932 menuliskan bahwa banjir besar itu bukan karena kutukan Nyai Loro Kidul dan juga dikaitkan dengan Bung Karno yang baru dibebaskan dari penjara Sukamiskin, Bandung. Di Medan, Palembang, Betawi, Semarang, Surabaya, Bali, dan Borneo, air sungai dan selokan naik karena hujan tidak kunjung berhenti. Bahkan, di Bali, Sumba, dan Sumatera Timur, banjir mengorbankan beberapa jiwa manusia.

Banjir tahun 1932 melanda Batavia dari Floeit (Pluit) di tuara, Jelambar-Pesing di barat, Kebayoran dan Pasar Minggu di selatan, daerah Pecinan Glodok-Pancoran hingga sekitar lapangan Raja-Koningsplein-kini dikenal Lapangan Monas.

Kompas/Dudy Sudibyo

Para pekerja menyelesaikan pembangunan saluran kanal banjir di kawasan Pasar Ikan, Jakarta Utara, 24-10-1980. Saat penggalian saluran tersebut, banyak ditemukan pecahan keramik dan sisa-sisa kapal dari zaman VOC.

Kanal dan tanggul Jakarta

Semasa perang kemerdekaan di Kota Jakarta yang diduduki NICA Belanda pada tahun 1949, alumnus Technische Hoogeshcool (kini Institut Teknologi Bandung/ITB) WJ Blommestein sudah merancang tata air Pulau Jawa dan Batavia. Dia merancang waduk besar di Sungai Citarum, saluran penghubung Citarum dan Batavia, jaringan kanal, rumah pompa, dan tanggul di Teluk Jakarta untuk menjadi cadangan air bagi Kota Batavia berikut kolam dan reklamasi.

Sawarendro, ahli tata air alumnus Universitas Teknik Delft (DTU) Belanda, mengatakan, cara mengatur air di Jakarta adalah dengan membangun jaringan kanal, rumah pompa, dan polder seperti di Belanda. Mekanisme tersebut dia terapkan di sebuah perumahan di daerah Kapuk, Jakarta Utara, yang berada di dekat Cengkareng Drain.

Idealnya memang, semua saluran kanal, rumah pompa, polder, dan daerah reklamasi harus saling terhubung agar air dapat digeser dari satu kawasan ke wilayah lain jika permukaan laut sedang pasang. Adapun tanggul di teluk dan pesisir dapat menahan air dari hulu pada musim kemarau untuk menjadi cadangan air minum di Jakarta Raya.

Teknik tersebut diterapkan di Belanda setelah banjir besar tahun 1956 yang menenggelamkan lebih dari separuh daratan Kerajaan Belanda. Proyek tanggul laut Ijsel Meer Projekt dibangun dan membendung air dari kawasan Alpen agar tidak langsung masuk ke Laut Utara sekaligus mencegah air Laut Utara yang berombak ganas masuk ke daratan Belanda. Pada saat sama, berbagai polder dan daratan baru diperoleh Belanda dengan membangun tanggul raksasa tersebut yang masih bertahan hingga kini dan terus diperluas.

Adapun di Jakarta, salah satu proyek terbaru adalah Kanal Banjir Timur yang dirancang para teknisi Belanda dalam Netherlands Engineering Consultants (Nedco) tahun 1973 tentang dua terusan besar yang melingkari Jakarta, yakni Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur.

Rencana pembangunan Kanal Banjir Timur baru dituangkan dalam Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 dan pelaksanaan pembangunan baru dimulai tahun 2001.

Banjir yang kembali melanda Jakarta awal Februari 2018 ini mengingatkan belum tuntasnya kerja serius dalam menata bantaran sungai, membangun jaringan kanal, rumah pompa, polder, rencana tanggul laut sekaligus penataan kawasan hulu yang terintegrasi serta mendidik masyarakat hidup tertib, bersih dan mengelola sampah untuk tidak mengotori sungai.

Kompas/Riza Fathoni

Alat berat ampibi digunakan untuk penataan bantaran Kanal Banjir Timur di kawasan Cipinang Besar Selatan, JakartaTimur, Rabu (12/7/2017). Kanal sepanjang 23,5 km yang memotong lima aliran sungai (Sungai Cipinang, Sunter, Buaran, Cakung dan Jati Kramat) tersebut melindungi 13 kelurahan di DKI seluas 150 km persegi.

Kerabat Kerja

Penulis: Iwan Santosa | fotografer: Agus Susanto, Kartono Ryadi, Wisnu Widiantoro, Totok Wijayanto, Muhammad Sudarto, Dudy Sudibyo, Riza Fathoni, Dudi Anung (Rumah Tangga Kepresidenan) | infografik: Ardiansyah, Dimas Tri Adiyanto | designer & pengembang: Elga Yuda Pranata, Vandy Vicario | penyelaras bahasa: Rosdiana Sitompul | produser: Dahono Fitrianto, Haryo Damardono

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.