Banten Lama, Hina dan Mulia Bersama Lada

Indonesia saat ini menghadapi gugatan Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) akibat menghentikan ekspor bahan baku mentah nikel. Kebijakan ini diambil Indonesia yang tidak ingin sekadar menjual bahan mentah, tetapi ingin bangkit menjadi negara industri. Bukan baru kali ini saja, berbagai komoditas asal Indonesia sejak lama menjadi rebutan banyak pihak.

Sejak berabad silam, komoditas dari Nusantara dan Asia menjadi sumber kemakmuran ekonomi Eropa. Negara-negara dari ”Benua Biru” ini mengolah bahan mentah dari Nusantara dan Asia menjadi produk akhir yang kemudian dijual dengan harga berlipat.

Sejak berabad silam, komoditas dari Nusantara dan Asia menjadi sumber kemakmuran ekonomi Eropa.

Sejarah selama lima ratus tahun ini membuktikan, dunia diwarnai perebutan rempah, persaingan perdagangan gula, teh, dan kopi, hingga perebutan minyak dan gas bumi seiring hadirnya mesin uap.

Saat ini, yang disebut zaman revolusi industri 4.0, perlombaan berkisar pada pengadaan energi pengganti minyak bumi, seperti baterai listik, selain persaingan di bidang teknologi informasi dan teknologi semikonduktor.

Seperti mengulang sejarah, persaingan mutakhir ini terkait erat dengan sumber daya alam kepulauan Nusantara. Negara-negara maju di dunia Barat kembali memonopoli penguasaan eksploitasi bahan mentah dari Nusantara atau negara-negara berkembang. Dengan demikian, kesenjangan politik dan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang tetap abadi bahkan semakin timpang.

Situasi ini seakan tak asing lagi. Pada masa pencarian rempah-rempah oleh bangsa Eropa, banyak kerajaan di Nusantara yang semula makmur dari hasil perdagangan rempah kemudian berubah nasibnya 180 derajat akibat praktik monopoli bangsa Eropa.

Salah satunya seperti dialami Kesultanan Banten yang sempat menikmati kemakmuran berkat perdagangan rempah, terutama lada. Pada abad pertengahan, selain pala dan cengkeh, lada asal Nusantara juga menjadi buruan Bangsa Eropa karena menjadi salah satu komoditas penting dunia.

Persaingan untuk menguasai sumber rempah mendorong kompeni Belanda menerapkan politik pecah belah (devide et impera) yang menyebabkan perang saudara dan kehancuran Banten. Belanda bersekutu dengan salah satu faksi penguasa di Kesultanan Banten, yakni Sultan Haji, yang berseteru dengan ayahnya, Sultan Agung Tirtayasa, yang tengah berkuasa.