Beragam model latihan berlabel high intensity interval training (HIIT) merebak di masyarakat, didorong promosi aktif industri kebugaran dengan iming-iming: cara tercepat menguras lemak tubuh. Meminjam hasil riset, banyak media juga memberitakan janji menggiurkan itu. Hanya, salah kaprah terjadi berkat promosi dan berita yang tak lengkap. Lupa mencantumkan: ”syarat dan ketentuan berlaku”.
Seorang eksekutif menengah Jakarta berusia 40-an tahun memperoleh semangat baru. Lama dia dihantui kekhawatiran, rutinitas harian bakal menggerogoti kesehatan dan usianya. Gaya hidup merusak tubuhnya. Lima-enam hari dia bekerja di kantor dalam sepekan, duduk menghadap layar komputer minimal tujuh jam sehari, sesekali menenggak kopi manis penghilang kantuk dan makan siang—yang mau tak mau—kaya lemak.
Lalu, setiap hari pula dia harus menembus kemacetan. Duduk di belakang kemudi mobil lebih dari satu setengah jam untuk tiba di rumah. Tubuhnya semakin hari semakin tebal dan lunak. Gerakannya kian tak gesit. Olahraga? Mana ada waktu.
Itu dulu. Kini, dia punya harapan. Si eksekutif mulai mengikuti program olahraga yang ditawarkan sebuah konsultan diet. Latihan yang diberikan tak hanya dijanjikan membuat tubuh bugar. Lebih dari itu, bakal mengurangi berat badan dengan membakar lemak dengan cepat.
Latihannya pun tak lama. Tak sampai 30 menit sekali pertemuan. Itu pun sudah menghitung waktu pemanasan sebelum latihan dan bercengkerama dengan rekan usai berolahraga. Si eksekutif menyebut program latihannya adalah HIIT, latihan berjeda intensitas tinggi. Juga Tabata.
Ideal bukan? Berolahraga dua-tiga kali sepekan dengan setiap sesi jauh lebih cepat dari setengah jam. Harapan yang bisa diraih: tubuh bugar dan lemak tubuh berkurang lebih cepat dibandingkan menyusutkannya dengan joging yang bisa memakan waktu sejam atau lebih.
Benarkah HIIT lebih mujarab untuk bugar dan menguruskan badan dibandingkan joging atau lari jarak jauh yang intensitasnya menengah?