Temuan kain-kain batik berwarna merah di tepian Sungai Batanghari telah menggoda perhatian para bangsawan kolonial. Mereka terpincut akan keindahan setiap detailnya. Kelak terungkap, motif dan warnanya menyiratkan akulturasi budaya.
Pada awal abad ke-20, saat singgah di sebuah kampung di seberang Sungai Batanghari dan mendapati kain-kain nan indah, sejumlah peneliti pun bertanya-tanya. Dari mana datangnya batik yang didominasi paduan warna merah itu?
Merah tua dan muda berpadu anggun di atas dasaran hitam, terkadang dasaran biru tua dan cokelat. Motif dan ragam hiasnya tampak detail mengisi sutra nan lembut. Penelusuran pun mulai dilakukan.
Dalam catatan khusus Djambi, J Tideman dan FL Sigar menuliskan, di antara batik-batik bercorak kuning kecokelatan dengan urat-urat cokelat muda, dan corak keemasan di atas latar biru tua hampir hitam, tampaklah batik-batik berwarna merah yang sangat menarik perhatian. Meliputi batik sarung, selendang, hingga penutup kepala. Ada pula kerajinan benang emas dan tenun ikat. Semuanya begitu mengundang perhatian dan kekaguman.
”Di Kampoeng Tengah, di tepi kiri Batanghari ada 20-an perempuan membatik,” demikian catatan Tideman dalam dokumen kolonial Koninklijke Vereeniging Koloniaal Instituut Amsterdam Mededeeling No.XLII Tahun 1938.
Kampoeng Tengah yang disebut itu hingga kini dikenal sebagai Kampung Tengah dan sentra kerajinan batik Kota Jambi. Kawasannya sendiri lebih dikenal dengan nama Seberang Kota Jambi (Sekoja).
Wisatawan yang hendak singgah cukup menyeberang Sungai Batanghari menggunakan jasa perahu (ketek). Setibanya di seberang tampaklah rumah-rumah panggung kuno dengan arsitektur akulturasi Melayu, Tionghoa, dan Arab. Di dalam rumah-rumah tua itulah usaha batik berdenyut.