Batik Mangrove Punya Cerita

Berawal dari sebuah petuah, hamparan pesisir Pangkal Babu bersalin wajah bagai surga. Tak ada lagi wajah suram desa akibat banjir bandang dan gagal panen. Keindahan desa yang menjaga biodiversitas berbuah di alam dan di atas lembaran kain batik.

Petuah itu  berbunyi, ”Siapa yang menebang satu batang mangrove, wajib menanam 10 bibit mangrove kembali.”

Kompas/Irma Tambunan
Pengunjung melintasi jalur Hutan Mangrove Pangkal Babu, Tanjung Jabung Timur, Jambi, Minggu (2/4/2023). Tumbuhnya ekowisata setempat merupakan buah dari perjuangan masyarakat melestarikan ekosistem bakau.

 

Kawasan hutan mangrove di Pangkal Babu semula masih kosong karena rusak. Banjir bandang menerjang desa. Angin laut kerap menerpa permukiman. Apalagi, permukiman warga terletak di Pesisir Timur Jambi. Peristiwa ini berdampak langsung pada berbagai sisi kehidupan masyarakat. Tanaman pertanian gagal panen. Kebun kelapa yang menjadi sandaran ekonomi juga rusak.

Ahmadi, salah satu pendiri desa, merasa khawatir jika bencana terus berlarut. Ia pun mengajak masyarakat menanam mangrove. Ajakan itu ia mulai dari diri sendiri. Ahmadi menanam mangrove di pekarangan rumah dan sekitar hutan mulai tahun 2002. Ia lalu belajar membibitkannya. ”Saya bilang ke masyarakat, kalau tidak ada yang menanam mangrove, desa kita bisa-bisa semakin hancur,” kenang Ahmadi (73), di Pangkal Babu, Tanjung Jabung Barat, Minggu (2/4/2023).

 

Kompas/Irma Tambunan
Ahmadi (73), tokoh pelestarian mangrove di Bangkal Babu, Tanjung Jabung Barat.

Petuah darinya kemudian tertuang menjadi aturan lisan. Warga ikut tergerak menanam mangrove. Mereka juga ikut membibitkannya. Ketika ada warga yang menebang sebatang pohon, ia akan dikenai denda adat dan sanksi untuk menanam 10 bibit.