Be Guling, Covid-19, dan Pariwisata Bali

Daging babi di Bali aslinya bukan bahan makanan utama masyarakat setempat. Olahan babi guling alias ”be guling” termasuk makanan mewah karena baru tersaji ketika diselenggarakan upacara keagamaan besar atau adat.

Kuliner be guling di ”Pulau Dewata” mulai marak sebagai makanan umum, seiring mulai booming-nya pariwisata pada tahun 1980-an. Kini, kuliner ini turut meredup, terempas isu demam babi Afrika (African swine fever/ASF) dan wabah Covid-19!

Penyakit ASF menular pada babi-babi dan dapat mengakibatkan kematian hewan tersebut. Namun, penyakit ini bukan zoonosis, tidak menular dari hewan ke manusia.

supriyanto
Kasus demam Afrika dan Covid-19 berdampak pada para peternak babi dan penjual kuliner babi guling di Bali. “Pulau Dewata” itu juga sepi dari aktivitas pariwisata yang selama ini menjadi andalan penggerak perekonomian setempat.

Maraknya warung atau resto be guling menciptakan kesan bahwa warga Bali sangat doyan daging babi. Padahal, menjamurnya menu ini lebih sebagai dampak dari turis-turis yang memfavoritkan kuliner be guling atau babi panggang.

Bagaimana akhirnya be guling menjelma sebagai kuliner favorit sebagian wisatawan yang berpelesir ke Pulau Bali?

Tidak sedikit wisatawan, baik domestik maupun asing, yang menjadikan menu ini dalam daftar wajib kuliner mereka. Tidak heran jika bermunculan sederet warung be guling yang menjadi favorit turis, seperti Pak Malen, Dobil (Badung), Candra (Denpasar), dan Bu Oka (Gianyar). Ini belum termasuk sederetan warung be guling lain yang menjajakan menunya, bahkan ada yang hanya Rp 5.000 per bungkus!

kompas/ayu sulistyowati
Babi guling yang sudah matang setelah 2-3 jam proses pemanggangan tradisional.

Salah satu penggemar kuliner be guling, Nia Adundia (45), warga Jakarta, bela-belain ngebut menuju warung favoritnya usai mendarat di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, pada suatu senja belum lama ini.