Berawal dari Trem Kuda

Bilangan Kota Tua Jakarta menjadi saksi perkembangan transportasi berbasis rel. Tio Tek Hong dalam buku “Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Sebuah Kenangan 1882-1959” mencatat munculnya trem kuda pada tahun 1869 berupa kereta panjang berjalan di atas rel yang dihela 3-4 ekor kuda.

Trem kuda yang beroperasi tahun 1869-1887 bergerak dengan aba-aba terompet. Trem kuda berangkat dari Kota Intan, dekat Kalibesar, hingga Harmonie atau Rumah Bola. Dari Harmonie, jalur trem terpecah dua, yakni satu jurusan ke Tanah Abang dan jurusan lain ke Pintu Air menuju Pasar Baru-Lapangan Banteng-Pasar Senen-Kramat-lalu ke Jatinegara. Sama dengan jalur trem listrik di Batavia tahun 1900-an.

Gerbong trem kuda dapat mengangkut 40 penumpang dengan tarif dari Kota Intan ke Kramat sebesar 10 sen, dan dari Kramat ke Jatinegara sebesar 10 sen. Demikian pula ongkos dari Kota Intan ke Tanah Abang melalui Harmonie yang kena biaya 10 sen.

Trem kuda berangkat setiap lima menit dan memulai layanan sejak pukul 05.00 hingga pukul 20.00. Setiap penumpang mendapat karcis yang dicap dengan nomor jalan. Apabila penumpang hendak naik atau turun, penjual karcis membunyikan lonceng agar kusir memutar rem. Penumpang sebelum turun harus mengembalikan karcis kepada penjual.

charls van es & co/arsip kitlv
Dimulainya operasional trem listrik di Batavia pada 1899.

Lalu berkembang mesin uap, dikenallah Stoomtram Maatschappij yang mengambil jalur Kota Intan via lapangan Glodok-Harmonie-Pasar Baru-Pasar Senen-Kramat dan Jatinegara. Pada awal abad 1900-an beroperasi Batavia Electrische Tram Maatschappij atau Maskapai Trem Listrik Batavia dengan jalur dari Kota Intan ke belakang gedung Javasche Bank (kini Museum Bank Indonesia)-Kebon Tengsek membelok ke Jembatan Batu, Jembatan Senti, Jalan Jakarta (kini Jalan Pangeran Jayakarta dekat jagal babi), berbelok ke selatan ke Pasar Senen via Kalilio, Tanah Tinggi, ke jurusan Kramat. Jalur relnya berbeda agar tidak bersaing dengan trem uap atau stoom tram yang muncul setelah trem kuda.

Tio Tek Hong mencatat, pada zaman pendudukan Jepang layanan trem uap dari Jembatan Merah ke Jakarta Kota dihapuskan. Trem uap hanya beroperasi dari Kramat ke Jembatan Merah. Sebelumnya, layanan trem uap di beberapa jalur lainnya juga sudah tak beroperasi. Akhirnya stoom tram atau trem uap benar-benar berhenti beroperasi dan hanya tersisa trem listrik.

Ada beberapa stasiun kereta di dekat Balai Kota atau lapangan Fatahillah. Kartum Setiawan, pendiri Komunitas Jelajah Budaya, menceritakan, ada dua stasiun kereta api di dekat lapangan Fatahillah. Posisinya sebelum Stasiun BEOS atau Stasiun Jakarta Kota berdiri.

Salah satunya, Stasiun Batavia Sud yang melayani jalur dari Batavia ke Buitenzorg dan dioperasikan oleh maskapai NIS lalu diambil alih oleh SS, maskapai Pemerintah Hindia Belanda. Maskapai SS kemudian mengembangkan Jalur Priangan atau Preanger Lijn yang selesai dibangun tahun 1884 dengan jalur kereta api Buitenzorg-Bandung.