Gelembung air menyembul dari dalam Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan. Tidak lama berselang, sosok Budiman (30) muncul ke permukaan dengan kaus hitamnya. Dia membuka masker sembari memegang pinggiran perahu bermesin.
Sejenak ia menghela napas kemudian merogoh kantong celana. Lalu bermunculan lah pecahan mangkuk keramik, gerabah, dan sebuah mata tombak dengan panjang sekitar 20 sentimeter.
Kemampuannya memperkirakan asal tinggalan bersejarah itu lantaran sudah 30 tahun dia bekerja sebagai pencari benda kuno di dasar Sungai Musi.
Hamid (58), ayah Budiman, mengambili satu per satu temuan yang diperoleh anaknya itu sembari menjelaskan, ”Keramik ini dari dinasti Song dan Yuan,” klaim Hamid, Kamis (28/10/2021).
Kemampuannya memperkirakan asal tinggalan bersejarah itu lantaran sudah 30 tahun dia bekerja sebagai pencari benda kuno di dasar Sungai Musi. Karena tubuhnya yang kian renta, empat tahun lalu ia memutuskan pensiun. Posisinya digantikan dua anaknya, yaitu Budiman dan Badarudin (38).
Bagi Hamid, Sungai Musi menyimpan beragam benda pusaka yang selalu mendatangkan berkah baginya dan penduduk sekitar Pulau Kemaro, Palembang. Apa saja yang mereka temukan di dalam sungai pasti memiliki nilai jual. Mulai dari keramik, gerabah, arca, koin, perhiasan, hingga serbuk emas.
Ingatannya pun kembali ke masa 1990-an saat berangkat dari kampungnya di Kabupaten Ogan Komering Ilir untuk mencari peruntungan. Tibalah dia di Pulau Kemaro di tengah Sungai Musi, Palembang. Di sanalah ia dan keluarganya kemudian bermukim.
Kala itu, tubuh muda Hamid masih kuat menyelam. Alat yang digunakan pun cukup sederhana, hanya galah dan tali. Tidak perlu kompresor, hanya mengandalkan kemampuan menahan napas di bawah air. Incarannya saat itu adalah kayu yang terbawa aliran sungai dari hulu ke hilir, seperti kayu jelutung, meranti, dan racuk. ”Kayu itu kami jual kepada mereka yang butuh untuk membuat rumah,” katanya.
Lama-kelamaan, kayu semakin sulit didapat. Ganti ia mengincar besi tua. Lambat laun besi tua pun habis. Sekitar tahun 2006, Hamid menemukan pecahan keramik dan gerabah. Ternyata, ada seorang kolektor menawar temuan itu untuk ditukar dengan beberapa lembar kain dan kelambu. ”Keramik yang saya temukan dihargai lima lembar pakaian,” kata Hamid.
Kabar temuan barang antik kemudian menyebar. Semakin banyaklah kolektor yang datang untuk mengambil hasil buruan para penyelam. Bahkan beberapa di antaranya datang dari luar Sumatera Selatan. ”Dari situ, kami baru tahu kalau barang yang kami temukan itu bisa dijual,” kata Hamid.
Harga barang antik sangat bergantung pada ukuran, keunikan, usia, dan keutuhannya. Keramik dari dinasti Yuan, misalnya, kalau tidak utuh hanya laku dijual Rp 50.000, tetapi kalau utuh bisa laku hingga Rp 6 juta,” jelasnya.
Dengan menjadi seorang penyelam, Hamid akhirnya bisa membeli sebuah kapal seharga 15 juta dan beberapa peralatan pendukung lainnya, seperti kompresor dan alat saring. Total dana awal yang diperlukan untuk memulai penyelaman sekitar Rp 40 juta.
Satu kelompok penyelam berjumlah 5-10 orang. Kerja mereka tergantung pasang surut air sungai. ”Kalau sungai sedang surut, kami tidak menyelam karena arus di dasar sungai pasti deras sekali,” kata Budiman.
Di dasar sungai, jarak pandang sangat terbatas, bahkan nol. Karena itu, tak jarang Budiman mengalami tabrakan dengan ikan atau puing kayu kecil yang mengarah padanya. Budiman hanya mengandalkan indra peraba untuk mendeteksi keberadaan barang berharga di dasar sungai.
Untuk barang besar yang ditemukan, akan dikantongi. Sementara untuk barang kecil, akan disedot dengan selang berdiameter 4 inci untuk kemudian dipilah di atas kapal. Para kru dengan cekatan memisahkan barang berharga dari pasir. Mata mereka sangat jeli mengidentifikasi sesuatu yang berbeda, seperti manik-manik dan perhiasan, bahkan serbuk emas. Pasir yang tidak terpakai dibuang kembali ke sungai.
Sekali berlayar, kata Budiman, butuh waktu hingga 4 jam. Perburuan terus berlanjut sampai setidaknya uang operasional terpenuhi.
Setiap hari, uang operasional yang dibutuhkan sekitar Rp 300.000. Karena itu, mereka menargetkan menemukan barang antik bernilai Rp 1 juta- Rp 1,5 juta per hari agar pulang membawa hasil.
”Setiap kali berlayar, kami akan membagi rata hasil temuan. Biasanya, satu orang mendapat Rp 100.000 per hari atau lebih, sedangkan pemilik kapal mendapatkan uang lebih untuk biaya perawatan kapal,” tambah Budiman.
Tak seperti legenda
Di Pulau Kemaro, hidup sebuah legenda tentang kisah cinta saudagar China, Tan Bun An, dan Putri Palembang, Siti Fatimah. Dalam penggalan cerita disebutkan, Tan Bun An marah ketika melihat hadiah perkawinan dari orangtuanya yang hanya berupa sawi dan tersimpan dalam sebuah guci. Karena kesal, ia membuang guci itu ke sungai.
Ternyata di dalam guci itu juga terdapat emas. Tan Bun An yang menyesal, melompat ke sungai untuk mencari guci. Namun, sosoknya tak pernah muncul lagi. ”Kami sedang mencari guci dan emas milik Tan Bun An itu, tetapi belum ketemu,” ujar Bunyamin (58), mantan penyelam, sembari tersenyum.
Menurut dia, sangat sulit untuk mendapatkan emas di Sungai Musi. Dalam satu bulan, pali ng banter dia hanya mendapat 1 gram emas, baik dalam bentuk perhiasan maupun serbuk. ”Mungkin sudah sering diambil, jadi jumlahnya kian terbatas,” ungkapnya.
Emas menjadi barang yang paling diincar para penyelam karena 1 gram-nya bisa dihargai hingga Rp 400.000 oleh para kolektor. Untuk mendapatkan emas, kru kapal harus benar-benar jeli memilahnya. Ini karena serbuk emas atau perhiasan yang sudah lama terendam di sungai biasanya akan berselimutkan pasir. Dan untuk melimbangnya, para pemburu harta karun harus menggunakan merkuri.
Selain itu, untuk mendapatkan barang berharga, para pemburu harus berbagi wilayah dengan kelompok lain. Di sepanjang aliran Sungai Musi yang masuk wilayah Palembang, setidaknya ada tiga daerah yang memiliki kelompok penyelam harta karun, yakni Pulau Kemaro, Tangga Buntung, dan Kramasan.
Wisnu, salah satu kolektor, menyimpan hasil temuan dari Sungai Musi, mulai dari gerabah, koin, keramik China, hingga beberapa gram emas perhiasan. ”Salah satu cincin bergambar Buddha,” ungkapnya.
Temuan-temuan berupa gerabah, keramik, dan koin disimpan dalam lemari kaca di ruang tamu. Sementara perhiasan emas disimpan di ruang khusus. Hasil temuan itu disimpan sembari menunggu kolektor dari luar Palembang yang ingin membeli dengan harga yang disepakati. ”Kalau harganya cocok, akan saya lepas,” ujar Wisnu.
Dijadikan jimat
Pedagang barang antik, Bobby (35), mengambil hasil temuan dari para penyelam untuk kemudian dijual di emperan jalan di Kawasan Pasar Cinde Palembang. Beragam barang antik ia jual, antara lain keris dan arca berukuran kecil. ”Entah itu peninggalan Sriwijaya atau bukan,” ungkapnya.
Menurut dia, sejarah benda penemuan bukan hal penting bagi pelanggan. Asal kelihatan antik dan unik, pasti banyak diincar. ”Biasanya barang-barang temuan ini dijadikan jimat atau barang koleksi,” ucapnya.
Harganya pun beragam, mulai dari Rp 50.000 sampai Rp 300.000. Dia tidak berani menjual dengan harga mahal karena untuk pasar emperan, biasanya yang datang adalah masyarakat biasa dan bukan kolektor besar. Barang untuk kolektor besar ia sediakan di ruang tersendiri dan dijual melalui koneksi atau media sosial.
Omzet sangat bergantung pada peruntungan. Namun, rata-rata dalam sehari dia bisa menjual sedikitnya tiga barang antik. Bobby teringat pernah membeli sebuah pedang seharga Rp 400.000 dari seorang penyelam dan dijual kepada seorang kolektor seharga Rp 3,6 juta. ”Namanya juga hobi. Berapa pun, mereka keluarkan untuk mendapatkan barang yang disukai,” kata Bobby.
Hal serupa dialami Dafa (38). Di emperan Pasar Cinde, ia menjual beragam barang antik, seperti batuan, koin, hingga arca perunggu. ”Sebagian barang antik saya peroleh dari penyelam di Sungai Musi,” kata Dafa.
Salah satu yang pernah ia dapatkan adalah arca perunggu berwujud sesosok Dewa yang ia jual seharga Rp 550.000. Sementara untuk bebatuan dan koin, dia banderol Rp 10.000 per buah. Menurut dia, sulit menjual dengan harga mahal untuk pembeli biasa di Palembang. Beda jika pembelinya datang dari Jawa atau luar negeri.
Mereka rela merogoh kocek hingga jutaan rupiah untuk membeli satu barang antik. ”Sebelum pandemi Covid-19, banyak turis dari Malaysia dan China datang untuk membeli barang antik. Tidak hanya membeli satu dua, mereka bisa memborong beberapa barang sekaligus,” kata Dafa. Namun, dia tidak tahu apakah barang itu hanya untuk koleksi atau dijual kembali.
Kegiatan terlarang
Kepala Dinas Kebudayaan Kota Palembang Agus Rizal menuturkan, kegiatan pencarian benda cagar budaya diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang kemudian diturunkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) Palembang No 11/2020.
Dalam Pasal 24 Perda tersebut, setiap orang dilarang melakukan pencarian tanpa izin pemerintah Kota Palembang. ”Dari aturan ini jelas, kegiatan penyelaman dilarang,” ungkapnya.
Agus mengakui, pihaknya belum sempat melakukan sosialisasi perda yang terbit pada November 2020 tersebut. ”Setelah pandemi mereda, baru sosialisasi akan dilakukan,” ungkapnya.
Sosialisasi sangat penting untuk membangun komunikasi antarinstansi terkait tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Hasil sosialisasi diharapkan dapat menjadi pedoman dalam penyusunan petunjuk teknis (juknis) dan turunan berupa peraturan wali kota Palembang.
Kepala Seksi Cagar Budaya dan Permuseuman Dinas Kebudayaan Palembang Nyimas Ulfa mengatakan, kawasan Sungai Musi memang belum menjadi Kawasan Cagar Budaya. Untuk menjadikan suatu kawasan menjadi cagar budaya, perlu dilakukan pengkajian oleh Tim Ahli Cagar Budaya daerah setempat.
Selain itu, penetapan kawasan cagar budaya harus mempertimbangkan banyak hal. Salah satunya, masih digunakannya Sungai Musi sebagai jalur transportasi utama sungai. ”Palembang adalah kota tua yang masih terus berkembang karena tetap adanya aktivitas masyarakat,” katanya.
Dirinya mengakui tidak bisa berbuat banyak karena belum ada petunjuk teknis terkait skema pencarian cagar budaya di bawah air.
Dirinya mengakui tidak bisa berbuat banyak karena belum ada petunjuk teknis terkait skema pencarian cagar budaya di bawah air. ”Kami sedang menggodok peraturan turunan dari perda terkait,” kata Nyimas.
Dari hasil penelusuran di lapangan, banyak penyelam enggan melaporkan barang temuannya karena khawatir pemerintah akan mengambil temuan tersebut. ”Padahal pelaporan penting guna memastikan dari mana barang itu diperoleh. Warga yang memilikinya masih boleh menyimpannya,” lanjut Nyimas.
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Kota Palembang Retno Purwanti menuturkan, sebenarnya banyak tinggalan dari Sungai Musi yang tidak memiliki nilai penting. Tidak semua barang antik yang ditemukan di Sungai Musi berasal dari Kedatuan Sriwijaya.
Pasalnya, barang yang ditemukan dari dalam sungai sudah kehilangan konteks. Dari sisi kajian ilmiah pun tidak bisa dipertanggungjawabkan. Menurut dia, mungkin saja ada pihak yang sengaja membuat narasi bahwa temuan dari Sungai Musi berasal dari Kedatuan Sriwijaya.
”Tujuannya agar temuan itu memiliki nilai tinggi dan diincar oleh kolektor. Bisa jadi barang itu merupakan barang baru yang kemudian direkayasa seolah lama. Apalagi usia logam sulit diprediksi, tidak seperti kayu yang bisa diteliti melalui uji karbon,” tambahnya.
Jika memang ada benda temuan yang memiliki nilai penting, pemerintah kota bisa saja membelinya dengan membayar uang kompensasi. Retno menambahkan, skema kerja sama yang baik antara masyarakat dan pemerintah dalam pencarian benda bersejarah sudah terjadi di Kawasan Sangiran, Jawa Tengah.
Di sana, kesadaran masyarakat terhadap benda cagar budaya relatif mulai meningkat. Ketika ada temuan fosil yang diduga cagar budaya, warga akan melaporkannya kepada balai terkait. Jika temuan tersebut memang memiliki nilai penting, pemerintah akan membayar kompensasinya.
Pemodal
Kepala Balai Arkeologi Sumatera Selatan Budi Wiyana menduga, banyak barang yang beredar diklaim berasal dari Sungai Musi, padahal bukan. Dugaan ini muncul karena barang antik yang diklaim berasal dari Sungai Musi memiliki kemiripan dengan benda kuno yang ditemukan di pesisir timur Sumatera, seperti di kawasan Karang Agung, Cengal, dan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Misalnya, perhiasan, arca dari kayu, keramik, dan gerabah. Dari daerah-daerah tersebut memang banyak ditemukan benda bersejarah yang diperkirakan berasal dari masa abad ke-5 Masehi atau sebelum Kedatuan Sriwijaya berdiri.
Narasi semacam itu sengaja diciptakan karena Sungai Musi dan Sriwijaya memiliki daya tarik tersendiri bagi para pencinta barang antik. Budi pun menduga adanya pemodal yang mendanai warga untuk mencari barang antik untuk kemudian dijual ke para kolektor. Tidak menutup kemungkinan, barang-barang antik tersebut disalurkan hingga ke luar negeri dengan Bali sebagai daerah hub (simpul) jual beli.
Tidak sesuai prosedur
Budi menilai penyelaman di Sungai Musi tidak sesuai prosedur standar operasi sehingga sangat membahayakan keselamatan. Penyelam menggunakan kompresor dalam waktu lama, yakni 1-2 jam di bawah air. Padahal, normalnya penyelaman tidak boleh lebih dari 45 menit. Jika hal ini berlangsung bertahun-tahun, akan berpengaruh pada saraf, dan memicu kelumpuhan.
Peralatan yang digunakan para penyelam tradisional itu pun tidak memadai sehingga berpotensi membuat penyelam terseret arus deras sungai. ”Sudah ada beberapa penyelam yang meregang nyawa gara-gara itu,” ujar Budi yang juga seorang penyelam dan arkeolog maritim.
Dia menjelaskan, untuk melakukan penelitian di bawah air, butuh izin dan tahapan tertentu. Khusus untuk Sungai Musi, belum pernah dilakukan kajian di dasar air karena memang kondisinya tidak memungkinkan.
Selain arus bawah air yang sangat deras, jarak pandang di dalam sungai pun nol alias tidak terlihat apa-apa. ”Padahal, dalam kajian, harus diketahui di mana barang itu ditemukan, termasuk harus melakukan dokumentasi bawah air,” ungkapnya.
Aktivitas pencarian barang antik di Sungai Musi dimulai tahun 2006 dengan ditemukannya arca perunggu berlapis emas. Menurut kabar yang beredar, arca tersebut ditemukan oleh kelompok penyelam dari kawasan Tangga Buntung, tepatnya 14 Ulu, Palembang. Temuan itu kemudian dijual ke luar negeri dengan harga Rp 1 miliar.
Penemuan tersebut memicu munculnya banyak penyelam yang berlomba mencari peruntungan di sekitar lokasi temuan arca. Saking banyaknya penyelam, Wali Kota Palembang, saat itu Eddy Santana, meminta pihak terkait melakukan sosialisasi.
”Aktivitas tersebut mengganggu alur transportasi sungai, selain dapat merusak kontur dasar sungai yang membuat konteks sejarah di Sungai Musi kian sulit diteliti,” kata Budi.
Ketua Komunitas Pecinta Antik Kreatif Sriwijaya, Himeryudi, berharap pemerintah tidak sekadar melarang, tetapi juga membuat regulasi yang jelas mengenai fenomena ini.
Menurut Himeryudi, aktivitas pencarian sudah ada sebelum terbitnya undang-undang cagar budaya. ”Jika tiba-tiba dilarang, pemerintah harus menyediakan lapangan kerja pengganti bagi mereka,” katanya.
Dia menghitung, ada sekitar 30 kelompok penyelam di sepanjang Sungai Musi dengan satu kelompok berisi sampai 10 orang. Menurut dia, pemerintah perlu mencari solusi terbaik.
Pihaknya menyayangkan, pemerintah baru melakukan sosialisasi ketika muncul kasus seperti penyelam tenggelam atau fenomena lain yang viral di media. ”Seharusnya pendataan dan pendampingan dilakukan berkelanjutan,” ungkap Himeryudi.
Sebenarnya, para penyelam membuka diri untuk bekerja sama dengan pemerintah. Hanya saja belum ada tindak lanjutnya. Misalnya, pihaknya pernah menawarkan kerja sama dengan pemerintah, yakni warga bisa tetap menyelam. Pemerintah yang akan mencatat atau meneliti lebih lanjut hasil temuan warga tersebut.
”Kalau memang temuan penyelam perlu didata, seharusnya pemerintah jemput bola untuk mencatat temuan itu,” kata Himeryudi.
Menurut dia, integritas para penyelam tidak perlu diragukan lagi. Ia mencontohkan, pihaknya kerap mengajak para penyelam dan kolektor untuk tidak menjual barang antik Nusantara ke luar negeri.
Hasilnya, beberapa kolektor berencana membuat galeri sebagai sarana edukasi masyarakat. ”Kami tidak mau anak cucu kami kehilangan identitasnya. Karena itu, temuan yang berkaitan dengan Nusantara sebisa mungkin akan tetap kami jaga,” ujar Himeryudi.