Bersiap Menuai Bencana

Ribuan pembangkit listrik tenaga uap dan area pertambangan di Indonesia berada di kawasan risiko bencana alam. Dibutuhkan pengawasan ekstra ketat dan mitigasi bencana energi untuk menghadapi situasi krisis yang menimbulkan kerugian besar, khususnya bagi masyarakat sekitar.

Gambaran besarnya risiko bencana di area pertambangan terungkap dalam laporan ”Bencana Yang Diundang (April 2021)”, yang disusun oleh lembaga Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Trend Asia, dan #BersihkanIndonesia.

Laporan itu menyebutkan adanya kawasan rawan bencana yang dijadikan lokasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan pertambangan.

Laporan itu menyebutkan adanya kawasan rawan bencana yang dijadikan lokasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan pertambangan. Kurang tepatnya pemanfaatan ruang dinilai dapat mengundang bencana dengan skala yang lebih besar.

Jenis bencana yang menjadi fokus pembahasan adalah gempa bumi, banjir, dan longsor. Berdasarkan laporan tersebut, di kawasan rawan bencana, setidaknya ada 173 PLTU yang telah beroperasi dengan total kapasitas lebih dari 25.000 megawatt (MW) dan lahan konsesi pertambangan seluas 9,4 juta hektar.

 

 

Sekitar 35 persen di antaranya tersebar di Pulau Sumatera. Sisanya di Pulau Sulawesi (20 persen), Pulau Jawa (14,5 persen), dan Pulau Kalimantan (13,5 persen).

Keberadaan industri energi ekstraktif di kawasan rawan bencana memiliki dua implikasi, yaitu perbesaran skala bencana dan kerugian yang lebih besar. Perbesaran skala bencana terjadi saat terjadi bencana besar dan mengakibatkan kerusakan masif di area indutri.