Dari ujung barat sampai timur Indonesia, bubur relatif mudah dijumpai. Saking banyak jenisnya, negeri ini bisa dikatakan sebagai gudangnya aneka bubur. Ada bubur gurih atau manis, bubur berkuah dengan tambahan sayuran, dan bubur yang dipadu protein hewani atau nabati. Semuanya memiliki kekhasan tersendiri yang menjadikannya istimewa.
Selama ini, bubur identik sebagai makanan orang sakit. Teksturnya yang lembek dan berair memang memudahkan kita untuk melumatnya. Bubur untuk Si Sakit tersebut disajikan polosan, tak menarik. Berbeda terntunya dengan semangkuk bubur hangat yang kerap dinikmati sebagai hidangan sarapan, bahkan santapan kapan saja ketika kita ingin dimanjakan oleh kehangatan, kelembutan, aroma gurihnya yang menyusupi penciuman..
Bahan pelengkapnya cukup beragam, antara lain suwiran ayam, irisan rempela hati, irisan daun bawang, kacang kedelai goreng, bawang merah goreng, cakwe, dan kerupuk. Tambahan kuah kaldu ayam berwarna kuning membuat bubur kian segar.
Pedagang bubur ayam banyak dijumpai saat pagi hari, tetapi ada pula yang menjualnya pada malam. Ada beragam variasi bubur ayam yang terdapat di Indonesia. Biasanya penamaan bubur akan diikuti dengan daerah atau nama pemiliknya, seperti bubur ayam Bandung, bubur ayam Cirebon, bubur ayam Jakarta, bubur ayam Pak Ndut, dan bubur ayam Mang Dudung. Yang membedakan satu bubur dengan bubur lainnya adalah bahan-bahan (ingredient) bumbu dan bahan pelengkapnya.
Bubur ayam yang dikenal sekarang terbuat dari beras dan kaldu ayam, disebut sebagai hidangan peranakan. Guru besar sejarah Chester D Tripp Universitas Yale, Paul Freedman, dalam buku Budaya dan Kuliner Memoar tentang Dapur China Peranakan Jawa Timur (2019), menjelaskan, bubur merupakan warisan kuliner Tionghoa. Penyebaran kuliner ini dibawa oleh para orang Tionghoa yang singgah ke Indonesia. Kebiasaan sarapan bubur dilakukan oleh orang Tionghoa di negeri asalnya dan perantauan.
Jika ditelisik dari asal bahan utama bubur, sejak lama beras dibudidayakan di China. Bahkan, dari bukti-bukti arkeologi, para ahli berkeyakinan bahwa padi untuk pertama kalinya ditanam di China, seperti tertuang dalam buku Perjalanan Panjang Tanaman Indonesia (2012). Tanaman padi tergolong sebagai tanaman yang mudah beradaptasi dengan lingkungan. Biji-bijinya dibawa oleh mereka ke berbagai daerah, termasuk ke Indonesia. Kemudian, biji itu ditanam di tempat tinggal yang baru sebagai bahan pangan.
Masyarakat China dikenal pandai dalam pengolahan pertanian dan pascapanen. Menurut Prof Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya Jaringan Asia (2005), masyarakat China mengajarkan budidaya tanaman padi di Indonesia, seperti teknik mengolah sawah dengan tenaga ternak, pengenalan alat-alat pertanian, dan jenis benih padi baru bernama padiejeree.
Mereka berperan sebagai penggerak untuk mendorong masyarakat Jawa agar membudidayakan padi. Selain itu, mereka juga bergerak dalam penjualan dan produk olahan pascapanen. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan sebuah pecinan yang dihuni masyarakat China tergolong mapan di Jakarta pada tahun 1611. Kemakmurannya berasal dari perdagangan beras dan produksi arak (arak-branderijen).
Menurut Lombard, salah satu penemuan spektakuler China adalah alat penyosoh yang menggunakan tenaga lembu pada 1750. Lesung tradisional mampu mengolah 100 pon beras per hari, sementara alat penyosoh bisa mencapai 400-500 pon beras per hari. Sekitar tahun 1778, jumlah alat penyosoh yang laku sekitar 200 unit. Minimnya beras patahan yang dihasilkan oleh alat ini mampu mendongkrak harga beras menjadi 15-20 persen lebih tinggi.
Sumber daya yang tersedia dimanfaatkan oleh masyarakat China untuk mengolahnya dalam bentuk makanan. Misalnya, produk sampingan berupa patahan beras dijadikan sebagai tepung beras, kemudian digunakan untuk membuat mi atau kue basah. Sejumlah makanan yang berkembang merupakan hasil persilangan budaya, seperti soto, lumpia, dan bakpao.
Variasi bubur
Dalam perkembangannya, bubur perlahan menjadi makanan yang disukai oleh masyarakat. Bubur gurih yang terbuat dari beras tak hanya disajikan dengan suwiran ayam. Di sekitar Yogyakarta dan Surakarta, bubur gudeg-krecek dikenal sebagai menu sarapan yang diburu masyarakat lokal ataupun wisatawan. Isiannya terdiri dari bubur, gudeg, telur, tahu, sambal krecek, suwiran ayam atau ayam utuh. Buburnya dimasak dengan campuran santan sehingga berwarna putih susu dan lebih gurih, berbeda dengan bubur pada umumnya.
Dalam sepiring bubur gudeg-krecek, perpaduan aneka rasa melebur seimbang. Ada gurih dari bubur, manisnya gudeg, gurih agak asin dari tahu dan telur, serta pedas dari sambal krecek. Ah, nikmatnya! Bubur gudeg-krecek ini tak hanya dijual pada pagi, tetapi juga malam-malam di warung tenda pinggir jalan. Semakin larut, semakin ramai diburu!
Bubur kanji rumbi khas Aceh juga menggunakan santan. Yang membedakan dengan bubur lainnya adalah banyaknya jenis rempah yang digunakan, antara lain kayu manis, pekak, cengkeh, merica, adas, kapulaga, dan jinten. Potongan kentang dan wortel juga ditambahkan pada proses pembuatan. Bahan pelengkapnya, ada udang/ebi goreng, potongan daun seledri dan bawang merah goreng. Masyarakat setempat biasa mengonsumsi bubur kanji rumba sebagai hidangan berbuka puasa.
Bubur dengan cita rasa unik lainnya adalah bubur ase atau akronim dari asinan semur. Isian bubur khas Betawi ini adalah bubur, asinan sayur, tauge mentah, mentimun, tahu cina, dan kuah semur. Biasanya disantap dengan kerupuk berwarna merah dan taburan kacang tanah goreng. Warna kehitaman berasal dari kuah semur.
Sayur-sayuran juga ditambahkan pada bubur tinutuan khas Manado dan bubur mengguh khas Bali. Pada bubur tinutuan terdapat campuran bayam, kangkung, kemangi, labu, singkong, dan jagung di dalamnya. Bubur ini makin nikmat disantap dengan sambal roa dan tahu goreng. Sementara bubur mengguh menggunakan sayur urap dan suwiran ayam di atas buburnya.
Di Makassar terdapat bubur barobbo yang tampilannya sekilas mirip bubur tinutuan khas Manado. Keduanya sama-sama menggunakan jagung, kangkung, dan bayam. Bedanya, ditambahkan potongan kacang panjang dan udang.
Bubur manis yang paling sering ditemui adalah bubur kacang hijau dan bubur ketan hitam. Biasanya warung burjo (bubur kacang ijo) menyajikan kedua menu tersebut, selain nasi sarden dan mi instan. Bubur diolah dari kacang hijau, santan, gula merah, dan daun pandan. Terkadang beberapa rempah ditambahkan, seperti jahe, kayu manis, dan cengkeh. Tak ada aturan khusus harus menggunakan rempah ini atau itu, bisa disesuaikan dengan selera masing-masing.
Bubur nonberas bercita rasa manis biasa dijebut jenang, antara lain jenang saren, jenang mutiara, jenang biji salak (candil), dan jenang sumsum. Jenang biji salak cukup populer di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Tak seperti namanya, bubur ini bukan terbuat dari buah salak, melainkan ukurannya yang menyerupai biji salak. Bola-bola ini dibuat dari campuran ubi kuning/labu dan tapioka. Tekstur kenyalnya berasal dari tapioka, bahan yang biasa digunakan untuk membuat jajanan cilok atau cimol.
Sejumlah penjual memadukan beberapa jenis jenang dalam satu menu, misalnya jenang sumsum, jenang biji salak, dan jenang mutiara. Kuah santan dan gula merah menjadi pelengkap yang sempurna. Di Sumatera Barat, campuran sejumlah jenang bernama bubur kampiun. Isiannya cukup beragam, ada bubur sumsum, bubur candil, hingga kolak pisang.
Jenang sumsum terbuat dari tepung beras, santan, garam, dan daun pandan. Warnanya putih pekat, aromanya harum, dan cukup gurih. Bubur ini juga ditambahkan pada es campur atau es buah, seperti es pisang ijo. Dalam kebudayaan Jawa, bubur ini digunakan dalam sejumlah tradisi, salah satunya adalah upacara pernikahan.
Berakhirnya rangkaian upacara pernikahan tak lantas ditutup begitu saja, tetapi dirayakan dengan tradisi ”sumsuman”. Para panitia dan orang yang terlibat diwajibkan untuk menyantap jenang sumsum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sumsum berarti benak tulang. Masyarakat meyakini dengan konsumsi jenang sumsum dapat menyegarkan kembali tenaga (tulang-tulang) akibat kelelahan selama rangkaian acara.
Bubur merah putih juga disajikan dalam tradisi selamatan kelahiran bayi dan peringatan ulang tahun. Bubur ini terdiri dari dua warna, yakni bubur beras polosan dan bubur yang dimasak dengan gula merah. Bahan-bahannya adalah beras, air, santan, daun pandan, dan gula merah.
Di Kalimantan Selatan, ada tradisi membuat bubur asyura yang dilakukan oleh masyarakat Banjar pada hari ke-10 Tahun Baru Islam. Sajian ini merupakan bentuk syukur dan sebagai penolak bala. Isiannya terdiri dari 41 jenis sayuran, santan, daging, dan telur ayam (Kompas, 30/1/2007).
Sama seperti soto dan nasi goreng, bubur juga hadir dalam segala situasi. Bahkan, bubur menjadi menu pilihan sarapan di sejumlah hotel papan atas bersanding dengan sereal atau sandwich. Bubur seolah sudah mendaging dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Tak peduli dari segmen bawah ataupun menengah, selera yang sama bisa bertemu dalam semangkuk bubur hangat di meja makan. Sudah berapa jenis bubur yang pernah Anda cicipi?