Siapa Lebih Populer, Biden atau Trump?

Menjelang debat perdana pilpres 29 September 2020, popularitas kandidat presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Joe Biden mengungguli Donald Trump. Namun di sisi lain, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Trump perlahan-lahan menguat dalam dua bulan terakhir.

Penanganan wabah Covid-19 di AS dan berulangnya kejadian kekerasan rasial membawa problem popularitas bagi Presiden Donald Trump. Riset basis data yang dilakukan FiveThirtyEight menunjukkan, dukungan publik kepada Presiden Trump turun dari 44,1 persen pada 15 Mei 2020 menjadi 42,6 persen pada 30 Mei 2020. Persentasenya terus menurun menjadi 40,3 persen pada 30 Juni 2020.

Hasil senada juga terekam dari jajak pendapat yang dilakukan Gallup. Turunnya dukungan publik kepada pemerintahan Trump terlihat pada periode Mei-Juni 2020, bertepatan dengan masa-masa puncak wabah korona di AS dan munculnya kekerasan rasial.

Secara umum, Gallup mencatat tingkat kepercayaan masyarakat kepada Presiden Trump turun dari 49 persen pada Mei 2020 ke 39 persen pada awal Juni 2020 dan kembali turun menjadi 38 persen pada akhir Juni 2020.

Penurunan dukungan publik pada Juli 2020 tercatat paling rendah sejak peristiwa shutdown pemerintahan Trump pada Januari 2019. Bahkan tingkat dukungan tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan saat awal pemerintahan Trump pada Januari 2017.

AFP/ANDREW CABALLERO-REYNOLDS
Para pemilih memberikan suara mereka untuk pemilu 2020 di lokasi pemungutan suara awal di Arlington, Virginia, 18 September 2020.

Turunnya citra pemerintahan Trump seiring dengan masih mewabahnya pandemi Covid-19. Sejak 26 Maret 2020, AS menjadi episentrum wabah korona. Hingga 21 September 2020, kasus korona di AS masih merupakan yang terbanyak di dunia. Artinya, sudah hampir enam bulan Covid-19 di AS belum bisa dikendalikan.

Selain pandemi, pemerintahan Trump juga menghadapi isu kekerasan rasial akibat kematian pemuda kulit hitam George Floyd pada Mei 2020 oleh polisi. Belum lama berlalu, muncul lagi kasus rasial pada 23 Agustus 2020, yaitu penembakan terhadap pemuda kulit hitam Jacob Blake yang juga dilakukan polisi.

Di luar kasus Floyd dan Blake, data statistik yang dikumpulkan koran Washington Post mencatat sedikitnya 5.624 kasus penembakan oleh polisi di AS sepanjang 1 Januari 2015 hingga 10 September 2020. Dari kasus itu, penembakan yang dialami warga kulit hitam dua kali lebih banyak dibandingkan warga kulit putih.

Selain berdampak pada aksi unjuk rasa besar-besaran oleh warga AS, kekerasan rasial ini juga mengundang kritik dari Joe Biden, pesaing Trump di pilpres. Dalam pidatonya setelah ditetapkan sebagai calon presiden, Biden mengungkapkan kekerasan rasial ini mengingkari hak asasi dan martabat warga. Karenanya, Biden juga berjanji untuk menghapus rasialisme dari karakter bangsa AS.

Isu Covid-19

Isu lain yang diangkat Biden adalah penanganan Covid-19 di AS. Biden menunjukkan sejumlah fakta, dari peningkatan kasus, posisi AS dalam pandemi, hingga dampak korona terhadap kehidupan warga AS. Saat Biden berpidato pada 20 Agustus 2020 terdapat 5.740.840 juta orang AS terinfeksi Covid-19. Sebanyak 177.966 orang diantaranya meninggal dunia.

Dari laman Worldometers, hingga 21 September 2020, kasus korona di AS bertambah menjadi 7.011.463 kasus dengan korban jiwa mencapai 204.167 orang. Dengan tambahan kasus yang mencapai satu juta tersebut, AS tetap menjadi negara dengan kasus positif korona terbanyak di dunia. Jika dirunut ke belakang, sejak 28 Maret 2020 kasus korona di AS sudah menjadi yang terbanyak di dunia. Saat itu, terdapat 101.657 kasus positif di AS dengan 1.581 orang meninggal.

Selain dari jumlah kasus, Biden juga menyebutkan belum optimalnya kinerja penanganan Covid-19 yang berdampak pada perekonomian masyarakat. Wabah korona membuat satu dari enam usaha kecil tutup, lebih dari 50 juta orang menganggur dan sebanyak 10 juta orang terancam kehilangan jaminan kesehatan. Akibat pandemi, pertumbuhan ekonomi AS di triwulan II-2020 mengalami kontraksi 32,9 persen secara tahunan.

Tidak lupa, Biden juga menyinggung upaya pelemahan terhadap Undang-Undang Perawatan Terjangkau atau Affordable Care Act. Kebijakan yang juga dikenal sebagai Obamacare warisan pemerintahan Barack Obama-Biden itu adalah fasilitas asuransi kesehatan yang disediakan pemerintah untuk warga yang tidak bekerja dan tidak dilindungi asuransi kesehatan.

Dalam kondisi pandemi, jaminan kesehatan tersebut dapat meringankan beban warga yang membutuhkan akses layanan kesehatan. Melalui regulasi Affordable Care Act, pemerintah meluncurkan Medicaid, bantuan kesehatan bagi warga miskin yang disediakan negara-negara bagian lewat program jaminan sosial.

AP Photo/Carolyn Kaster
Kandidat presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden (kedua kanan), berbicara dengan Wali Kota Charlotte Vi Lyles (kedua kiri), pemain NBA Chris Paul (kiri), dan anak pemilik restoran Mert’s Heart & Soul,Tia Bozzell, di Charlotte, 23 September 2020.

Karenanya, pelemahan Affordable Care Act dikhawatirkan Biden akan mengambil jaminan kesehatan lebih dari 20 juta orang, termasuk sekitar 15 juta orang yang mendapat layanan Medicaid. Munculnya krisis multidimensi dari wabah korona yang masih merebak di AS turut menghangatkan suhu politik menjelang pilpres. Penanganan wabah Covid-19 merupakan ujian bagi pengelolaan negara di saat krisis.

Bagi pemerintahan petahana, membuktikan diri dapat mengatasi krisis pandemi merupakan modal besar untuk meraih dukungan masyarakat. Bagi kubu penantang seperti Biden, celah penanganan krisis pandemi dapat menjadi amunisi kampanye yang dapat meningkatkan dukungan dari warga yang tidak puas dengan penanganan krisis virus korona.

Pandemi Covid-19 yang menempatkan AS sebagai negara dengan kasus korona terbanyak sudah berlangsung kurang lebih selama satu semester. Stagnasi penanganan wabah, bukan tidak mungkin menambah popularitas Biden yang saat ini sedikit unggul di atas Trump.

Kajian yang dilakukan 270towin menunjukkan hasil 22 jajak pendapat yang dilakukan pada September 2020, seluruhnya menunjukkan keunggulan Biden atas Trump. Popularitas Biden terilhat dari polling yang dilakukan oleh NBC News dan Wall Sreet Journal pada 13-16 September 2020.

Biden meraih dukungan 51 persen sedangkan Trump mendapat 43 persen. Sisanya 6 persen memilih kandidat lain. Demikian pula jajak pendapat yang dilakukan Ipsos/Reuters, Rasmussen Reports, Economist/YouGov, CNBC/Change Research, maupun Global Strategy Group, semuanya menunjukkan keunggulan Biden.

Jika ditarik lebih jauh lagi periodenya, rekam jejak popularitas Joe Biden stabil unggul dari Donald Trump. Dari 302 jajak pendapat yang dikumpulkan sepanjang 22 Januari 2019 – 19 September 2020, Biden meraih dukungan rata-rata 50,9 persen dan dukungan kepada Trump rata-rata sebanyak 42,7 persen.

Popularitas Biden beriringan dengan aksi nyata yang ditawarkan ke publik. Biden menunjukkan bukti bahwa pemerintahan Obama-Biden berhasil mengendalikan wabah Ebola. Saat awal merebak wabah pada Maret 2014, pemerintahan Obama-Biden langsung mengirim tenaga medis dan militer untuk membantu penanganan awal wabah di Afrika Barat yang menjadi pusat pandemi.

Strategi tersebut terbukti mampu menahan meluasnya penularan wabah ke seluruh dunia. Untuk penanganan krisis Covid-19, secara rinci Joe Biden dan calon wakil presidennya Kamala Harris sudah menyiapkan tujuh rencana aksi untuk menyelamatkan AS dari pandemi.

Termasuk di dalamnya tindakan stretegis, yaitu uji tes massal Covid-19 secara gratis, penghapusan biaya perawatan dan pengobatan Covid-19, pengembangan vaksin, serta distribusi dan pengoperasian layanan logistik, tenaga medis, dan fasilitas kesehatan lainnya.

AFP/Getty Images/Mark Makela
Calon wakil presiden AS dari Partai Demokrat, Senator Kamala Harris, tampil dalam sebuah acara di Philadelphia, Pennsylvania, 17 September 2020.

Selain dari aspek kesehatan, respons darurat ekonomi juga disiapkan Biden untuk mencegah dampak Covid-19 di sektor perekonomian. Tindakan strategis dilakukan dengan memberikan bantuan tunai untuk warga yang terkena dampak wabah serta memberikan bantuan kepada pekerja, keluarga, dan usaha kecil yang terimbas dampak krisis ekonomi Covid-19.

Di sisi lain, komitmen menghapus kekerasan rasial juga ditunjukkan Biden dengan mengunjungi keluarga George Floyd dan Jacob Blake. Penunjukkan Kamala Harris sebagai calon wakil presiden yang berlatar belakang kulit hitam juga menguatkan komitmen tersebut.

Unggulnya popularitas Biden terhadap Trump menjadi modal awal menjelang debat perdana capres. Terlebih, keunggulan Biden juga tampak di beberapa wilayah mengambang (swing states), seperti Wisconsin, Pennsylvania, Michigan, Florida, Arizona, New Hampshire, serta North Carolina.

Namun, sejauh mana popularitas Biden tersebut mempengaruhi peluang Trump di pemilihan presiden?

“Rebound” Trump

Dukungan publik yang terus tertekan tidak dimungkiri dapat memengaruhi tingkat elektoral sang petahana. Terlebih, pilpres AS tinggal menyisakan waktu sekitar dua bulan lagi. Namun, bukan berarti penurunan kepercayaan tersebut berbanding lurus dengan penurunan elektoral.

Di dalam pemilu ada faktor perilaku pemilih yang memengaruhi perolehan suara partai politik atau calon presiden. Di ceruk perilaku pemilih itulah terdapat dua tipe pemilih, yaitu yang selalu konsisten memilih capres atau parpol tertentu pada setiap pemilu dan ada pula pemilih yang dinamis, memiliki pilihan berbeda setiap pemilu.

Perilaku pemilih ini antara lain dipengaruhi oleh berbagai isu yang muncul menjelang pemilu. Beruntung Trump memiliki soliditas pemilih di saat-saat krisis kepemimpinannya sedang disorot. Faktor inilah yang masih dimiliki Trump untuk menyampaikan pesan kemenangan dalam pilpres nanti.

Setidaknya ada tiga aspek dukungan yang masih dimiliki Trump, yaitu soliditas partai, dukungan suara di negara bagian, serta dukungan kepercayaan publik yang kembali rebound. Tiga hal inilah yang menjadi modal kepercayaan Trump menghadapi Joe Biden pada 3 November 2020.

Dari sisi soliditas pemilih, hasil jajak pendapat yang dilakukan Gallup merekam soliditas elektoral Partai Republik kepada kepemimpinan Trump. Hasil polling terbaru pada 30 Juli – 12 Agustus 2020 lalu menunjukkan, sebanyak 90 persen pemilih Partai Republik masih menyatakan dukungannya ke Trump.

Tingkat kepercayaan kaum Republikan ini juga cenderung stabil sejak Januari 2020. Dari 13 jajak pendapat yang dilakukan Gallup sepanjang 2020, rata-rata tingkat kepercayaan pemilih Partai Republik mencapai 91 persen.

Soliditas pemilih Partai Republik tersebut terbukti mampu merawat dukungan dari daerah daerah yang menyokong kemenangan Trump di Pilpres 2016 silam. Basis massa Partai Republik seperti Texas, Idaho, Alaska, Alabama, serta Arkansas masih setia mendukung Trump.

Kajian yang dilakukan 270towin juga memperlihatkan sepanjang 22 Januari 2019 – 19 September 2020, Trump masih unggul di wilayah-wilayah Republikan. Di negara bagian Alabama misalnya, hasil jajak pendapat menunjukkan Trump meraih dukungan 58 persen, unggul dibandingkan Biden yang memperoleh 36 persen. Demikian pula di Alaska, dukungan kepada Trump sebesar 50 persen, sedangkan Biden mendapat 44 persen.

Soliditas elektoral wilayah ini menjadi faktor penentu kemenangan pilpres AS. Sistem pemilihan presiden di AS menganut kemenangan di mayoritas negara bagian atau ”electoral college”. Belum tentu peraih suara terbanyak secara nasional menjamin kemenangan elektoral yang didapat dari tiap negara bagian.

AFP/Getty Images/Matthew Hatcher
Seorang pendukung Donald Trump dengan masker MAGA menunggu kedatangan Trump di Bandara Toledo Express pada 21 September 2020 di Swanton, Ohio.

Ini terlihat dari Pilpres 2016. Saat itu, calon dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, mendapat total 65,8 juta suara, lebih banyak dibandingkan 62,9 juta suara yang didapat Donald Trump. Namun, Trump mendapatkan 306 suara electoral college sedang Hillary hanya mengantongi 232 suara elektoral, sehingga Trump yang terpilih menjadi presiden AS.

Faktor terakhir penopang tingkat keterpilihan Trump adalah membaiknya dukungan publik AS dalam tiga survei terakhir. Walau sempat meredup karena isu virus korona dan kekerasan rasial, tingkat kepercayaan publik kepada Presiden Trump perlahan-lahan mulai naik.

Jajak pendapat terakhir yang dilakukan Gallup menunjukkan dukungan publik pada 30 Juli – 12 Agustus 2020 mencapai 42 persen. Jika dibandingkan dengan dua hasil jajak pendapat sebelumnya, tingkat kepercayaan masyarakat AS pada kinerja Trump mulai pulih.

Kajian yang dilakukan lembaga FiveThirtyEight  juga menunjukkan fenomena yang sama. Sejak 30 Juni 2020 tren dukungan publik yang awalnya 40,3 persen mengalami kenaikan menjadi 42,6 persen pada 21 September 2020.

Trump menyebut naiknya kepercayaan publik terhadapnya karena capaian kinerja yang telah dilakukannya. Dalam pidato setelah ditetapkan kembali sebagai calon presiden di konvensi Partai Republik, Trump menjawab keraguan terhadap isu-isu penting yang banyak memunculkan kritik, terutama masalah kekerasan rasial dan penanganan wabah Covid-19.

Konvensi Partai Republik menghadirkan tokoh-tokoh partai dari berbagai latar belakang etnis seperti senator Tim Scott yang berkulit hitam dan Nikki Haley, anak dari pasangan imigran asal India yang pernah menjabat Gubernur South Carolina dan Duta Besar AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Keragaman ini sekaligus menegaskan komitmen persatuan Trump dan Partai Republik. Haley bahkan menegaskan bahwa AS bukan negara rasis bagi warga kulit hitam.

Jawaban Trump

Dalam upaya pengendalian pandemi, menurut Trump, AS telah melakukan uji tes Covid-19 lebih banyak dari setiap negara di Eropa. Hingga 21 September 2020, AS telah melakukan tes Covid-19 terhadap 98,9 juta warganya. Jumlah ini merupakan yang terbanyak kedua di dunia setelah China.

AP Photo/Stan Badz
Pendukung Donald Trump dalam kampanye di Jacksonville, Florida, 24 September 2020, dengan latar belakang pesawat Air Force One.

Pemerintahan Trump juga memperlihatkan tingkat kematian akibat Covid-19 di AS masih lebih rendah dari beberapa negara besar lainnya. Data John Hopkins pada 21 September 2020 memperlihatkan tingkat kematian kasus atau CFR di AS sebesar 2,9 persen dan berada di peringkat ke-11.

Demikian pula dengan rata-rata angka kematian. AS mengalami 60,98 kematian per 100.000 orang dan merupakan negara di peringkat ke-11 di dunia. Menurut Trump, fasilitas kesehatan di AS telah mampu mengembangkan beragam perawatan efektif, termasuk perawatan antibodi melalui plasma convalescent yang mampu menekan tingkat kematian hingga 80 persen.

Trump juga mengklaim kemajuan pengendalian virus korona dilakukan pula dengan strategi pengembangan vaksin. Langkah itu dilakukan melalui proyek Operation Warp Speed, sebuah kerja sama antara pemerintah Federal, komunitas ilmiah, dan swasta untuk mengembangkan vaksin dalam waktu singkat.

Sasaran Operation Warp Speed ​​adalah memproduksi dan mengirimkan 300 juta dosis vaksin dengan dosis awal yang tersedia pada Januari 2021. Untuk mendukung ketersediaan vaksin, Pemerintah Federal telah menginvestasikan dana sebesar 12 miliar dollar AS. Beberapa calon vaksin telah menunjukkan hasil klinis awal yang menjanjikan dan sedang dalam tahap uji klinis Fase 3, seperti AstraZeneca, Moderna, dan Pfizer.

AFP/ANDREW CABALLERO-REYNOLDS
Seorang pemilih memberikan suara di lokasi pemungutan suara awal di Fairfax, Virginia, 18 September 2020. Pemungutan suara awal secara langsung untuk pemilihan 2020 dimulai pada 18 September di Virginia.

Naiknya kembali dukungan publik kepada Presiden Trump bersamaan dengan menurunnya kasus harian Covid-19 di AS sejak puncaknya pada 24 Juli 2020. Saat itu terdapat 78.654 kasus per hari dan terus menurun pada hari-hari berikutnya. Tercatat pada 31 Juli 2020 kasus harian di AS menurun menjadi 72.479 kemudian menjadi 52.866 pada 4 September 2020. Terakhir pada 21 September 2020, kasus harian kembali menurun menjadi 36.372 kasus.

Dua pekan menjelang dilakukannya debat perdana calon presiden, penurunan wabah korona menjadi modal dukungan bagi Trump. Popularitas yang sempat tergerus akibat isu Covid-19 dan kekerasan rasial perlahan-lahan mampu diraihnya kembali. Naiknya dukungan kepercayaan kepada Donald Trump membawa pesan optimisme petahana menghadapi naiknya popularitas Joe Biden menjelang debat perdana.

Optimisme ini dapat digunakan Trump untuk meyakinkan publik AS terhadap isu-isu debat lainnya seperti kinerja ekonomi, perubahan iklim, pendidikan, dan kebijakan luar negeri. Kemampuan Trump dan juga Biden dalam menawarkan program dan solusi masalah di AS dapat menebalkan dukungan pemilih masing-masing pada 3 November 2020 mendatang. (Litbang Kompas)