Sejak ribuan tahun lalu, nenek moyang kita terbiasa menyimulasikan kehidupan yang rumit ini dalam sebuah permainan. Generasi sekarang melakukan hal yang sama. Bagaimanapun kita adalah homo ludens, makhluk yang punya insting bermain.
Di lantai dua sebuah ruko di Surabaya, Jawa Timur, pemain board game menggelar ”pesta”. Mereka berdesakan mengelilingi sepuluh meja yang menggelar aneka permainan papan nan menantang. Beberapa pengunjung yang datang belakangan harus kecewa lantaran tak ada lagi tempat untuk mereka. Mereka pun terpaksa turun ke lantai bawah yang difungsikan sebagai warung makan untuk menunggu giliran bermain.
Kevin Christian (17) ada di antara kerumuman gamer yang telah mendapat kesempatan untuk bermain. Matanya tajam menatap papan permainan bernama Candrageni, menyimulasikan kehidupan di zaman Mataram kuno yang terlihat tenang tetapi ada dalam bayang-bayang ancaman bencana alam. Siswa SMA Petra I Surabaya itu tidak peduli dengan suara pengunjung lain yang berisik. Ia telanjur larut dalam alur permainan seperti tiga orang lawannya di meja yang sama.
Dalam 30 menit, Kevin dan tiga lawannya berusaha mengumpulkan poin dengan bercocok tanam, berdagang, atau berupaya membangun candi. Kevin mengumpulkan poin sedikit demi sedikit hingga bisa memenangkan permainan itu. ”Harus bikin strategi karena kalau semakin ke atas tantangannya semakin susah,” ujar pelahap semua jenis gim ini.
Permainan papan seperti Candrageni memang mengharuskan pemain untuk berstrategi. Namun, permainan itu bisa berubah seketika bergantung petunjuk dari kartu yang akan dibuka satu per satu. Di sinilah dramanya. Dan, itu bisa membuat orang seketika mendengus kecewa atau berteriak gembira.
Kevin mendapatkan hadiah di akhir permainan. Namun, jauh dari itu, ”hadiah” lain yang lebih berharga ia dapatkan, yakni mengetahui secuplik kehidupan Kerajaan Mataram di masa lalu. Sesuatu yang mungkin asing bagi kebanyakan generasi muda sekarang.
Pesta-pesta board game semacam itu semakin sering digelar di Surabaya yang memiliki komunitas gamer cukup besar. Apalagi di sana ada Table Toys, sebuah perpustakaan board game yang didirikan Martin Ang, anak muda penggila board game. Di perpustakaan itu ada ratusan koleksi board game dari sejumlah negara yang susah payah dikumpulkan Martin. Dan, koleksi Table Toys menjadi magnet yang menarik para gamer Surabaya. Mereka datang dari berbagai latar belakang, mulai dari pelajar, mahasiswa, hingga karyawan.
Tempat serupa itu bisa pula kita temukan di Solo, Jawa Tengah. Di Jalan Lumban Tobing, dekat Pasar Legi, ada Board Game Library di mana komunitas Mantu Mapan—kependekan dari main kartu pakai papan—biasa berkumpul dan bermain board game. Perpustakaan dengan koleksi 300-an board game itu menempati sebuah ruko sempit, ukuran 3 meter x 5 meter dan hanya buka sore setelah aktivitas Pasar Legi reda. Anggota Mantu Mapan bebas memilih dan memainkan koleksi board game kapan saja sepuasnya asalkan mereka membayar iuran Rp 150.000 per bulan.
”Itu iuran paling murah sejagat. Di Jakarta, untuk bermain board game kita bisa kena tarif Rp 100.000 per kunjungan,” kata Erwin Skripsiadi, pentolan komunitas Mantu Mapan, sambil menegaskan harga apa pun di Solo lebih murah dibandingkan dengan di Jakarta dan sekitarnya.
Apa yang dikatakan Erwin ada benarnya. Kami pernah bermain board game di Bunker Café yang terletak di sebuah ruko di kawasan Gading Serpong Boulevard, sebuah kota mandiri yang cukup mewah di kawasan Tangerang, Banten. Tarif sekali main di sana Rp 15.000 per jam per orang. Satu game biasanya dimainkan 3-4 orang. Pengunjung bisa bermain berjam-jam sambil mengunyah spageti atau menyeruput aneka minuman yang harganya puluhan ribu per porsi. Pasti mereka mengeluarkan uang puluhan, bahkan ratusan ribu rupiah sekali datang. Mahal memang, tetapi apa yang tidak mahal di kawasan seperti itu?
Tempat-tempat bermain board game seperti itu sedang tumbuh di sejumlah kota, seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Tempat-tempat itu memenuhi selera kaum urban sebagai tempat nongkrong dan bermain. Meski begitu, sebenarnya tidak banyak yang berubah dalam kultur nongkrong dan bermain pada masyarakat kita. Cuma tempatnya saja yang bertambah. Kalau dulu kita bermain board game seperti congklak, halma, ludo, ular tangga, dan monopoli di rumah sambil makan tahu goreng, sekarang permainan itu mulai dimainkan di perpustakaan board game sambil makan kentang dan ayam goreng.
Bahkan, apa yang disajikan dalam permainan papan sejak zaman nenek moyang sampai sekarang sebenarnya tetap sama, yakni simulasi cuplikan kehidupan kita.
Pada periode 1800-an, Kerajaan Prusia di Jerman membuat board game yang dipakai untuk menyimulasikan perang.
Monopoli yang sangat populer hingga hari ini, misalnya, menyimulasikan aktivitas perekonomian sebuah kota. Monopoli sendiri terinspirasi oleh permainan simulasi perpajakan yang dirancang Elizabeth Maggie, guru sekolah dasar di Amerika Serikat pada 1800-an. Ia menamakan permainannya Landlord’s Game. Ini menunjukkan bahwa board game yang beredar di generasi kita sesungguhnya punya akar yang dalam pada kehidupan manusia. Pertanyaannya seberapa dalam?
”Manusia memainkan board game jauh sebelum mereka bisa menulis!”
Sejak kapan manusia mengenal permainan? Sejumlah peneliti yakin gim sudah ada sejak peradaban manusia ada. Manusia diyakini bermain gim sejak mereka bisa membaca, menulis, bahkan sejak mereka berbicara.
Dorongan bermain gim, kata Tom Chatifield, penulis buku Why Games are the 21st Century’s Most Serious Business, bersifat universal. Tidak hanya bagi manusia, tapi juga binatang tingkat tinggi. Mulai semut hingga burung dan monyet mengembangkan ritual bermain seperti berantem-beranteman yang memungkinkan mereka menguji, memperbaiki, dan bahkan merayakan keberadaan mereka di dunia.
Namun, hanya pada manusia gim dimainkan dengan aturan ketat. Maklum, manusia adalah makhluk yang senang membuat dan mencari-cari aturan.
Jadi, gim memiliki akar yang sangat dalam pada kehidupan manusia. Chatifield bahkan berani menyebut bermain gim sebagai bagian dari insting manusia. Istilah yang ia pakai: the fun instict, insting yang menyenangkan.
Tidak heran jika jejak gim ditemukan hampir di semua kebudayaan dan sejarah manusia. Sejumlah arkeologis telah menemukan papan-papan permainan yang tergores di balik patung-patung penjaga Assyria pada abad ke-8 sebelum Masehi.
Bukti lain berupa dadu berusia lebih dari 5.000 tahun yang ditemukan di tenggara Turki dan di wilayah serta kebudayaan lain. Bahannya beragam, mulai dari kayu, logam, kristal, pualam, hingga gading. Dan, kita semua sudah tahu, dadu adalah komponen penting dalam banyak board game modern yang kita mainkan saat ini.
Dikutip dari Medium.com, pernah pula ada penemuan perangkat permainan yang dimainkan raja-raja Mesir kuno. Namanya senet. Sedemikian populernya senet pada masa itu, permainan tersebut akhirnya menjadi jimat yang harus disediakan di makam para raja.
Dalam kebudayaan-kebudayaan kuno, board game erat terkait dengan pemahaman tentang dunia dan kepercayaan yang dianut. Banyak kebudayaan kuno yang sepenuhnya menyerahkan diri pada takdir. Oleh karena itu, hampir semua board game mengandalkan game play berbasis dadu yang sepenuhnya bergerak atas kekuatan keberuntungan. Atau sebaliknya, kesialan!
Seiring waktu popularitas board game mengikuti jatuh bangunnya kebudayaan yang memainkannya. Salah satu gim yang menembus waktu hingga ribuan tahun lamanya adalah The Royal Game of Ur. Board game tersebut ditemukan di kawasan pemakaman raja-raja di Irak, diperkirakan dari masa 2650 SM.
Gim enthusiast bernama Irving Finkel menemukan replika gim itu dimainkan di India pada masa kita. Dengan fakta itulah dia kemudian berargumen dan menyatakan The Royal Game of Ur sebagai board game dengan masa populer terlama di dunia. Nyaris 5.000 tahun!
Kedekatan board game dengan darah bangsawan memang seperti resep tak terelakkan untuk memopulerkan gim saat itu. Namun, pada dekade 1960-an, aktor-aktor yang memopulerkan gim mulai bergeser sejak Pangeran Alexis Obolensky dari sebuah dinasti di Turki memopulerkan Backgammon dan mendirikan International Backgammon Association. Hasilnya board game kuno itu mendadak populer lagi dan masuk ke dalam peta pop culture Amerika Serikat (saat itu Pangeran Alexis Obolensky tinggal di Manhattan).
Di dunia pop culture Amerika, aktor penyebar board game meluas. Tidak lagi sebatas kaum bangsawan seperti di masa kuno, tetapi juga para selebritas yang direkrut para desainer dan penerbit board game. Ratusan situs berisi video pesohor dunia hiburan memainkan board game kemudian menyerbu kita. Hasilnya, board game yang dulunya adalah permainan para raja kini menjadi permainan semua orang berkat pesona dari tokoh-tokoh pop culture, tepat seperti yang dilakukan Pangeran Alexis Obolenskyi setengah abad yang lalu.
Permainan ini lantas menjadi industri dan berkembang pesat pada 1970-an. Produknya menyebar ke seluruh dunia dan akhirnya sampai ke Indonesia.
Di antara produk board game yang sangat populer di Indonesia antara lain ular tangga, ludo, dan monopoli. Mereka yang sejak kecil memainkan permainan ini, bahkan belum tentu tahu jika ular tangga, ludo, dan monopoli masuk dalam kategori board game, permainan di atas papan.
Intinya, mungkin Anda sudah sering memainkannya sejak kecil, cuma baru sebutannya: board game. Enggak masalah!
”Ketidakpuasan terhadap board game impor ternyata membawa berkah.”
Di level dunia, Jerman kini menjadi pemain utama sekaligus kiblat industri board game. Setiap tahun, Jerman menggelar pameran terbesar board game di dunia bernama International Spieltage SPIEL atau biasa disebut Essen Game Fair. Di ajang itu board game dari seluruh dunia tumplek blek.
Produk board game yang dipamerkan di Essen Game Fair sebagian merembes ke pasar Indonesia. Umumnya pembelinya adalah kolektor sekaligus penggila yang mengikuti perkembangan board game dunia. Jumlah mereka belum banyak, tetapi cukup militan untuk memopulerkan board game lewat kelompok-kelompok bermain yang kemudian berkembang menjadi komunitas-komunitas. Fenomena ini muncul di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Solo, Banten, dan Yogyakarta.
Salah satunya adalah Eko Nugroho. Sepulang dari pendidikan pascasarjana Ilmu Matematika di Kaiserslautern University of Technology, Jerman, pada 2009, Eko, yang sudah sangat akrab dengan board game selama belajar di Jerman, menyadari minat bermain permainan papan di Indonesia harus ditumbuhkan. Jadilah ia membuka kafe Kummara (yang berarti berkumpul, bermain, dan bergembira) di daerah Ciumbuleuit, Bandung, Jawa Barat. Sambil menunggu hidangan datang, pelanggan kafe bisa bermain board game.
Saat itu, board game yang dimainkan para gamer di Indonesia semuanya board game impor. Di antara board game produk mancanegara itu ada setidaknya tujuh board game yang mengambil tema Indonesia. Tentu ini menarik buat para gamer lokal.
Sayangnya, narasi board game impor bertema Indonesia itu tidak memuaskan para gamer lokal. Tingkat keseruannya tinggi, tetapi narasi dan informasinya lemah, bahkan melenceng dari yang seharusnya. Board game bertema Batavia buatan Swedia, misalnya, hanya memasukkan sedikit sekali unsur Hindia Belanda. Sementara itu, Java tidak memberi informasi lengkap tentang tanah Jawa.
Ketidakpuasan terhadap board game impor ternyata membawa berkah. Para pencinta board game lokal terdorong untuk membuat permainan papan bertema Indonesia dengan narasi dan informasi yang lebih kaya. Di Bandung, para pelanggan kafe Kummara mengusulkan kepada Eko untuk membuat board game sendiri.
Tantangan itu ditanggapinya dengan membuat permainan papan Simpang Dago (2010) yang dikemas ala kadarnya pada versi perdana. Kotak kemasan menggunakan plastik prakarya, tokennya dari kancing baju berwarna-warni.
Proyek berikutnya adalah Mahardika, permainan papan yang didesain Brendan Satria itu mengambil tema sejarah Indonesia tahun 1928-1950. Eko dan Kummara menggarap permainan ini secara lebih serius. Ia melakukan riset agar pemain mendapat pengetahuan sembari bermain. Selanjutnya, Kummara mengeluarkan board game lainnya, yakni Mat Goceng yang didesain Rio dan bercerita soal keragaman etnis di Jakarta.
Respons pasar ternyata bagus. Namun, yang paling membahagiakan bagi Eko dan teman-temannya di Kummara adalah board game buatannya bisa hadir di Essen pada 2014. Di sana, Mat Goceng laris manis dan terjual 500-an kopi dalam dua hari.
Pada 2015, Kummara bersama harian Kompas menggelar kompetisi Board Game Challenge untuk mendorong lahirnya kreator-kreator board game lokal. Kompetisi ini menghasilkan tiga board game lokal yang dirilis ke pasar, yakni Waroong Wars yang didesain Adhicipta Wirawan (Surabaya), Pagelaran Yogyakarta buatan Erwin Skripsiadi (Solo), serta Perjuangan Jomblo rancangan Vicky Z Belladino dan Hamzah Alfarabi (Salatiga/Depok).
Kompetisi serupa digelar lagi pada 2016 dan menghasilkan dua board game yang dirilis Agustus 2017, yakni Celebes (Erwin Skripsiadi) serta Candrageni (Vicky Z Belladino dan Hamzah Alfarabi).
Meski masih tergolong kecil, mesin industri board game mulai bergerak. Data Asosiasi Pegiat Industri Board Game Indonesia (APIBGI) memperlihatkan, pada 2015 baru ada empat pembuat permainan papan lokal. Selang dua tahun kemudian, jumlahnya meningkat jadi 14 pembuat. Dari tangan mereka, telah lahir 25 judul board game.
Tidak hanya jumlah board game yang bertambah, narasinya juga kian beragam. Para kreator lokal tampaknya mulai punya visi yang jelas dengan board game ciptaannya: ini bukan sekadar permainan untuk mengisi waktu senggang dan bersenang-senang, melainkan permainan yang punya muatan pendidikan, pesan, dan nilai.
Tengoklah Celebes yang menggiring gamer untuk ”mengulang” ekspedisi Afred Russel Wallace di Sulawesi. Narasi board game ini dibangun berdasarkan liputan khusus Ekspedisi Cincin Api Kompas. Candrageni, yang juga dibuat berdasarkan narasi Ekspedisi Cincin Api, mengajak gamer kembali ke dalam kehidupan masa Mataram Kuno. Gamer diajak bertani, berdiplomasi, sekaligus mengalami megatsunami (tsunami raksasa) atau ultravulcano (letusan gunung api besar). Gim lainnya, seperti The Festivals, Aquatico, Keris Tanding, dan Mahardika, bercerita tentang sejarah dan kekayaan Indonesia. Sementara itu, Mat Goceng dan Senggal Senggol Gang Damai membawa pesan perdamaian dan toleransi di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.
”Saya membuatnya bersama pacar. Dia pintar matematika, sedangkan saya suka desain dan board game.”
Adhicipta Wirawan memilih narasi lain untuk board game berikutnya. Setelah sukses dengan Waroong Wars, Adhi, yang sehari-hari bekerja sebagai dosen Jurusan Akuntansi Universitas Surabaya, merancang board game Cup Cakes Empire. Board game ini menyimulasikan sebagian perkuliahan sistem informasi akuntansi. Ide itu bermula dari kegelisahannya akan praktik lapangan mahasiswa ke perusahaan-perusahaan yang menurutnya kurang efektif.
”Saya mikirnya sederhana saja, biar mahasiswa bisa belajar sambil bermain,” katanya. ”Lewat permainan, perkuliahan bisa berjalan lebih efektif karena semua mahasiswa terlibat. Mereka bisa belajar banyak hal, seperti pencatatan, menentukan pembelian, dan penjualan sendiri,” kata Adhi. Ketika dipakai di ruang kuliah, materi perkuliahan yang rumit itu jadi lebih sederhana dan menyenangkan.
Ke depan, board game yang berusaha menyederhanakan pelajaran atau perkuliahan nan rumit tampaknya akan terus bermunculan. Di Bandung, Seno Adi (22), mahasiswa jurusan desain komunikasi visual di perguruan tinggi swasta, sedang merancang Math Cat. Sebuah board game yang menyimulasikan matematika dalam permainan.
”Saya membuatnya bersama pacar. Dia pintar matematika, sedangkan saya suka desain dan board game,” kata Seno.
Sebuah paduan yang tidak lazim, tetapi tetap terdengar romantis. Atau sebaliknya?
”Benarkah sebuah permainan bisa digunakan untuk memudahkan manusia memahami sesuatu yang rumit? ”
Awal 2016, Vina baru saja menginjak semester IV di Jurusan Akuntansi Universitas Surabaya. Suatu hari ketika memasuki kelas perkuliahan sistem informasi akuntansi, ia kaget dan bingung. Alih-alih menjelaskan teori-teori, dosen Adhi justru menyodorkan sebuah board game.
Saat itu, Vina dan banyak mahasiswa lain belum tahu apa-apa tentang board game. ”Ini permainan apaan? Aku enggak pernah main kayak gini sebelumnya,” cerita Vina.
Board game yang disodorkan adalah Cup Cakes Empire yang dirancang sang dosen. Adhi membagi kelas yang berisi lebih dari 50 orang itu dalam enam kelompok. Setiap kelompok terbagi lagi dalam berbagai tugas, di antaranya pembeli bahan, kasir, produksi, pergudangan, hingga penjualan.
Vina kebagian di bagian pembelian bahan baku. ”Di situ kita lihatin, bagusnya beli bahan yang mana? Beli berapa banyak? Terus dicatat. Kita dilatih untuk rencanakan segala sesuatunya. Awalnya susah, tetapi kalau udah mengerti jadi gampang.”
Adhi sebelumnya juga merancang sebuah permainan papan sederhana untuk anak sekolah dasar. Sebuah permainan yang mengajarkan pelajaran sejarah Indonesia dari tahun 1908 hingga 1945. Anak-anak diminta menebak tahun atau peristiwa yang ada pada kartu yang terbuka. Setiap kartu yang diambil ditempatkan sebelum atau sesudah kartu yang terbuka tergantung tahun peristiwanya.
Laksmi Puspitawardhani, yang berprofesi sebagai guru, tertarik dengan permainan itu. Ia lantas meneliti permainan itu untuk tesisnya tentang permainan linimasa. Hasilnya, dia menemukan kelas yang memakai permainan linimasa dalam pelajaran sejarah jauh lebih efektif. Pemahaman anak yang belajar dengan visual itu menyumbang kenaikan 76 persen. Sementara, yang belajar dengan metode ceramah, hanya meningkat 36 persen.
”Cara terbaik belajar sejarah memang dengan mengetahui alur sejarah menurut Spenger. Sejarah itu sesuatu yang abstrak, maka pelajaran sejarah perlu divisualisasikan,” katanya.
Mengapa belajar lewat permainan lebih muda dipahami? Raph Koster dalam A Theory of Fun for Game Design (2004) memberi jawabannya.
”Permainan itu sesuatu yang spesial dan unik. Permainan adalah potongan-potongan padat yang siap untuk dikunyah oleh otak. Karena bersifat abstrak dan ikonik, permainan juga mudah diserap, meniadakan detail-detail eksternal yang mengganggu. Biasanya otak kita harus bekerja keras untuk mengubah realitas yang berantakan menjadi sesuatu yang sama jelas dengan yang ditampilkan gim.”
”I would prefer even to lose with honor than to win by cheating!”
Itulah kalimat yang diucapkan Sophocles, penulis Yunani yang hidup pada 496-406 SM. Sudah sangat lama. Namun, semangatnya masih hidup dan nyata dipegang oleh para pemain board game. Kalah jauh lebih terhormat ketimbang menang dengan curang.
”Bahkan, saking hinanya kecurangan, desainer board game menganggap kecurangan itu tak pernah ada. Akhirnya, pemain terbiasa jujur. Curang bisa membuat permainan terhenti, enggak asyik lagi," kata Andre Andre Dobari (30), pegiat permainan papan dari Bandung.
Board game memang bukan sekadar permainan. Di dalamnya ada pelajaran, pesan, dan nilai-nilai. Sebelum bermain, gamer, misalnya, mesti membaca buku panduannya secara detail. Bukankah ini mengajarkan ketelitian?
Board game juga menekankan pentingnya cek dan ricek dalam bermain. Apabila saat bermain ternyata muncul kebingungan atau silang pendapat, solusi tak diambil sepihak. ”Bahkan, kami tak segan bertanya kepada pengembangnya bila ternyata ada aturan yang tidak jelas. Di tengah nilai kejujuran, teliti, hingga cek ricek yang kini rentan dilupakan, board game ikut memelihara kuat semangat itu,” kata Andre.
Satu lagi kelebihan board game adalah permainan ini menuntut kebersamaan, interaksi fisik, dan komunikasi di antara pemain. Sebab, permainan ini tidak mungkin dimainkan sendirian dan pemainnya saling berjauhan dari papan. Berbeda sekali dengan gim online di mana jutaan orang bisa bermain bersamaan, tetapi sekaligus tenggelam dalam kesendirian. Masing-masing asyik berpacu sebagai aktor perlombaan di dunia citra.
Kelebihan board game membuat permainan ”kuno” ini kembali dilirik anak muda dan keluarga kelas menengah perkotaan yang mulai jenuh dengan kepungan permainan online yang tertanam di hampir semua komputer, laptop, ataupun gawai.
Seno Adi mengatakan, masa-masa di mana ia menjadi makhluk soliter yang larut dalam kompetisi tak berkesudahan di gim online, akhirnya selesai begitu ia mengenal board game. Ia belum 100 persen lari dari gim online, tetapi intensitas memainkan gim online jauh berkurang.
Dalam permainan board game, ia merasa kembali memahami pentingnya interaksi fisik dan komunikasi antarmanusia. ”Dulu saya lebih banyak diam. Kalau tidak setuju, baru saya bicara. Sekarang saya belajar bahwa komunikasi bisa dibangun sejak awal untuk menekan perbedaan. Dan, saya belajar dari board game,” katanya.
Kini, Seno tidak hanya menjadi pemain board game. Di acara-acara tertentu, ia juga menjadi pemandu permainan papan. Dari peran barunya itu, Seno mengaku belajar memupuk rasa percaya diri, belajar mendengarkan, dan menjawab setiap pertanyaan dengan sabar. Padahal, dulu ia merupakan tipe orang yang nyaris tak bisa memulai percakapan dengan orang yang baru dikenal.
Thofhan juga memetik manfaat dari interaksinya yang intens selama bermain board game. Setahun bermain board game, ia sudah mendapat 20 teman baru. Teman yang dikenalnya secara akrab, langsung, bisa bertatap muka tanpa mediasi gawai atau internet.
Pasangan suami-istri Robi (38) dan Maria (37) juga berusaha mengenalkan board game kepada dua putra mereka, Bentley (7) dan Enzo. Sabtu awal Juni lalu, mereka berangkat dari Sidoarjo menuju Surabaya ke Table Toys untuk bermain board game sekeluarga. Mereka mencoba Gold Am Orinoko, sebuah permainan dengan dadu dan bidak yang dimainkan dengan berlomba cepat tiba ke hilir sungai.
Kedua orangtua ini bertepuk tangan saat bungsu mereka mendapat harta karun. Enzo dengan riang bermain dan menggerakkan bidak. ”Ini quality time sama keluarga. Saya juga baru pertama kali ke tempat ini, tetapi mau ngenalin ke anak kalau permainan itu banyak, bukan cuma gim di gadget,” kata Robi.
Dengan bermain board game bersama keluarga, kata Robi, interaksi antaranggota keluarga semakin erat. Komunikasi semakin terjalin dan keharmonisan keluarga tercipta.
Adhicipta Wirawan menambahkan, salah satu alasannya menekuni board game adalah kekhawatirannya akan pengaruh buruk gadget terhadap anak-anaknya. ”Selain penggemar dan pembuat gim, saya juga seorang bapak. Jadi, saya harus menangkal pengaruh buruk gadget terhadap anak-anak saya, juga anak orang lain. Lewat board game adalah cara terbaik.”
Kekhawatiran Adhi soal pengaruh buruk gawai mungkin belum tentu 100 persen benar. Namun, ia merasa gawai terlalu banyak merebut perhatian anak-anak hingga mereka asyik dengan dirinya sendiri dan lupa pada kehadiran orang-orang di sekitarnya, termasuk orangtua.
Hal itu tidak terjadi jika anak bermain board game. Ia pasti akan berinteraksi dan berkomunikasi dengan pemain semeja. Dan, yang pasti begitu ia tenggelam dalam permainan, ia akan melupakan gawainya. Paling tidak untuk sementara.