Penembakan yang terjadi di Las Vegas, Amerika Serikat pada 1 Oktober 2017 menewaskan 58 orang dan melukai lebih dari 500 warga. Mereka adalah sebagian dari ribuan orang yang sedang menyaksikan pertunjukan musik country di Las Vegas. Pelaku, Stephen Paddcok, tewas bunuh diri.
Penembakan dilakukan oleh Paddock dari kamarnya di lantai 32 sebuah hotel. Senapan yang dipakai untuk melakukan aksi tersebut dilengkapi dengan aksesori bump stock sehingga senjata mampu memuntahkan puluhan peluru dalam hitungan detik, mirip dengan kemampuan senjata otomatis. Ada puluhan senjata api yang ditemukan polisi di kamar hotel tempat Paddock menginap.
Tak lama setelah terjadi insiden di Las Vegas, media The Guardian mengeluarkan laporan yang menyebutkan bahwa sesungguhnya dalam 1.735 hari terakhir, terjadi 1.516 penembakan massal (penembakan yang mengenai lebih dari empat orang dalam satu kali peristiwa) di AS.
Dari sekian banyak kejadian penembakan massal itu, apa yang terjadi di Las Vegas pada awal Oktober adalah penembakan massal dengan korban paling banyak di AS.
Dalam data yang diolah pada 1 Januari 2013-1 Oktober 2017 oleh The Guardian itu, total ada 1.719 orang yang meninggal dalam 1.516 penembakan massal. Jumlah korban luka-luka mencapai 6.510 orang.
BBC yang mengutip media Mother Jones menulis bahwa korban tewas akibat penembakan massal hanya meliputi sebagain kecil dari total orang tewas akibat senjata api. Pada 2014, tercatat 33.594 orang meninggal akibat senjata api.
Dari jumlah itu, sebanyak 21.386 orang tewas dalam kasus bunuh diri dengan menggunakan senjata api, 11.008 orang menjadi korban pembunuhan dengan senjata api, sedangkan 1.200 orang lagi meninggal akibat penembakan yang terjadi secara tidak sengaja.
Pada tahun itu, dari 11.008 orang yang meninggal karena dibunuh dengan senjata api, "hanya" 14 warga yang meninggal dalam kasus penembakan massal. Dengan kata lain, jumlah korban tewas akibat penggunaan senjata api secara umum jauh lebih besar ketimbang korban meninggal dalam kasus penembakan massal.
Apa yang terjadi di Las Vegas mengejutkan banyak orang, meskipun penembakan massal sering terjadi di AS. Pertanyaan yang selalu muncul setelah peristiwa penembakan massal terjadi adalah mengapa "kultur senjata api" begitu kuat di AS?
Pemberian izin bagi warga AS untuk memiliki senjata api didasarkan pada Amandemen (Perubahan) Kedua Konstitusi negara tersebut. Dalam amandemen yang diadopsi pada tanggal 15 Desember 1791 ini, dimasukkan klausul bahwa warga berhak untuk menyimpan dan menyandang senjata api.
Amandemen kedua merupakan bagian dari 10 amandemen awal terhadap Konstitusi. Kesepuluh amandemen yang dikenal dengan nama "Bill of Right" berisikan berbagai jaminan bagi tegaknya hak-hak pribadi. Selain hak menyandang senjata api, diatur pula hak-hak antara lain bebas menyatakan pendapat serta bebas untuk beribadah.
Dengan latar belakang hukum dan sejarah semacam itu, senjata api bebas dimilki oleh warga sipil. Kini, dengan penduduk mencapai lebih dari 300 juta orang, jumlah senjata api di AS mencapai 310 juta unit. Dibandingkan dengan sejumlah negara, AS adalah negara dengan total kepemilikan senjata paling banyak.
Tentu saja kurang tepat kita membandingkan kepemilkan senjata antar negara begitu saja. Upaya perbandingan kepemilikan senjata akan lebih pas jika diukur dengan tingkat kepemilikan senjata api untuk tiap 100 penduduk. Dengan metode ini, AS semakin menonjol. Bayangkan, kepemilikan senjata api di kalangan sipil di AS mencapai 101,05 per 100 penduduk.
Irak yang masih dilanda konflik mempunyai angka kepemilikan senjata 34,2 per 100 penduduk. Jerman, yang bersama AS termasuk negara maju, mempunyai angka kepemilikan senjata 32 per 100 penduduk.
Mengutip data dari IBIS World, media cncbc menulis bahwa setiap tahun pendapatan dari penjualan senjata di seluruh wilayah AS mencapai 13,5 miliar dollar AS, atau Rp 183,3 triliun. Adapun keuntungannya mencapai 1,5 miliar dollar AS atau Rp 20,3 triliun.
Dengan kekuatan bisnis yang kuat itu, Asosiasi senapan Nasional (NRA)--organisasi payung industri senapan di AS—mampu menghabiskan uang cukup besar untuk mendukung lobi politik terhadap elite politik.
Pada semester tahun ini, menurut businessinsider.com yang mengutip opensecrets.org, NRA menghabiskan dana 3,2 juta dollar AS (Rp 43,2 miliar) untuk menjalankan lobi guna menggolkan kebijakan mereka.
Dana lobi selama satu semester itu lebih besar ketimbang dana lobi NRA selama tahun 2016. Jumlah dana lobi NRA pada tahun lalu ialah 3,18 juta dollar AS atau hampir Rp mencapai Rp 43 miliar.
Foto cover 1: AP Photo/Rick Bowmer | foto cover 2: AFP Photo/Robyn Beck | Penulis: A Tomy Trinugroho | Infografik: Pandu Lazuardy, Novan Nugrahadi | Desainer & Pengembang: Deny Ramanda, Rafni Amanda, Yosep Wihelmus Nabu, Elga Yuda Pranata | Produser: A Tomy Trinugroho, Prasetyo Eko P
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.