Tak ada yang tersisa dari aksi teror bom selain duka dan luka. Bagi penyintas bom, itu yang terus menggelayuti hidup mereka. Sepanjang hidupnya, para penyintas terus berupaya berdamai. Salah satu jalan yang mereka tempuh adalah bersilaturahmi dengan pelaku aksi teror.
Setiap 9 September, Muhammad Rizky Nurhidayat (18) merayakan ulang tahun dengan cara tak biasa. Ia dan ayahnya, Iwan Setiawan, mengikuti peringatan bom Kedutaan Besar Australia atau dikenal dengan bom Kuningan. Mereka berkumpul dengan para penyintas bom dan keluarga korban. Mereka mengenang kejadian yang menewaskan 9 orang dan membuat 160 orang lainnya luka-luka.
Kurang lebih 8 jam sejak peristiwa ledakan di depan kantor yang berada di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, itu, Rizky lahir ke dunia. Ia dilahirkan oleh Halila Seroja Daulay yang mengalami cedera punggung dan kepala setelah sebelumnya terpental dari sepeda motor yang dikendarai Iwan. Saat bom meledak, Halila dan Iwan tengah melintas untuk menuju bidan di Manggarai, Jakarta Selatan, guna memeriksakan Rikzy baru memasuki usia delapan bulan dalam kandungan.
”Manusiawi kalau merasa sakit hati, sedih, kesal. Tapi, ayah mengajarkan untuk belajar memaafkan,” ucap Rizky (18) saat ditemui pada pertengahan Ramadhan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Sakit hati yang dirasakan Rizky tak hanya karena menyaksikan ayahnya harus memakai protesa mata (mata palsu) karena mata kanannya terlepas setelah tertancap serpihan bom. Ia juga sakit hati karena hanya dua tahun merasakan kasih sayang ibunya. Cedera kepala yang dialami sang ibu ternyata membuatnya menjadi kerap hilang kesadaran dan akhirnya meninggal.
Lima bulan setelah Rizky menginjak usia 16 tahun, sang ayah mengajaknya ke Nusakambangan. Sarah Salsabila, kakak Rizky, juga turut ikut ke penjara yang mengurung terpidana mati kasus pengeboman Kedutaan Besar Australia, Iwan Darmawan Munto alias Rois dan Ahmad Hassan.