Bukit Siguntang di Palembang yang dipercaya sebagai asal-usul orang Melayu masa kini, justru lebih identik dengan Kerajaan Sriwijaya. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
”Alkisah maka tersebutlah perkataan ada sebuah negeri di tanah Andalas, Palembang namanya, Demang Lebar Daun nama rajanya. Asalnya daripada anak cucu Raja Syulan juga. Muara Tatang nama sungainya. Maka di hulu Muara Tatang itu ada sebuah sungai, Melayu namanya. Dalam sungai itu ada sebuah bukit, Seguntang Mahameru namanya.”
Itulah awal kisah mengenai asal-muasal nenek moyang raja Melayu dalam buku sejarah Melayu, Sulalat al-Salatin atau Sulalatus Salatin (Penurunan Segala Raja-raja) karya Perdana Menteri Kesultanan Johor Tun Sri Lanang pada 13 Mei 1612. Dalam buku itu, Bukit Seguntang Mahameru atau Bukit Siguntang di Palembang merupakan lokasi penting yang menjadi titik Melayu bermula sebelum menyebar ke seluruh Sumatera, Kalimantan, hingga Semenanjung Malaysia.
Namun, bukit yang punya arti penting dalam sejarah Melayu itu justru merana saat ini. Penjarahan benda-benda kuno hingga penambahan bangunan tanpa pendekatan sejarah atau arkeologi di bukit itu telah mengubah bentuk yang mengurangi nilai sejarahnya dan menyulitkan peneliti untuk melakukan penelitian lanjutan.
Demikian mengemuka dalam webinar mengenai ”Pengerusakan Situs Bukit Siguntang: Permasalahan dan Jalan Keluarnya, sebagai Upaya Mempertahankan Nilai-nilai Kebangsaan dan Nilai Ekonomi” yang digelar oleh Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sriwijaya (Unsri), Jumat (24/7/2020). Hadir sebagai pembicara dosen FKIP Unsri Farida R Wargadalem dan arkeolog Balai Arkeologi Sumatera Selatan, Retno Purwanti. Ada pula narasumber dari negeri jiran, yakni Guru Besar Kesastraan Universitas Sains Malaysia Profesor Muhammad bin Haji Salleh, dosen Fakultas Ilmu Sosial Kolej Universiti Islam Malaka, Malaysia Mohamad Afendi Daud; dan sejarawan Brunei Darussalam, Haji Dzulkiflee Haji Awg Abdul Latif.
Tanah tertinggi
Bukit Siguntang adalah tanah tertinggi di Kota Palembang, Sumatera Selatan, yakni berketinggian sekitar 30 meter dari permukaan laut dan memiliki luas 12-13 hektar. Bukit ini berada persis di jantung ibu kota Provinsi Sumsel itu, yakni sekitar 4 kilometer ke arah utara dari Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya dan sekitar 5 kilometer arah utara dari Sungai Musi.
Farida mengatakan, Bukit Siguntang memiliki peran penting dalam tiga fase kehidupan di Palembang, yakni pra, saat, dan pasca-Kerajaan Sriwijaya (682-1377 masehi). Hal itu melatarbelakangi kekeramatan atau kesakralan Bukit Siguntang dalam khazanah sejarah atau budaya Melayu. ”Sejak dahulu hingga sekarang, banyak masyarakat yang datang ke bukit ini untuk berziarah, berdoa, dan bayar nazar karena menganggap ada kekuatan magis dari lokasi ini,” ujarnya.