Daging Nabati yang Ramah Lingkungan

Tren pola makan nabati atau "plant-based diet" kian populer di masa pandemi Covid-19. Kecenderungannya, perlahan tapi pasti masyarakat beralih mengonsumsi makanan nabati dan mengurangi konsumsi produk hewani.

Keprihatinan akan pemanasan global turut mendorong perubahan konsumsi pangan di tengah masyarakat. Salah satunya, konsumsi daging analog atau daging berbahan nabati yang kini kian menjadi tren tersendiri. Meski belum dikonsumsi seluas daging hewan, produk daging nabati ini bisa dilirik sebagai sumber pangan alternatif yang ramah lingkungan dengan tekstur dan cita rasanya tak kalah lezat.

Tren pola makan nabati (plant-based diet) kian populer di masa pandemi Covid-19. Kecenderungannya, perlahan tapi pasti masyarakat beralih mengonsumsi makanan nabati dan mengurangi konsumsi produk hewani, seperti dikutip dalam data penjualan ritel makanan nabati tahun 2020 oleh Plant Based Foods Association (PBFA) dan SPINS. Pada Januari hingga Maret 2020, penjualan total produk makanan nabati meningkat hingga 90 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2019. Penjualan produk itu terus bertumbuh sebesar 27 persen.

Kompas/Sarie Febriane
Charsiu vegan alias “babi” panggang merah yang dagingnya terbuat dari serat kedelai. Saat ini sangat mudah memperoleh aneka “daging analog” baik yang belum dimasak, maupun yang sudah menjadi masakan beku maupun siap makan seperti charsiu ini.

Menurut Tony Olson, CEO SPINS, peralihan konsumsi produk nabati yang terus-menerus terjadi sejak awal pandemi ini didukung keinginan masyarakat untuk menjaga kesehatan dan meningkatkan kekebalan tubuh. Pada penjualan daging nabati, tercatat kenaikan hingga 148 persen dibandingkan tahun sebelumnya dan bertumbuh hingga dua kali lipat dari daging hewani. Sebaliknya, penjualan daging hewani justru menurun.

teknologi pembuatan daging sintetis pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 1970-an

Daging nabati mempunyai beragam sebutan, antara lain daging tiruan, daging analog, dan daging sintetis. Dalam buku Pangan: Gizi, Teknologi, dan Konsumen (1993), FG Winarno menyebutkan, teknologi pembuatan daging sintetis pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Produk daging berbahan dasar kedelai ini dikenalkan oleh Pusat Pengembangan Teknologi Pangan (FTDC) Institut Pertanian Bogor pada tahun 1979.

Bentuk daging nabati cukup beragam, mulai dari bola daging, patty hamburger, daging cincang, sosis, hingga lembaran menyerupai bentuk asli karkas daging ternak. Dalam proses pembuatannya, produksi daging nabati menggunakan campuran bahan kacang-kacangan hingga serealia. Pembuatan daging nabati melibatkan beragam bentuk protein, yakni isolat protein, protein pekar (textured vegetable protein), dan protein pintal. Ketiganya berpengaruh terhadap tekstur, rasa, dan bentuk daging nabati yang diproduksi.

Winarno mencontohkan pembuatan daging nabati berbahan kedelai yang menghasilkan tekstur menyerupai daging ternak. Isolat protein kedelai yang mengandung protein sekitar 90 persen dan biasa digunakan dalam campuran formulasi produk pangan sebagai pengemulsi dan bahan pengikat. Penggunaan textured vegetable protein berpengaruh pada tekstur produk yang dapat dirasakan oleh selaput lender mulut sebagai butiran-butiran atau serabut daging. Kemampuan daya serap air dan lemak yang tinggi menentukan proses penambahan cita rasa agar dihasilkan produk daging nabati yang sesuai. Protein pintal pada kedelai memiliki tekstur menyerupai serat-serat daging. Struktur tersebut akan memudahkan pemberian warna dan penambahan cita rasa dalam proses pembuatan daging nabati.

Kompas/Sarie Febriane
Dua produk lokal “daging analog” yang sudah diolah menjadi masakan ala sate taichan dan “ayam” panggang. Keduanya terbuat dari serat kedelai lalu diolah menjadi masakan beku. Konsumen tinggal memanaskan sebentar sebelum dikonsumsi. Oleh karena pengolahan masakan yang tepat membuat cita rasa keduanya sangat mirip dengan masakan original yang menggunakan daging hewan.