Dari Angkutan Tambang hingga Kepentingan Perang

Pulau Sumatera dikenal sebagai daerah penghasil tambang dan komoditas ekspor. Karena keberlimpahan tersebut, tak heran Sumatera dijuluki ”Pulau Emas” atau ”Swarnadwipa”.

Seperti di daerah Priangan, pembangunan jalur rel kereta di Sumatera tak kalah menantang dari sisi kondisi alam dan konflik yang melingkupi. Pembangunan jalur kereta api di Sumatera berperan penting menunjang pergerakan ekonomi dan kepentingan perang.

Di Aceh, jalur rel dengan alat angkut trem sepanjang 5 km mulai dibangun tahun 1876 dari Pelabuhan Uluelue ke Kutaraja atau Banda Aceh, ibu kota Aceh. Pembangunan jalur rel dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menyokong kebutuhan perlengkapan dan transportasi pasukan militer, seperti disebutkan dalam buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid I (1997).

Dalam berperang, mereka berpacu dengan waktu dan kecepatan. Jalur rel menjadi solusi mempercepat gerakan pasukan militer melawan pribumi dalam Perang Aceh yang berlangsung sejak 1856.

Pembangunan jalur kereta api di Sumatera berperan penting menunjang pergerakan ekonomi dan kepentingan perang.

Perpanjangan jalur rel terus dilakukan, yakni pengerjaan jalur ke arah selatan pada tahun 1882, jalur rel yang melingkar di sekeliling Kota Kutaraja (1885), dan jalur rel Seulimeum ke Keudeebreuh (1903). Pembangunan di bagian tenggara Aceh membutuhkan waktu hingga lima tahun (1903-1908), disebabkan medan pegunungan yang cukup berat.

Dalam pengerjaannya, tak sedikit tantangan dihadapi. Bukan saja oleh medan lapangan yang sulit, melainkan juga karena para pejuang Aceh yang kerap membongkar rel yang telah dipasang. Perlawanan ini muncul karena keberadaan jalur rel dianggap bisa merugikan mereka dalam berperang.

Meningkatnya jumlah komoditas ekspor di Sumatera Timur mendorong bertambahnya pembangunan jalur rel. Peluang ini melahirkan Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) pada 1883, perusahaan swasta kereta api di wilayah tersebut.

Mereka membangun sejumlah jalur rel, antara lain jalur KA Labuan-Medan (1886), jalur rel untuk trem Lubuk Pakam-Bangun Purba (1900), jalur rel KA Medan-Besitang di perbatasan Aceh-Sumatera Utara (1919), dan jalur rel KA Kisaran-Rantauprapat (1929-1937).