Saat membangun jalur rel di Pulau Jawa dan Sumatera, sejumlah perusahaan milik pemerintah Hindia Belanda, yakni Staatsspoorwegen (SS) dan perusahaan swasta, turut menyiapkan bengkel guna mengatasi masalah terkait perkeretaapian dan memenuhi kebutuhan peralatan. Bengkel ini memiliki gudang persediaan suku cadang yang dilengkapi tenaga ahli.
Bengkel milik SS tersebar di beberapa daerah, antara lain bengkel Manggarai di Jakarta yang khusus menangani perbaikan lokomotif uap/listrik, kereta penumpang, peralatan sinyal, dan telegraf; bengkel Surabaya (tempat perbaikan gerbong barang); dan bengkel Madiun (tempat perbaikan lokomotif uap). Setiap bengkel mempunyai tugas penanganan yang berbeda.
Kini, Madiun lebih dikenal sebagai ”dapur” untuk memproduksi kereta api dengan keberadaan PT INKA (Industri Kereta Api).
Dalam buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid II (1997) disebutkan, bengkel kereta ini bertugas dalam pemeriksaan/pembetulan/perawatan berkala bakal pelanting (rolling stock), perbaikan alat suku cadang rolling stock, pembuatan suku cadang rolling stock, perbaikan peralatan sinyal dan telegraf, pembuatan bermacam suku cadang untuk gudang persediaan, perbaikan kruis dan puntstukken untuk keperluan rel, serta membuat pesanan khusus.
Pada tahun 1962, penyebutan bengkel beralih menjadi Balai Karya, lalu berganti lagi menjadi Balai Yasa. Kemajuan teknologi dan peralatan yang ada di Balai Yasa tak kalah lengkap seperti yang dimiliki Eropa dan Amerika. Tenaga listrik digunakan untuk mengoperasikan Balai Yasa. Di Madiun, tenaga listrik bersumber dari pusat tenaga air di Giringan dari Lembah Catur di Gunung Wilis.
Kini, Madiun lebih dikenal sebagai ”dapur” untuk memproduksi kereta api dengan keberadaan PT INKA (Industri Kereta Api). Jauh sebelumya, eksistensi kereta api di Madiun dimulai tahun 1878. Kala itu, SS membangun jalur Surabaya Kota hingga Solo Balapan. Stasiun terletak di sisi selatan rel dan bengkel/depo berada di bagian utaranya.
Pembukaan jalur selatan (Jawa Timur) Madiun-Ponorogo dilakukan pada 1907. Percabangan rel sepanjang 32 km ini menghubungkan Ponorogo yang berada di arah selatan. Pembangunan jalur kereta api dibutuhkan untuk mengangkut komoditas ekspor gula yang diproduksi di sepanjang jalur.
Sekitar tahun 1943, Jepang membongkar ruas jalur Ponorogo-Badegan dan mengangkut potongan-potongan relnya ke Burma (Myanmar) dan Thailand untuk keperluan perang.
Bengkel kereta api dibangun pada tahun 1884 yang berlokasi di belakang Stasiun Madiun. Hingga tahun 1950, bengkel ini dikhususkan untuk menangani lokomotif uap. Kemudian, tahun 1956, tugasnya mengurusi gerobak atau gerbong barang. Pada awal 1964, lokomotif uap kembali dikerjakan di Madiun.
Kiprahnya kian bersinar karena menembus pasar luar negeri, antara lain Malaysia, Thailand, dan Filipina.