Perayaan Nyepi di Bali didahului berbagai upacara keagamaan dan adat, seperti Melasti dan Ogoh-ogoh. Namun, tahun ini, perayaan itu bakal berbeda karena ada bayang-bayang ancaman Covid-19.
Meskipun umat Hindu Bali memiliki puluhan hari raya, hanya Nyepi atau Tahun Baru Saka yang menjadi satu-satunya hari raya yang masuk dalam kalender atau tanggal merah nasional. Dalam hari raya Nyepi, Bali menjadi satu-satunya pulau yang menyatakan tutup dalam waktu 24 jam selama pelaksanaan ”caturbratha” penyepian.
Selama 24 jam mulai pukul 06.00 Wita hingga pukul 06.00 Wita hari berikutnya. Semua mati. Semua sepi. Tanpa jaringan internet, tanpa siaran radio dan televisi, tutup gerbang penerbangan dan pelabuhan. Bali tutup dulu sejenak. Hening dan sunyi.
Pergantian tahun Saka (Isakawarsa) dirayakan dengan hening setahun sekali yang jatuh pada sehari setelah tilem (bulan gelap) kesanga, penanggalan satu sasih kedasa. Ketika itu, umat Hindu Bali melaksanakan caturbratha penyepian. Umat berpuasa bekerja (amati karya), tidak menyalakan api atau listrik (amati geni), tidak mencari hiburan (amati lelanguan), dan berpuasa bepergian (amati lelungan). Penyucian buana alir (manusia) dan buana agung (alam dan seluruh isinya). Meditasi umat bersama-sama alam seisinya.
Ida Resi Bujangga Waisnawa Oka Widnyana Waskita Sari menyebutnya fokus sentral dari tradisi Nyepi adalah kedalaman kontemplatif. Pada kedalaman kontemplatif tersebut, manusia berusaha memahami ”goa hatinya”, yang dipercayai sebagai tempat bersemayamnya Brahman (Tuhan) di dalam diri sendiri.
Prosesi menuju penyucian manusia serta alam seisinya ini dimulai sepekan sebelumnya. Umat menggelar upacara Melasti, Pecaruan Tawur Agung, hingga mengarak obor dan ogoh-ogoh.
Melasti, ”mereresik” ke sumber air