Diabetes, ”Si Manis” yang Dihindari

Diabetes, gangguan metabolik kronis yang ditandai dengan kadar gula darah melebihi batas normal, semakin penting untuk dikontrol karena menjadi penyakit penyerta yang harus diperhitungkan pada penanganan Covid-19. Penyakit yang secara awam disebut sebagai penyakit gula itu sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu.

Artikel di Everyday Health menyebut, tahun 1552 SM, seorang dokter Mesir, Hesy-Ra, mendokumentasikan sering buang air kecil sebagai gejala misterius yang menyebabkan seseorang menjadi kurus. Urine orang itu cenderung dikerubungi semut. Selanjutnya, pada 150 M, dokter Yunani, Arateus, menyebut diabetes sebagai ”melelehnya daging dan anggota badan menjadi urine”.

Sebutan diabetes yang berarti ’menyedot’ baru disematkan beberapa abad kemudian. Pada 1675 ditambahkan kata mellitus yang berarti ’madu’ karena adanya rasa manis pada urine.

Selama Perang Perancis-Prusia awal 1870-an, dokter Perancis, Apollinaire Bouchardat, mencatat perbaikan pada gejala pasien diabetes akibat penjatahan makanan terkait perang. Karena itu, ia mengembangkan diet untuk pengobatan diabetes dan populer hingga awal 1900-an, yang dikenal sebagai diet lapar, pengobatan dengan gandum, dan terapi kentang.

Tata laksana diabetes seperti yang kini diterapkan diawali saat Elliott P Joslin menerbitkan buku The Treatment of Diabetes Mellitus tahun 1916. Dalam bukunya, pendiri Joslin Diabetes Center, lembaga perawatan dan penelitian diabetes terkemuka di Amerika Serikat (AS), itu memaparkan bahwa diet puasa dikombinasikan dengan olahraga teratur dapat secara signifikan mengurangi risiko kematian pada pasien diabetes.

Pada 1920, dokter Frederick Banting dan tim dari Ontario, Kanada, meneliti pemanfaatan insulin pada hewan percobaan. Banting dan tim berhasil menggunakan insulin untuk mengobati pasien diabetes tahun 1922 sehingga membuahkan Hadiah Nobel Kedokteran pada 1923.

Federasi Diabetes Internasional (IDF) tahun 2019 menyebut, 463 juta penduduk dunia usia 20-79 tahun mengidap diabetes. Prevalensinya hampir seimbang pada perempuan (9 persen) dan laki-laki (9,65 persen). China, India, dan AS menempati urutan tiga teratas dari 10 negara dengan jumlah penderita diabetes tertinggi di dunia. Sementara Indonesia berada di peringkat ketujuh dengan 10,7 juta pengidap.

Diperkirakan, tahun 2030, jumlah pengidap diabetes menjadi 578 juta orang. Seiring peningkatan usia harapan hidup, pada 2045, jumlahnya akan menjadi sekitar 700 juta orang.