Dilema Tambang Minyak Ilegal di Musi Banyuasin

Keberadaan tambang minyak ilegal di Sumatera Selatan bak dua sisi mata uang. Di satu sisi, kegiatan itu mendatangkan bencana, tetapi di sisi lain menjadi sumber pendapatan utama warga. Alasan inilah yang membuat aparat seakan membiarkan aktivitas ini semakin menjamur.

Pernyataan mengejutkan keluar dari mulut Usman Eddy (55), salah seorang petambang minyak ilegal asal Desa Keban 1, Kecamatan Sanga Desa, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Ia akan melakukan apa saja agar masih bisa cari makan dari menambang. Sudah delapan tahun Usman bergelut menjadi petambang minyak ilegal. Dari sanalah dia bisa hidup dan menghidupi keluarganya.

Pernyataan itu ia keluarkan setelah mendengar adanya wacana bahwa pemerintah akan menutup tambang rakyat di Musi Banyuasin sampai revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua disahkan.

Keputusan ini dikeluarkan setelah ada serangkaian ledakan sumur minyak ilegal di Sumsel dan Jambi. Sebulan terakhir, setidaknya terjadi tiga kali kebakaran di lima sumur minyak ilegal di Desa Keban I dan menelan tiga korban jiwa. Dua orang warga Lampung dan satu orang lagi warga setempat.

KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Sebuah sumur minyak ilegal yang sudah ditinggalkan petambangnya di kawasan Babat Toman, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Kamis (14/10/2021). Aktivitas tambang minyak ilegal di kawasan ini sudah berlangsung hingga puluhan tahun.

Walaupun mengandung banyak risiko, bagi Usman, menambang minyak adalah satu-satunya sumber penghidupan. ”Dari menambang, saya bisa menyekolahkan dan menguliahkan kelima anak saya,” ujar Usman yang sebelum menjadi petambang bekerja di sebuah perusahaan perkebunan di kawasan itu.

Usman bercerita, penambangan rakyat sudah ada sejak dirinya lahir. Dimulai dari kawasan Sungai Angit, Kecamatan Babat Toman, dan Suban, Kecamatan Batang Hari Leko, Kabupaten Musi Banyuasin. Kala itu, sudah banyak orang yang menambang minyak di sumur-sumur tua peninggalan masa kolonial.

Karena dianggap menghasilkan, penambangan terus berlangsung dan menyebar ke daerah yang ada di sekitarnya. ”Mereka yang datang bahkan dari luar Sumatera Selatan,” katanya. Ada yang datang dari Lampung, Bengkulu, Jambi, bahkan Jawa. Maraknya aktivitas tambang mulai terjadi saat krisis moneter pada tahun 1998.

Sebelum menambang, biasanya petambang membentuk sebuah kelompok yang berisi 20 orang atau lebih. Anggota kelompok patungan sebagai modal penggalian sumur dan mempersiapkan alat tambang. Aktivitas itu menelan biaya hingga Rp 180 juta per sumur.