Bergaul dengan anak dan orang dewasa yang terlibat dalam bisnis prostitusi membuat TA (16) akrab dengan dunia layanan seksual komersial, bahkan sejak masih sekolah menengah pertama. Lingkaran pertemanan dengan korban dan pelaku perdagangan anak tersebut jadi pelarian TA dari kurangnya kasih sayang orangtua.
Orangtua TA lengkap dan berkecukupan. Ibunya senantiasa memberi uang saku Rp 50.000 per hari setiap TA ke sekolah. Namun, materi saja tak cukup.
”Aku mah jujur nih, ya, gak pernah namanya yang minta uang atau ini itu. Cuma, aku tuh penginnya kasih sayang,” ucap TA saat jumpa Kompas pada Januari lalu.
Temannya adalah joki alias calo yang membantu mencarikan tamu bagi pekerja seks komersial. Ia menggunakan satu aplikasi percakapan guna memasarkan ”klien”.
Anak perempuan asal Depok, Jawa Barat, ini mencontohkan, ia selalu iri dengan teman sekolahnya yang makan bekal buatan ibu mereka. Ia tak pernah mencecap pengalaman serupa karena ibu dan ayahnya pasti sudah tak terlihat sewaktu ia bangun tidur.
Di tengah perjumpaan fisik yang langka, orangtua TA berupaya tetap menjalankan peran mendidik anak lewat perintah-perintah yang mengekang. Ibu TA, terutama, melarangnya keluar nongkrong dengan teman-teman. Perselisihan memuncak suatu hari pada September, dan ia memilih pergi ke apartemen yang disewa temannya di Cimanggis, Depok.
Temannya adalah joki alias calo yang membantu mencarikan tamu bagi pekerja seks komersial. Ia menggunakan satu aplikasi percakapan guna memasarkan ”klien”.
TA awalnya tidak mau ikut-ikutan. Namun, begitu seorang tamu terpikat padanya dan berani memberi Rp 3,5 juta, ia luluh dan akhirnya memberikan layanan seks.
TA lantas terbiasa bekerja sama dengan joki untuk juga ditawarkan melalui aplikasi. Joki memasang foto profil dengan wajah asli TA, tetapi nama disamarkan. Di apartemen tempat pertama TA dilacurkan, ia mengenal lebih dari sepuluh joki.