Ada yang pernah bergurau. Katanya, tidak perlu KTP untuk mengenali warga Jakarta Selatan alias Jaksel. Cukup dengarkan cara mereka bicara. Jika ada kata actually, which is, atau literally terselip dari mulut, niscaya orang itu warga Jaksel.
Orang Jaksel, menurut warganet, gemar memadukan bahasa Indonesia dan Inggris dalam satu kalimat. Tidak ada aturan baku kapan harus mencampur bahasa, atau berapa banyak kata berbahasa Inggris yang mesti digunakan. Semua terserah penuturnya. Namun, apa kebiasaan mencampur bahasa hanya milik warga Jaksel?
Bayangkan ada seorang teman. Dia bercerita soal bahunya yang kaku akibat terlalu sering duduk menghadap komputer. Ceritanya mirip dengan yang Anda rasakan sekarang. Lalu Anda sontak berkata, ”Relatable banget!”
Jika diterjemahkan menjadi bahasa Indonesia, kata relatable artinya ’berhubungan’. Namun, ada yang beranggapan bahwa istilah dalam bahasa Inggris memiliki makna yang lebih mengena dibandingkan bahasa Indonesia. Itu sebabnya, terkadang orang menyisipkan bahasa asing ketika bicara.
Bahasa lain juga digunakan ketika tidak ada padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia. Misalnya, kata ngabuburit (bahasa Sunda) dan kata inkracht (bahasa Belanda yang berarti ’berkekuatan hukum tetap’).
Ada pula yang menggunakan ”bahasa Jaksel” untuk belajar. Warga Samarinda, Mutiara (25), mulai mencampur bahasa Indonesia dan Inggris sejak SMP. Ia meyakini bahwa dirinya akan fasih berbahasa Inggris jika berlatih setiap hari. Namun, tidak semua temannya menggunakan bahasa Inggris sehingga ia memutuskan berbicara secara bilingual atau dwibahasa. Kebiasaan itu berlangsung hingga sekarang.