Entomofagi dan Pangan Alternatif di Masa Depan

Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) serta Universitas Wageningen di Belanda pada tahun 2013 menyebutkan, konsumsi serangga bisa membantu mengurangi polusi dan pemanasan global, juga meningkatkan asupan gizi dan mengatasi kelaparan

Bagi sebagian orang, entomofagi atau praktik menyantap serangga sebagai menu sehari-hari mungkin terdengar belum akrab. Stigma menjijikkan hingga purba mempertebal benteng keengganan untuk mencoba. Padahal, sudah sejak dulu serangga dikonsumsi masyarakat di sejumlah wilayah dunia. Pilihan mereka jitu. Saat ini, serangga terus didorong agar menjadi sumber pangan alternatif yang dikonsumsi masyarakat luas.

Masyarakat zaman dulu terkenal pandai dalam meramu bahan pangan yang tersedia di alam. Mulai dari meracik tanaman hingga berburu hewan. Mereka begitu kreatif dan inovatif memanfaatkan sumber daya sekitar dengan membuat beragam alat dari batu. Di Indonesia, bukti peninggalan banyak ditemukan berupa alat serpih yang diduga untuk memotong bahan pangan tumbuhan/binatang, kapak persegi (bercocok tanam/berburu), dan kapak genggam (berburu). Upaya ini menjadi bagian dari cara bertahan hidup.

Budaya menyantap serangga bisa dijumpai di beberapa negara.

Jauh sebelum mengenal alat berburu/bercocok tanam dan tekniknya, masyarakat zaman dulu sudah memanfaatkan serangga sebagai sumber pangan utama (edible insect). Budaya menyantap serangga bisa dijumpai di beberapa negara. Mereka memakan serangga yang berada di sekitar mereka dengan cara sederhana hingga dibumbui. Tak bisa dimungkiri jika budaya menyantap serangga yang masih bertahan hingga kini merupakan bagian dari budaya yang ada sejak dulu.

Kompas/Wawan H Prabowo
Belalang sudah sejak lama telah sebagai makanan lezat, khas Kabupaten Gunung Kidul. Banyak warga yang sejak kecil telah berjualan belalang seperti yang terlihat di Jalan Mijahan, Semanu, Gunung Kidul, Senin (17/4/2006). Belalang yang dipercaya sebagian orang dapat mengobati asam urat itu dijual Rp 100 perekornya.

Penemuan kotoran manusia yang telah memfosil (koprolit) ditemukan di beberapa goa di Meksiko dan Amerika Serikat, seperti disebutkan Jun Mitsuhashi, salah satu penulis dalam buku Encyclopedia of Entomology (2008). Dari koprolit tersebut didapati unsur semut, kutu, larva kumbang, dan tungau. Gambar sarang lebah liar juga ditemukan di dinding Goa Artamila di Spanyol bagian utara, diperkirakaan dibuat pada kurun 9.000-30.000 tahun sebelum Masehi. Mereka diduga menyantap larva lebah dan pupa ditemani dengan madu dari lebah hutan belantara.

Sementara di China, pupa ulat sutra (Theophila religiosae) yang memiliki lubang di bagian atasnya ditemukan di reruntuhan bangunan lama diperkirakan berusia 2.000-2.500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat diduga memakan pupa dengan cara membolongi bagian atasnya.

Kompas/Wawan H Prabowo
Setelah dibersihkan dan dibumbui dengan garam, bawang putih, serta penyedap rasa, belalang dapat langsung di goreng.

Mitsuhashi membagi entomofagi ke dalam dua kategori, yakni konsumsi serangga untuk kebutuhan nutrisi (necessary nutrients) dan serangga sebagai bumbu/rempah (condiment). Serangga merupakan sumber protein tinggi yang menjadi penyelamat saat wabah kelaparan. Di Afrika dan Timur Tengah, fenomena wabah belalang kerap terjadi. Pada saat itu, tanaman pangan akan diserbu habis-habisan oleh belalang. Akibatnya, mereka kesulitan untuk mendapatkan sumber pangan yang langka setelah migrasi serangga itu. Masyarakat pun memanfaatkan belalang sebagai bahan pangan selama kurun waktu tertentu.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Laron goreng yang akan dibuat rempeyek di Ubud Food Festival 2018