Es Batu, Kristal Beku yang Pernah Mewah

Bangsa kita baru mengenal minuman dingin sekitar tahun 1840an ketika es batu diimpor pertama kalinya dari Boston, Amerika Serikat. Kristal ajaib itu bagai menyihir rakyat hingga terkagum-kagum.

Berburu minuman dingin hingga menambahkan es ke dalamnya merupakan hal lumrah yang dilakukan oleh sebagian orang saat cuaca panas. Bagi mereka, cara ini ampuh untuk menyegarkan dahaga sekaligus menikmati sensasi dingin. Kini, minuman dingin dengan es adalah kenikmatan merakyat yg lumrah. Padahal, jauh sebelumnya, es sempat menduduki kasta istimewa dalam kehidupan masyarakat dan para bangsawan di zaman kolonial. Selain pelengkap minuman, eksistensinya dibutuhkan untuk keperluan pengawetan makanan hingga medis.

Salah satu kenangan yang masih melekat dalam memori masa kecil banyak orang bisa jadi adalah ketika diminta orangtua untuk membeli es ke warung. Begini kira-kira perintahnya, ”Dik, beli es batu di warung, ya. Nih, Rp 2.000, sisanya buat beli permen.” Kala itu, penuhnya ruang freezer dengan berbagai lauk dan makanan beku membuat tak ada lagi ruang untuk menyimpan es. Maklum, wujudnya memang memakan tempat. Solusinya, beli saja di warung. Harganya pun terjangkau. Bahkan, kini, es batu bisa dibeli secara daring melalui situs jual-beli daring.

Kompas/Heru Sri Kumoro
Anak buah kapal memuat es balok ke dalam kapal di Dermaga Muara Angke, Jakarta, Kamis (27/6/2013). Es batu yang dibeli Rp 13.000 per balok tersebut akan dibawa ke pesisir Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan untuk mengawetkan bandeng dan udang panen petani tambak. Selisih harga es yang cukup tinggi, di Tulung Selapan Rp 40.000 per balok, membuat nelayan memilih membeli di Jakarta.

Pada zaman modern, es batu memang mudah didapatkan dengan harga murah. Berbeda dengan kondisi pertengahan abad ke-19 yang masih minim teknologi. Saat itu, es menjadi komoditas impor di Indonesia yang bernilai tinggi dan diburu sejumlah kalangan. Bagaimana es batu bisa sampai ke Indonesia?

Kedatangan es pertama kali ke Indonesia cukup menggemparkan, mulai dari kehebohan masyarakat hingga petugas bea cukai yang belum menyiapkan regulasi khusus. Dikutip dari arsip Kompas, sebuah catatan dari surat kabar Javasche Courant pada 18 November 1846 mengabarkan, ada sebuah kapal besar dari Boston, Amerika, yang bersandar di Batavia pada 17 November 1846, dengan membawa muatan es batu pesanan Roselie end Co. Sebutan lain muatan ini adalah ”batu putih yang sejernih kristal dan kalau dipegang bisa membuat tangan menjadi kaku”.

KITLV
Penjual es loli keliling di daerah Jawa, di era Hindia Belanda, sekitar tahun 1930.

Pada tajuk rencana surat kabar itu, dijelaskan lebih jauh cara menyimpan es, yakni menyelimuti permukaannya dengan selimut wol. Cara ini dinilai efektif untuk membuat es bertahan lebih kurang 22 jam. Dari segi ekonomi, es menjadi komoditas dagang yang diminati dengan harga yang bervariatif, mulai dari 10 sen hingga 25 gulden.

Pemanfaatan yang utama sebagai pendingin minuman (beralkohol), hidangan pencuci mulut (dessert), dan konsumsi air es untuk pesta-pesta. Di sisi lain, es dipergunakan untuk keperluan medis. Pemerintah Hindia Belanda mengimpor es dari Amerika Serikat hingga tahun 1870 (Kompas, 19/6/1972).