”Foraging”, Meramban yang Tak Lekang Zaman

Bagi sebagian orang, foraging atau mencari bahan pangan yang tersedia di alam bebas mungkin belum familiar. Bahkan, beberapa tak menyadari keberadaan tanamannya. Ada yang tumbuh di sela-sela batu, pepohonan, sudut-sudut pekarangan, pinggiran sawah, hingga tepi sungai. Kegiatan ini bukanlah hal baru, tetapi sudah lama dilakukan oleh masyarakat zaman dahulu untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Saat berjalan kaki di sekitar tempat tinggal, coba perhatikan jenis tumbuhan yang berada di sela-sela pot tanaman, sungai, atau jalanan. Perhatikan secara saksama penampakan fisiknya, memiliki bentuk daun seperti apa? Berwarna kehijauan atau kemerahan? Jika memungkinkan, sentuhlah bagian permukaan daunnya, kemudian petiklah satu daunnya untuk diremas, dan ciumlah aroma yang dihasilkan. Kegiatan tersebut tidak semata-mata iseng, tetapi mengingatkan saya pada foraging ala para petani di Karawang, Jawa Barat. Sederhana.

Kompas/Wisnu Widiantoro
Seorang anak, Maya, membawa segengam daun genjer yang didapatkannya di sebuah sawah di Desa Curug, Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang, Selasa (11/7/2006). Daun-daun tersebut nantinya akan dimasak untuk sayuran. Di daerah pedesaan masih terdapat berbagai tumbuhan yang bisa dijadikan makanan yang sudah jarang ditemui di perkotaan.

Melahap sayuran mentah memang sudah menjadi budaya tersendiri bagi urang Sunda, terutama para petani. Mereka mengonsumsi tumbuhan liar yang layak disantap (edible plants). Ditemui sekitar pertengahan tahun 2020, saat menjelang makan siang, mereka sibuk meramban sayuran dari tumbuhan liar di pematang sawah. Perbekalan utama sudah disiapkan dari rumah, yakni nasi yang dibungkus daun pisang, sambal terasi, pais (pepes) ikan, dan ikan asin goreng. Makanan ini tak lengkap tanpa kehadiran sayuran mentah yang mereka sebut kuluban.

Tanpa menggunakan alas kaki, mereka berjalan ke arah pematang sawah untuk memetik dedaunan seperti krokot, pegagan, dan sintrong. Untuk memastikan tanaman ini yang dicari, identifikasi dilakukan dengan cara mengambil bagian daun dan meremas hingga aromanya muncul. Meski sudah terbiasa mengonsumsi dedaunan, mereka tetap memantapkan diri bahwa tanaman tersebut aman dan tidak terkena kotoran. Biasanya daun bagian pucuk yang dipilih.

 

Tanaman krokot (Portulaca oleracea), pegagan (Centella asiatica), dan sintrong (Crassocephalum crepidioides) cukup mudah ditemui di area persawahan. Tanaman tersebut tumbuh liar, bahkan keberadaannya kerap dianggap sebagai gulma. Selanjutnya, daun-daun tersebut dicuci menggunakan air sungai atau air bersih yang dibawa dari rumah. Satu demi satu dicocol ke sambal terasi, kemudian disusul suapan nasi dan ikan asin goreng.

Jika mengira rasa sayuran mentah pahit, berarti Anda belum pernah mencobanya secara langsung. Dedaunan yang baru saja dipetik justru memiliki rasa agak manis, tekstur renyah, dan sensasi segar. Nikmat!

Kompas/Lucky Pransiska
Tanaman obat pegagan (Centella asiatica) yang ditanam masyarakat di Kampung konservasi Toga Bina Sehat Lestari Gunung Leutik, Desa Benteng, Bogor, Selasa (11/1/2011). Manfaat pegagan meningkatkan ketahanan tubuh, membersihkan darah, memperlancar air seni, menyembuhkan lepra (penyakit menular kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae) dan tuberkulosis (TBC).

Jenis tanaman lain yang dijadikan bahan pangan adalah semanggi (Marsilea crenata), eceng padi (Monochoria vaginalis), eceng gondok (Eihchhornia crassipes), genjer (Limnocharis flava), dan tumbaran (Galinsoga parviflora). Selagi bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan, persoalan gulma di persawahan pun teratasi.

Pengetahuan tentang edible plants yang disantap para petani di Karawang tersebut tak lahir begitu saja. Kecakapan dalam mengenali jenis tanaman yang bisa dikonsumsi terbentuk dari interaksi dengan lingkungan sehari-hari. Prosesnya tidak singkat, berkembang seiring dengan temuan yang ada di lapangan. Johan Iskandar dan Budiawati S Iskandar, dalam buku Agroekosistem Orang Sunda, mengatakan, manusia memiliki kemampuan adaptasi dengan lingkungan secara budaya. Kemampuan ini diperoleh dari proses belajar, tidak diturunkan secara genetik.

Kompas/Didit Putra Erlangga Rahardjo
Krokot merupakan tanaman berkhasiat menangani rontok rambut. Spesies tanaman ini mampu dibudidayakan di Kabupaten Bandung dan terbukti berpotensi secara manfaatnya maupun secara ekonomis.

Tahapan

Bagi masyarakat di pedesaan, foraging atau meramban adalah keseharian mereka. Namun, bagi mereka yang tinggal di perkotaan, pengalaman tersebut menjadi petualangan baru dalam mengumpulkan sepiring bahan pangan. Selama ini, sayuran yang dikenal hanya sebatas tanaman budidaya pertanian, antara lain wortel, tomat, kubis, sawi, terung, kacang panjang, dan bayam. Padahal, banyak jenis tumbuhan liar yang ternyata bisa diolah menjadi makanan.

Sebelum mulai meramban, penting untuk mengenal ciri-ciri tumbuhan liar yang akan dikonsumsi. Alih-alih menyehatkan, kalau salah konsumsi, bisa membuat perut mulas, kepala pusing, atau memberikan efek lainnya.

Thobib Hasan Al Yamini dan Dyah Kartikasari, dalam buku Panduan Meramban (2020), mengatakan, sejumlah tips untuk mengenali tumbuhan dengan pancaindera, yakni melihatnya lebih dekat, menyentuh permukaan daun, mencium aroma daun yang diremas, dan mencicipinya. Kemudian, membandingkan hasil temuan itu dengan keterangan yang terdapat di buku panduan atau informasi di internet. Identifikasi ini sangat penting untuk memastikan tumbuhan tersebut merupakan jenis tanaman yang layak konsumsi.

Kompas/Melati Mewangi
Tanaman sirih bumi yang tumbuh liar di sebuah kompleks perumahan di Jakarta.

Foraging bisa dilakukan di lingkungan sekitar rumah, seperti tepi jalan, taman kota, pekarangan rumah, dan kebun. Pilihlah daerah yang jauh dari lokasi pembuangan sampah, saluran pembuangan, atau berdekatan dengan limbah pabrik. Masih dalam buku yang sama, foraging dinilai bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan karena secara langsung memastikan kualitas sayuran yang akan dikonsumsi masih dalam keadaan segar. Kemudian kegiatannya banyak dilakukan di alam terbuka sehingga tubuh banyak bergerak dan berjalan menyusuri satu tempat ke tempat lain.

Praktisi gaya hidup sehat dan pegiat food combining Erikar Lebang turut merasakan manfaat dari meramban. Penerapan pola makan food combining membuat dirinya kian intens mengonsumsi sayuran mentah. Pengetahuan tentang beberapa jenis tumbuhan liar yang kaya manfaat tapi belum banyak dimanfaatkan juga dipelajarinya. Ia pun menerapkan foraging atau meramban di lingkungan sekitarnya.

Awal perjalanan foraging-nya dimulai dari lingkungan kantor yang terletak di Tebet, Jakarta Selatan. Di sana banyak tumbuh tanaman pepaya jepang (Cnidoscolus aconitifolius), ia pun memetik pucuk daunnya untuk dijadikan lalapan yang disantap dengan sambal. Jangan ditanya lagi bagaimana rasanya, yang pasti enak dan menyegarkan.

”Kesalahan yang paling mendasar adalah mengira sayuran mentah itu rasanya pahit. Sayuran segar yang baru saja dipetik itu justru kaya akan enzim, rasanya manis dan terasa segar. Mayoritas orang makan sayur itu, kan, direbus ya, padahal enzimnya sudah berkurang,” ucap Erikar, yang dalam waktu dekat akan meluncurkan buku barunya berjudul “Makanan Nusantara: Sehat, Mudah, Murah”.

Biasanya sambil jalan-jalan pagi, dia membawa tas atau kotak bekal sebagai wadah untuk menampung hasil rambanan. Berbagai jenis tumbuhan yang dijumpai di jalan atau pekarangan tetangganya dikumpulkan, seperti daun pepaya jepang, daun kelor, petai cina, dan bunga telang. Selain menyehatkan, kegiatan meramban sekaligus menjadi ajang untuk mengobrol asyik dengan para tetangga. Setiba di rumah, semuanya dicuci bersih menggunakan cairan khusus untuk pembersih sayuran.

Setelah rutin menjalani pola makan food combining sejak akhir 1999, ia merasakan tubuhnya jauh lebih sehat, terasa ringan, dan penyakit tukak lambungnya tak singgah lagi. Hingga kini ia masih rutin mengonsumsi berbagai jenis sayuran mentah yang dilahapnya sebagai lalapan plus dicocol sambal.

Sejak zaman kolonial, konsumsi sayuran mentah diketahui memiliki segudang manfaat. Dalam tulisan ”Sunda dan Budaya Lalaban: Melacak Masa Lalu Budaya Makan Sunda” yang dimuat dalam jurnal Metahumaniora tahun 2018 disebutkan, tumbuhan liar turut berperan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi masyarakat, seperti kangkung dan genjer yang biasa dikonsumsi oleh orang Sunda, disarankan untuk dikonsumsi bagi mereka yang bertugas di lokasi perang. Fakta itu tertuang dalam buku masak Kookboek ten dienste van menages in het garnizoen en te velde (buku masak untuk pelayanan makan di garnisun dan di lapangan), yang diterbitkan oleh Departement van Oorlog (Departemen Perang) tahun 1940.

Sejumlah penelitian menguji pengaruh pemanasan atau pemasakan terhadap kandungan gizi beberapa sayuran. Hasil penelitian ”Pengaruh Suhu dan Waktu Pemanasan terhadap Kandungan Vitamin A dan C pada Proses Pembuatan Pasta Tomat” yang dimuat dalam jurnal Widya Teknik tahun 2007 menunjukkan, suhu pemanasan yang semakin tinggi berpengaruh pada penurunan kadar vitamin C dan vitamin A yang semakin besar. Kajian lain yang dilakukan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta pada tahun 2014 menyebutkan, proses pemasakan lebih banyak menurunkan kandungan antioksidan sayuran.

Sejarah

Untuk mengenal lebih jauh seperti apa foraging, berbagai kelas pelatihan bisa diikuti secara daring. Satu di antaranya adalah pelatihan daring tentang foraging dan pengenalan tumbuhan sekitar yang dapat dimakan oleh Sustainable Hyper-platform of Indonesian Network of Educators (SHINE). Kegiatan yang diadakan pada pertengahan 2021 itu dipandu oleh Dyah Kartikasari sebagai pengajarnya.

Kompas/Melati Mewangi
Daun asam kecil yang tumbuh liar di tepi jalan seperti ini juga dapat dimakan. Pastikan untuk mencucinya hingga benar-benar bersih.

Materi yang disampaikan beragam, yakni sejarah foraging, mengenalkan jenis-jenis tumbuhan liar (dedaunan, bunga, dan jamur) yang bisa dimakan, teknik pengambilannya, dan cara pengolahannya. Semua dibahas secara tuntas dalam sepuluh kali pertemuan. Meski kelas telah berakhir, diskusi tetap berlanjut. Beberapa menanyakan jenis tanaman yang ditemui di sekitar rumahnya dengan melampirkan foto, ”Ini tanaman apa ya? Apakah edible?”

Dalam forum tersebut, Dyah mengatakan, sejak manusia mengenal teknik pertanian, budaya meramban semakin berkurang. Tanaman sayur yang lebih banyak dikonsumsi tak lepas dari perjalanan panjang domestikasi atau proses adaptasi tumbuhan liar. Masyarakat zaman dulu hidup berpindah-pindah. Mereka terbiasa meramu bahan pangan yang tersedia di alam, seperti mengumpulkan bahan pangan dan berburu hewan.

Hal ini diperkuat dengan bukti peninggalan sejarah berupa alat yang diduga untuk berburu dan meracik makanan, antara lain kapak genggam, kapak persegi, dan alat serpih. Bisa dikatakan foraging masih bertahan hingga sekarang adalah bagian dari budaya para leluhur di masa lalu.

Alam menjadi tempat berlangsungnya segala kegiatan. Dari sana terlahir pengetahuan-pengetahuan baru tentang tumbuhan yang bisa dimanfaatkan. Sejak zaman kolonial, para ahli mencatat keberadaan jenis tanaman yang bisa menjadi bahan pangan, manfaat, dan cara pengolahan di Hindia Belanda (Nederlands-Indies).

Penemuan tersebut diarsipkan dalam sejumlah buku, antara lain Groot Vegetarisch Kookboek (1912) karya Catenius van der Meijden; De Nuttige Planten van Nederlands-Indie (1927) karya Dr K Heyne; Indische Groenten (1931) karya Dr JJ Ochse dan Dr RC Backhuizen; dan Atlas van Indische geneeskrachtige planten (1933) karya Kloppenburg-Versteegh.

Kompas/Melati Mewangi
Buku Indische Groenten (1931) karya Dr JJ Ochse dan Dr RC Backhuizen

Ratusan jenis tanaman sayuran yang tumbuh di Hindia-Belanda termuat dalam buku Indische Groenten (1931). Tanpa disadari, keberadaan sejumlah tumbuhan liar yang bisa dikonsumsi ternyata telah dicatat oleh para ahli botani sejak zaman kolonial, antara lain krokot (Portulaca oleracea), daun asam kecil (Oxalis corniculate), rambusa (Passiflora foetida), tumbaran (Galinsoga parviflora), semanggi (Marsilea crenata), ginseng jawa (Talinum triangulare), dan eceng padi (Monochoria vaginalis).

Buku berbahasa Belanda ini memuat keterangan setiap jenis tanaman secara detail, seperti penamaan lokal di sejumlah daerah, ciri-ciri tanaman, habitat tumbuhnya, dan bagian yang dimanfaatkan. Tak ketinggalan ada ilustrasi penampakan fisik tanaman yang turut dilampirkan. Bukan main lengkapnya!

Kompas/Melati Mewangi
Indische Groenten (1931) karya Dr JJ Ochse dan Dr RC Backhuizen

Di Indonesia, konsumsi sayuran mentah dari tumbuhan liar memang melekat pada masyarakat Sunda. Pengamat sejarah kuliner Nusantara dan pengajar di Program Studi Sejarah Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman, dalam tulisan berjudul ”Hidangan Sunda ’Nu Nyunda’” di rubrik Anjungan Kompas, menyebutkan, setidaknya dalam beberapa buku riset hingga buku resep masakan kolonial, istilah groentengerechten (makanan sayuran) memuat lalap sebagai makanan Soendaneezen, orang Sunda. Sekitar abad ke-17, Bontius, ahli botani, telah memperbincangkan kata lalablalab sebagai varietas sayuran tertentu (groenten) yang biasa dimakan orang Jawa di sebelah barat (baca: Sunda) dengan menggunakan sambal sebagai pelengkapnya (Kompas, 27/6/2009).

KOMPAS/AHMAD ARIF
Para perempuan Punan Aput dari Desa Long Sule, Kecamatan Kayan Hilir, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara beriringan untuk mencari daun pakis untuk lauk makan dan berbagai ramuan lain untuk mewarnai anyaman rotan mereka, Selasa (22/6/2018). Kehidupan orang Punan menunjukka transisi dari budaya berburu dan meramu ke budaya bertani.

Jika suatu ketika Anda melihat ada orang yang mengumpulkan tumbuhan liar di lingkungan tempat tinggal, Anda tak perlu terheran-heran lagi. Seiring dengan berjalannya waktu, pemandangan tersebut akan lumrah ditemui. Hal ini menunjukkan kesadaran untuk menjaga lingkungan dan memanfaatkan yang tersedia di alam perlahan terbentuk. Meski sumber pangan nabati mudah ditemukan, tetaplah bijak dalam mengonsumsinya. Jangan kalap dalam melahapnya, yah!