Gambut bak mutiara terpendam yang wajib dijaga agar semakin bermanfaat bagi masyarakat, negara, dan dunia. Begitu pula dengan ekosistem mangrove, yang menjadi benteng dalam menjaga keseimbangan lingkungan, terutama di kawasan pesisir. Kedua ekosistem ini juga memainkan peran signifikan dalam mitigasi perubahan iklim.
Akibat berbagai faktor, baik yang disebabkan oleh manusia maupun alam, banyak lahan gambut mengalami degradasi. Oleh karena itu, upaya konservasi lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam harus terus dilakukan untuk memulihkan ekosistem gambut.
Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mengimplementasikan program 3R (Rewetting, Revegetation, dan Revitalization) sebagai upaya melaksanakan restorasi ekosistem gambut.
Rewetting atau pembasahan kembali dilakukan melalui upaya pembangunan infrastruktur pembasahan gambut, mulai dari pembuatan sumur bor, sekat kanal, hingga penimbunan kanal. Revegetation atau kegiatan penanaman kembali persemaian, penanaman, penyulaman dan suksesi alami) dilakukan pada lahan gambut bekas terbakar dengan jenis-jenis endemik dan pioneer. Dan Revitalization dilakukan untuk mendukung mata pencaharian masyarakat lokal, khususnya di bidang pertanian, perikanan, pengembangan komoditas lokal dan kegiatan ekonomi ramah gambut.
Kegiatan restorasi gambut pada dasarnya ditujukan untuk memperbaiki kerusakan tata air gambut agar lahan gambut tetap terbasahi sehingga terhindar dari proses dekomposisi dan tidak mudah terbakar.
Meski sudah ada rambu-rambu terkait pemanfaatan lahan gambut, seperti Keppres 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan PP 71 tahun 2014 Jo 57 tahun 2016, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, sebagian pemanfaatan lahan gambut tidak sesuai dengan kaidah pemanfaatan lahan gambut berkelanjutan. Dan, ironisnya, kebakaran lahan dan hutan (karhutla) masih terus terjadi akhir-akhir ini, baik di lahan mineral maupun lahan gambut.
Meningkatnya jumlah titik panas (hotspot) dan karhutla dipicu dari kondisi iklim yang kering, ditandai dengan curah hujan yang rendah, ditambah lagi dengan fenomena El Nino Moderat yang diprediksi berlangsung hingga Februari 2024. Oleh sebab itu, kewaspadaan dan pemadaman karhutla harus terus digalakkan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan pemerintah daerah serta pihak terkait lainnya terus berupaya keras meminimalkan terjadinya karhutla tersebut.
Pada 2015 dan 2019, Indonesia dilanda karhutla cukup dahsyat. Kerugian besar dirasakan tidak saja pada aspek lingkungan, tetapi juga aspek sosial, ekonomi, politik, pertahanan, dan keamanan. Oleh sebab itu, untuk percepatan pemulihan kawasan dan pengembangan fungsi hidrologis gambut akibat karhutla, BRGM mengimplementasikan program 3R, dan hasilnya sangat signifikan.
Hutan mangrove memiliki berbagai manfaat, baik secara fisik, ekologis, maupun ekonomi. Dari sisi fisik, mangrove yang memiliki akar yang kuat mampu meredam gelombang, menahan lumpur, serta meminimalkan terjadinya sedimentasi dan abrasi kawasan pantai. Tak kalah penting, dapat menyerap emisi karbon yang cukup efektif.
Secara ekologis, kawasan mangrove memiliki peran penting di dalam rantai makanan ekosistem perairan yang dapat menampung kehidupan bagi biota laut dan spesies di sekitarnya mulai dari ikan, udang, hingga moluska.
Dari sisi ekonomi, hutan mangrove dapat dijadikan sebagai kawasan wisata, bahan baku untuk bangunan, serta menjadi salah satu sumber mata pencaharian masyarakat sebagai nelayan. Oleh karena itu, ekosistem mangrove harus dikelola dengan baik, termasuk memulihkan yang telah terdegradasi.
Hutan mangrove juga menjadi pelindung dari abrasi yang mengakibatkan hilangnya garis pantai di pesisir Indonesia. Ekosistem ini bisa menjaga batas-batas wilayah terluar Indonesia dan pulau – pulau kecil yang berada di gugusan terdepan Indonesia dari ancaman perubahan iklim.
Namun, di sejumlah wilayah, ekosistem mangrove mengalami kerusakan, yang disebabkan di antaranya karena abrasi maupun pemanfaatan ekosistem mangrove secara masif oleh masyarakat tanpa adanya pendampingan. Selain itu, masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa mangrove hanya sebatas pohon biasa yang hanya membuat daerah sekitarnya menjadi sejuk.
Untuk merehabilitasi mangrove, BRGM melakukan pendekatan strategis secara komprehensif, serta menerapkan konsep 3M, yaitu memulihkan, meningkatkan, dan mempertahankan.
Pada konsep M1 dan M2, BRGM melakukan penanaman mangrove diikuti dengan pemberdayaan masyarakat dan kegiatan lain. Sementara pada konsep M3, BRGM melakukan upaya-upaya untuk mempertahankan areal mangrove rapat, sehingga keberadaan mangrove rapat benar-benar dapat dipertahankan dan tidak dikonversi.
Secara umum, seluruh aktivitas rehabilitasi mangrove yang dilakukan BRGM sangat efektif dalam meningkatkan ekonomi masyarakat, contohnya pada program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang dilakukan di berbagai tempat.
Potensi karbon pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan, serta sektor energi memiliki kontribusi besar terhadap target pengurangan emisi. Sektor kehutanan dan penggunaan lahan menyumbang 24,1 persen atau setara dengan 692 metrik ton karbon dioksida ekuivalen (Mton CO2e). Sementara sektor energi menyumbang 15,5 persen atau 446 Mton CO2e.
Pemerintah terus berupaya agar sektor kehutanan dapat melampaui netralitas karbon untuk menjadi net sink karbon pada 2030. Ekosistem mangrove sendiri mampu menyimpan hingga 3-5 kali dari cadangan karbon hutan daratan terlebat.
Studi Daniel Murdiyarso dari CIFOR pada 2015 menyebutkan, serapan karbon mangrove sebesar 1.083 ton per hektare per tahun.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya memproyeksikan karbon biru hingga mencapai lebih dari 3,3 miliar ton. Jika target ini tercapai, rehabilitasi mangrove makin menjadi andalan dalam mitigasi krisis iklim, mengingat serapan karbon mangrove yang sangat besar.
Apabila simpanan karbon 3,3 miliar ton, ini melampaui produksi emisi tanpa mitigasi sebesar 2,87 miliar ton setara CO2 pada 2030.
*Artikel ini merupakan kerja sama Harian Kompas dengan BRGM.