Gaya Komunikasi Presiden AS, dari Telegram hingga Twitter

Beda presiden Amerika Serikat, beda pula cara dan sarana berkomunikasi yang digunakan. Sebagai presiden, cara berkomunikasi dengan warga negara dan dunia bukanlah hal sepele, apalagi menyangkut isu sensitif.

Debat calon presiden Amerika Serikat antara Joe Biden dan Donald Trump bukan hanya menjadi perwakilan pertarungan klasik antara dua partai besar, Republik dan Demokrat, namun juga personifikasi gaya komunikasi dalam berkampanye dan menyampaikan gagasannya.

Dalam konteks persaingan di pilpres 2020 ini, kedua kandidat presiden lebih fokus menyerang lawannya masing-masing daripada menyampaikan kebijakan dan visi misi untuk masa depan AS. Dalam suatu video singkat, terlihat keduanya saling menjatuhkan lawan. Misalnya, Trump yang mengatakan bahwa Biden adalah orang yang lemah secara mental, sedangkan Biden menyebut Trump kekanak-kanakan.

Sementara itu, bila merujuk pada gagasan yang diusung oleh masing-masing kandidat, dapat dibuat sebuah skema prediksi pemerintahan AS empat tahun ke depan. Jika Trump kembali memimpin, gaya pemerintahannya yang tidak mudah diprediksi akan kembali ditampilkan. Begitu pula dengan sikapnya yang berselisih dengan NATO dan agresinya terhadap China yang belum kunjung usai.

REUTERS/Tom Brenner
Presiden AS Donald Trump memberikan pernyataan setelah serangan udara menewaskan jenderal Iran, Qassem Soleimani, di West Palm Beach, Florida, AS, 3 Januari 2020. Trump memanfaatkan media sosial, terutama Twitter, untuk berkomunikasi dengan pendukungnya.

Dalam visi misi yang diusung pada pemilu kali ini, Trump mengusung slogan “Keep America Great!”. Slogan yang melanjutkan “Make America Great Again” itu dituju dengan kekuatan ekonomi yang pulih secara cepat usai pandemi dan kebijakan luar negeri yang agresif, termasuk pembatasan imigran. Dapat dibayangkan, negara AS yang adidaya dalam benak Trump adalah negara yang eksklusif dengan kekuatan ekonomi yang paling unggul.

Di sisi lain, Joe Biden merupakan sosok yang memiliki kematangan karier di politik AS. Kematangan politik membuat penampilannya lebih tenang dibandingkan Trump. Biden terpilih menjadi anggota senat sejak 1978 hingga 2008 sebelum terpilih menjadi wakil presiden periode 2009-2013 dan 2013-2017 mendampingi Presiden Barack Obama.

Gagasan yang ditawarkan Biden dilatarbelakangi oleh cita-cita Partai Demokrat. Isu lingkungan hidup, terbukanya pintu bagi imigran, jaminan kesehatan, dan lebih terbuka terhadap keberagaman etnis adalah beberapa contoh gagasan yang ditekankan Biden, namun tidak dibahas Trump dalam kampanyenya.

Kekhawatiran para pemilih terhadap Biden adalah melemahnya kekuatan AS terhadap China bila ia terpilih sebagai presiden. Memang, Biden tidak akan agresif seperti Trump, namun memiliki dua pilihan antara melakukan kerja sama secara ekonomi dan menjalin sekutu dengan negara-negara lain untuk menekan China. Kendati akan bersahabat dengan China, Biden menolak kelanjutan relasi dengan Korea Utara yang sebelumnya telah dibangun Trump.

Siapa pun yang terpilih, Biden maupun Trump, akan mewakili wajah pemerintahan AS empat tahun mendatang. Gaya komunikasi politik kedua calon presiden ini akan melengkapi karakter komunikasi presiden AS sebelumnya.

AFP/JIM WATSON dan Brendan Smialowski
Kandidat presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden dan Partai Republik, Donald Trump dalam debat presiden 23 September 2020. Siapa pun yang terpilih, akan mewakili wajah pemerintahan AS empat tahun mendatang.

Era Konvensional

Dua abad sebelum media sosial berkembang pesat, para presiden AS sudah menyadari kekuatan sebuah komunikasi massa. Semua dimulai dengan cara komunikasi konvensional oleh George Washington, yakni dengan korespondensi surat menyurat. Selain mendekatkan diri kepada calon konstituen, ada pula agenda politik yang lebih besar di dalamnya.

George Washington sebagai presiden pertama AS menyadari bahwa pengawasan publik begitu ketat kepada pemerintahannya. Apalagi, saat itu AS baru saja melepaskan diri dari sistem monarki Inggris. Inilah yang membuat George Washington sungguh berhati-hati dalam menjaga kerahasiaan pemerintahannya.

Menurut Anna Groves, dalam surat berjudul, “Washington’s Inaugural Address Of 1789”, Washington melakukan langkah politis untuk membuka diri pada masyarakat. Dalam kongres pertama itu, dibahas mengenai persoalan utang AS, mata uang negara, standar ukuran dan berat yang digunakan, sistem pendidikan, dan imigrasi.

Di era berikutnya, presiden AS ke-16, Abraham Lincoln memberikan pendekatan konvensional yang lain. Doris Kearns Goodwin, ahli sejarah kepresidenan AS mengatakan, Lincoln memang diberkahi bakat untuk berbicara di depan umum selain menulis korespondensi. Debat umum yang paling dikenang ialah saat Stephen A Douglas dan Abraham Lincoln berdebat dalam kampanye.

Kompas/Frans Sartono
Patung Abraham Lincoln di Lincoln Memorial, Washington, 31 Oktober 2015. Lincoln memanfaatkan telegram untuk komunikasi politiknya.

Selama Perang Sipil di AS, Lincoln menjadi presiden pertama yang memutuskan kantor telegram ke dalam Departemen Perang yang letaknya di samping White House. Secara personal, Lincoln mengirim ratusan telegram kepada para komandan di medan perang hingga dirinya sering kali tertidur selama masa perang itu. Kesaksian ini dituliskan oleh Tom Wheeler dalam bukunya, Mr Lincoln’s T-Mails: How Abraham Lincoln Used the Telegraph to Win the Civil War (2008)

Cara komunikasi para presiden menemui kebaruannya lagi di era William McKinley, presiden AS ke-25. Dialah presiden AS pertama yang menampilkan diri dalam sebuah gambar bergerak atau video singkat. Kendati video itu akan terasa membosankan jika dilihat sekarang, namun itulah pertama kalinya dalam sejarah AS, seorang presiden menggunakan video untuk menunjukkan salah satu kegiatan personalnya.

Selanjutnya, Theodore Roosevelt menjadi sosok ikonik dan memberi warna tersendiri dalam sejarah kepresidenan AS. Presiden AS ke-26 itu memiliki keahlian dalam mengeluarkan jargon, dan gimik terkenalnya yang berpose di atas seekor kuda. Seorang ahli sejarah, Doris Kearns Goodwin menuliskan bahwa Theodore Roosevelt memimpin di masa surat kabar sedang tumbuh pesat dan digemari, sehingga sering kali berpidato dengan gaya tajuk utama surat kabar.

Era Saluran Udara

Kebaruan cara komunikasi selanjutnya diperkenalkan oleh Franklin D Roosevelt (FDR), presiden AS ke-32. Melalui segmen monolog The Fireside Chats, FDR menjadi presiden pertama AS yang menggunakan saluran radio sebagai sarana berkomunikasi dengan publik. Istilah The Fireside Chats diberikan oleh FDR sendiri karena umumnya orang-orang kala itu mendengarkan radio sambil duduk di samping perapian (fireside).

AP Photo
Presiden AS Franklin D Roosevelt duduk diapit Madame dan Chiang Kai-Shek dalam Konferensi Kairo di Mesir, 1943. Melalui segmen monolog The Fireside Chats, FDR menggunakan saluran radio untuk berkomunikasi dengan publik.

Siaran pertama The Fireside Chats oleh FDR ditujukan kepada orang-orang Amerika pada 12 Maret 1933 untuk menjelaskan krisis keuangan dan tanggapan pemerintah atas masalah itu. Memang, masa kepemimpinan FDR tidaklah mudah karena kala itu situasi perang, menjalarnya gerakan fasisme Nazi, dan Perang Dunia II, turut membawa AS pada situasi genting. Uniknya, dalam siaran radionya itu, FDR menggunakan istilah yang sederhana dan memosisikan diri sama seperti masyarakat dengan penggunaan kata sapaan dan istilah-istilah yang tidak birokratis.

Melanjutkan strategi komunikasi FDR, Harry S Truman menjadi presiden pertama menggunakan saluran televisi untuk menyampaikan pidato kepada masyarakat dan dunia. Sayangnya, masa-masa kepemimpinan Truman begitu dikenang oleh masyarakat karena dugaan keputusannya untuk menjatuhkan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki. Kendati peristiwa itu turut mengakhiri Perang Dunia II dengan menyerahnya Jepang, namun menghadirkan duka mendalam dengan korban mencapai ratusan ribu orang.

Sebaliknya, di tangan John F Kennedy, televisi menjadi media yang ampuh dalam mendekatkan diri dengan warga dan memperkuat citra kepemimpinannya. Dengan karismanya, Presiden AS ke-35 ini menjadi sosok yang dicintai oleh penduduk AS. Meski demikian, banyak pula lawan politik yang tidak menyukainya dan membawanya menemui ajal.

UPI
Presiden AS John F Kennedy (kiri) menyambut Presiden RI Soekarno di Gedung Putih, Washington, DC, didampingi Wakil Presiden Lyndon Johnson tahun 1961. Kennedy mengetahui cara mendapatkan suara publik lewat tampilan di depan kamera.

Puncak aksi di depan kamera ditunjukkan John F Kennedy ketika berdebat dengan Richard Nixon dan menjadi debat kampanye presiden pertama (1960) yang disiarkan melalui televisi. Acara debat yang juga disiarkan melalui radio itu diklaim disaksikan 70 juta penduduk di kediaman mereka masing-masing. Keesokannya, sosok kedua orang tersebut muncul di halaman depan surat kabar, dan untuk pertama kalinya warga AS mengetahui secara jelas sosok yang akan mereka pilih dalam pemilihan presiden.

Satu hal yang sayang dilewatkan dalam acara debat ini ialah cara (yang tidak disengaja) kameramen dalam menyorot John F Kennedy dan Richard Nixon. Dalam bingkai kamera dan televisi, kedua sosok ini disorot bergantian dari bagian bahu atas, leher, kepala, serta wajah mereka. Tampilan visual inilah yang kemudian mengesankan Kennedy tampak lebih muda, segar, dan energik dibandingkan rivalnya yang terlihat pucat dan lemah. Doris Kearns Goodwin memberikan komentar bahwa Kennedy secara jelas mengetahui cara mendapatkan suara publik lewat tampilan di depan kamera.

Era Internet

Beralih ke 1993, Bill Clinton, presiden ke-42, menjadi presiden pertama yang memiliki akun surat elektronik (AON email) dengan nama ClintonPz@aol.com. Informasi ini diberitakan oleh The Los Angeles Times pada tahun itu. Kendati memiliki akun pribadi, Clinton Presidential Library mengklaim bahwa Clinton hanya mengirim dua surel yang diatasnamakan sebagai presiden.

Kompas/JB Soeratno
Presiden AS Bill Clinton dalam pertemuan dengan Presiden RI Soeharto di Jakarta. Clinton menjadi presiden pertama AS yang memiliki akun email.

Bill Clinton dikenal sebagai sosok yang melek perkembangan teknologi dan cukup gencar dalam mempromosikan penggunaan teknologi pada pertengahan 1990. Gedung Putih mencatat pada 5 Februari 1994, Clinton mengirimkan surel pertamanya ke luar negeri, yakni kepada Carl Bildt, perdana menteri Swedia kala itu. Ada kisah menarik seperti yang dituliskan New York Times, bahwan dalam surel itu Clinton menggunakan huruf besar (capslock) di semua isi email.

Era Twitter

Seiring perkembangan dan penggunaan internet, media sosial bermunculan di tahun-tahun berikutnya. Salah satu media sosial yang digandrungi oleh masyarakat adalah Twitter yang muncul pada 2006. Tiga tahun berselang munculnya Twitter, Presiden Barack Obama menjadi presiden AS pertama yang menggunakan media sosial berlambang burung itu.

Meski begitu, pihak Gedung Putih yang menjadi perwakilan Obama di media tersebut, melalui akun representatifnya. Baru kemudian pada 2015, Obama memiliki akun personal dengan nama @POTUS44. Akun ini hanya aktif selama kurang lebih dua tahun seturut masa jabatan presidennya yang berakhir pada 2017. Potus adalah singkatan dari “President of the United States”. Pertama kali, istilah ini digunakan sebagai kode telegram pada 1890-an. Kini Obama memakai akun @BarackObama.

Presiden AS saat ini, Donald Trump, dikenal sebagai presiden yang sering kali menuai kontroversi, yang tercermin dalam aktivitasnya di media sosial, terutama Twitter. Dalam cuitannya, Trump kerap mengecam berbagai pihak dan menyampaikan agenda politiknya. Aksi ini kemudian menjadi bahan menarik untuk dianalisis oleh media massa.

Afp/Olivier DOULIERY
Logo media sosial Twitter. Platform Twitter menjadi andalan para politisi untuk mengkomunikasikan gagasannya.

Pada November 2019, The New York Times mengeluarkan analisis terkait cuitan Donald Trump di Twitter sejak 2017 hingga 2019. Dalam analisis tersebut, tercatat lebih dari 11.000 cuitan selama 33 bulan dari akun tersebut. Cuitan pertamanya tentu pada 20 Januari 2017 pagi hari, yakni hari pelantikan dirinya sebagai Presiden AS ke-45.

Awalnya, akun ini hanya mengeluarkan sekitar sembilan cuitan tiap harinya,namun setelah tiga bulan, jumlah cuitan itu bertambah tiga kali lipat selama 2017. Dalam tiap cuitannya tersebut, New York Times membaginya dalam 52 kategori dan subkategori: kecaman, pujian dan konspirasi, ekonomi, imigrasi, dan penguatan para pendukung.

Menurut temuan New York Times, Trump sadar akan kekuatan media sosial dan menggunakannya sebagai bagian dari agenda politik. Lebih dari 50 persen cuitan yang dia tuliskan selama ini, isinya merupakan kecaman yang ditujukan bagi semua pihak, mulai dari investigasi Rusia, pemerintahan sebelumnya, negara bagian yang dikuasai oleh Demokrat, para atlet, hingga bos Amazon, Jeff Bezos. Uniknya, lebih dari 2.000 cuitan merupakan pujian terhadap dirinya sendiri.

Melanjutkan analisis New York Times, Trump juga menggunakan Twitter sebagai sarana mendeklarasikan kebijakan luar negeri AS. Dirinya sering kali memuji para pemimpin diktator sembari mengeluhkan tradisi yang ada dalam negara-negara sekutu AS. Bahkan, New York Times menyebut Twitter sebagai “anak buah” Trump secara de facto dalam memuat kebijakannya, termasuk saat ia memberhentikan anggota pemerintahan.

Di sisi lain, Trump turut menjalankan agenda lain. Sering kali ia menyebarkan teori konspirasi, mendukung pernyataan kaum ekstremis, dan hal-hal lain yang menguatkan dukungan terhadap dirinya. Tindakan inilah yang menguatkan keberadaan para kaum “nasionalis kulit putih”, anti-Islam, dan para pendukung yang dilabeli sebagai “teroris domestik” oleh Badan Intelijen Nasional AS.

Nyatanya, bukan hanya New York Times yang mengikuti sosok Trump di Twitter, melainkan juga The Guardian. Dalam artikelnya, cuitan Trump meningkat tajam pada hari sidang pemakzulan dirinya yang pertama pada 12 Desember 2019. Sebanyak 131 cuitan diunggah selama kurun waktu 17 jam. Cuitan itu kurang lebih berisikan pembelaan dirinya atas pemakzulan tersebut.

Kendati cuitan Trump kerap kali mengundang kontroversi, tidak dapat dimungkiri bahwa semua itu merupakan strategi dan gaya berkomunikasinya. Tentu, hal ini juga tidak terlepas dari kampanye dirinya untuk kembali menang pada pemilu 3 November 2020 nanti. Misalnya pada 3 Maret 2020 lalu, ia mengunggah cuitan agar warga Texas dan Oklahoma tidak memilih Michael Bloomberg (kalah dalam pemilu pendahuluan dari Biden) pada pemilu kali ini.

Setelah itu, Donald Trump menjadi sosok yang sangat aktif di dunia percuitan itu dengan akun @realDonaldTrump. Laman Tweet Binder (situs analisa akun Twitter) mencatat, sejak 2009 hingga 2020 Donald Trump telah mengirim lebih dari 41.500 cuitan (per 25 Februari 2020) dan masih bertambah hingga kini.

AP Photo/Charles Dharapak
Presiden AS Barack Obama usai konferensi pers di Gedung Putih, 3 November 2010. Seperti juga Trump, Obama memanfaatkan akun Twitter untuk menyampaikan gagasannya.

Menariknya, Tweet Binder juga mencatat hal-hal detail yang Trump gunakan saat mengunggah cuitan. Misalnya, sebanyak 14.753 cuitan dikirim dari aplikasi Twitter yang terpasang di android miliknya. Selain itu, paling banyak ia mencantumkan tagar #trump2016 dalam cuitan-cuitannya.

Hal menarik lainnya ialah perbandingan “harga jual” kedua akun Twitter antara Obama dan Trump ini. Harga pasar untuk akun Trump dinilai 95.813 dollar AS dengan nilai daya jual sekitar 1.186.174 dollar AS. Sedangkan untuk akun Obama masih lebih tinggi, yakni senilai 147.179 dollar AS dengan nilai daya jual sekitar 1.831.723 dollar AS. Tentu saja, faktor jumlah akun yang “mengikuti” dan “diikuti” memberikan pengaruh atas nilai akun keduanya.

Baik secara konvensional atau menggunakan media sosial, karakter kepemimpinan para presiden AS dapat terlihat dari gaya komunikasinya. Bagaimanapun juga, cara berkomunikasi para presiden AS turut membentuk citra dirinya yang senantiasa diingat oleh masyarakat AS dan dunia. (LITBANG KOMPAS)