Geger Pacinan, Perang Terbesar VOC Melawan Pasukan China-Jawa

Sejak menguasai Batavia pada tahun 1619 hingga akhirnya bangkrut pada tahun 1799, VOC telah mengalami berbagai peperangan, yang terbesar adalah Geger Pacinan. Belanda menyebutnya Chinese Oorlog. Ketika itu, puluhan ribu serdadu Tionghoa dan serdadu Jawa dari Kerajaan Mataram bersatu melawan VOC, persekutuan dagang Belanda di Nusantara atau kompeni. Perang pecah di seantero Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sejak Oktober 1740.

Para panglima perang dari pasukan koalisi Tionghoa-Jawa adalah Kapitan Cina Sepanjang, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said. Pangeran Mangkubumi kelak menjadi Sultan Hamengkubuwono I dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa kemudian menjadi KGPAA Mangkunegara I. Mereka berperang di bawah komando Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning yang sempat menguasai Keraton Kartasura, sebelum pasukan VOC menyerang balik dengan bala bantuan dari sebagian pasukan Mataram dan Pasukan Panembahan Cakraningrat IV dari Sumenep, Madura.

Sejarawan Daradjadi Gondodiprojo, penulis buku Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC  yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas (PBK) menuliskan, kekalahan pihak Tionghoa-Jawa dalam perang tersebut berdampak pada kebijakan rasial kompeni Belanda yang kemudian memisahkan hunian dan membatasi interaksi sosial antara orang Tionghoa, orang Jawa, dan Bumiputera secara umum agar tidak terjadi kohesi sosial dan perlawanan di kemudian hari.

arsip Rijksmuseum, Amsterdam
Lukisan minyak di atas kancas berjudul Kastil Batavia karya Andries Beekcman (1661). Lukisan menggambarkan pasar Batavia dengan latar belakang benteng VOC. Tampak orang Jawa menjual buah-buahan, orang China menjual ikan, dan orang Maluku bermain bola rotan. Di pasar itu dapat ditemui orang Jepang, Indonesia, dan “mardijkers” atau budak bebas yang ditandai dengan kaos bergaris-garis yang dikenakan, serta pasangan Belanda-Indonesia yang berjalan dipayungi budak. Lukisan ini dipajang di ruang Oost-Indisch Huis di Amsterdam.

Selepas peristiwa Geger Pacinan, lokasi baru pecinan di Batavia dibangun di luar benteng Batavia yang kini dikenal sebagai Glodok Pancoran pada tahun 1750-an. Warga Tionghoa bermukim di sana dalam jangkauan tembakan meriam kompeni. Kondisi ini seperti halnya pembangunan benteng di dekat Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta yang dimaksudkan sebagai penanda pengaruh politik dan militer kompeni Belanda.

Kota Batavia menjadi titik awal terjadinya Geger Pacinan. Sejarawan Adolf Heuken SJ dalam buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta menceritakan tentang migrasi warga Tionghoa Banten ke Batavia, menyusul penguasaan Kota Jayakarta oleh VOC tahun 1619 setelah berperang melawan penguasa Banten dan Kompeni Inggris di Jayakarta. Kapitan Cina pertama di Batavia, Souw Beng Kong, sebelumnya tinggal di Banten.

Jejak pemukim Tionghoa yang beranak pinak di pesisir Jawa termuat dalam catatan Slamet Muljono dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Buku itu menceritakan betapa erat hubungan komunitas Tionghoa Muslim dengan orang setempat pada awal perkembangan Islam di Jawa. Mereka menganut mazhab Hanafi sebagai hasil pengaruh dari aliran Islam yang banyak dianut di Tiongkok.

Tionghoa Banten dan Industri Gula

Sepeninggal era Cheng Ho atau Zheng He (Laksamana Muslim dari Tiongkok) yang membuka pos-pos perdagangan di Asia Tenggara termasuk di utara Jawa, para pemukim Tionghoa, termasuk yang beragama Islam, mendapat tempat penting seperti di Kesultanan Banten. Pada tahun 1500-an, tercatat Muslim Tionghoa bernama Encek Ban Cut membangun menara Masjid Agung Banten di Banten Lama.