Gelandangan, Cerita yang Terus Berulang

Gelandangan terselip di antara gedung bertingkat kota-kota besar. Mereka membantu memilah dan mengurangi sampah kota, tetapi mereka sering dianggap sebagai warga kelas sampah yang datang tahun demi tahun.

Kehidupan gelandangan ibarat cerita yang terus berulang dari tahun ke tahun. Keberadaan mereka terselip di antara gedung bertingkat kota-kota besar. Meskipun membantu memilah sampah dari mayoritas warga kota, gelandangan menjadi obyek penertiban terutama menjelang hari besar atau hajat politik. Di sisi lain, upaya negara memelihara fakir miskin seperti gelandangan ini belum sanggup menghentikan terulangnya narasi kehidupan mereka.

Terik matahari dan lelah membuat Simon alias Penang (45) tak sanggup lagi menahan kantuk. Di emperan toko di Jalan Mataram, Medan, Sumatera Utara, ia pun merebahkan badan. Kardus dibentangkan sebagai kasur. Harta berupa dua karung goni berisi botol plastik bekas ia pegang erat-erat. Sudah lebih dari 10 tahun Penang menggelandang. Tidurnya berpindah dari satu emperan ke emperan toko lain. Untuk menyambung hidup, ia memulung barang bekas di karung goninya.

”Saya biasa mencari plastik di sekitar Pasar Petisah atau Pasar Pringgan. Kadang, saya masuk ke permukiman warga di sekitar Jalan Gajah Mada dan Jalan Nibung,” kata Penang, Kamis (28/1/2021).

Dari pagi hingga malam, paling banyak 4 kilogram botol plastik mengisi karung goninya. Dengan harga jual Rp 2.000 per kilogram, sehari ia mendapat sekitar Rp 8.000. Uang itu ia gunakan untuk makan. Ia hanya meminta nasi dan kuah agar bisa makan dua kali. Kalau lagi beruntung, ada orang yang memberikan nasi bungkus atau uang kepadanya.

Melewati malam bukan hal yang mudah bagi Penang. Lawannya bukan hanya rasa dingin atau nyamuk yang sepanjang malam mengganggunya. ”Yang lebih berat itu melawan preman atau sesama gelandangan. Saya juga harus jaga-jaga kalau ada petugas yang datang,” kata Penang.

Uang Rp 2.000 di kantong pun harus direlakan agar tidak diganggu orang lain meskipun sering kali itu uang terakhir yang ia punya. Selain dua karung goni, harta Penang berupa sepasang sandal jepit, sepasang baju yang ia pakai, dan sepasang baju lagi yang disimpan di goni. Selang tiga hari, ia mencuci baju di Sungai Deli dan menjemurnya di pagar emperan toko yang tidak terpakai.

Penang tak punya identitas apa pun, termasuk kartu tanda penduduk (KTP). Alhasil, bantuan sosial dari pemerintah, seperti saat pandemi Covid-19 ini, tak mampir ke Penang dan teman-temannya. Apabila sakit, mereka pun tak bisa memperoleh layanan kesehatan gratis. Penang harus menyisihkan pendapatan sekadar membeli obat di warung kalau sakit menderanya.

Serangan virus korona baru pun meresahkan Penang. Apa daya, ia hanya bisa membentengi diri dengan satu-satunya masker skuba miliknya.