Gerakan Mahasiswa Tak Pernah Mati

Aksi demonstrasi mahasiswa yang cukup merata secara nasional pada waktu belakangan ini menjawab pertanyaan, ke mana gerakan mahasiswa? Aksi mahasiswa terkait penolakan terhadap revisi Undang-Undang KPK dan beberapa RUU lain menjadi bukti, mereka masih ada dan setia bersama kepentingan publik.

Bagaimanapun harus diakui, gerakan mahasiswa selalu melekat dengan sejarah perubahan di negeri ini. Perjalanan politik kebangsaan kita tak pernah lepas dengan peran pemuda dan mahasiswa yang menyertainya. Jika mengikuti periodisasi, gerakan pemuda dan mahasiswa terbagi dalam dua tahapan, yakni tahap pra-kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan.

Tahap pra-kemerdekaan ditandai dengan tiga fase sejarah. Pertama, berdirinya Boedi Oetomo sebagai organisasi kepemudaan yang menjadi ikon pergerakan pemuda tahun 1908 dan disebut juga sebagai era perintis terhadap upaya menyadarkan pemuda kala itu.

Arsip pribadi Moh Saleh
Moh Saleh bersama kawan-kawan Boedi Oetomo di halaman Gedung STOVIA 1908. Duduk dari kiri ke kanan: Goenawan Mangoenkoesoemo, Latoemeten, Moh. Arsjad dan Angka Prodjosoedirdjo, Berdiri dari kiri ke kanan: Moh Saleh, Soesilo, Soetomo dan Goembrek.

Fase kedua adalah peristiwa Sumpah Pemuda 1928 yang kemudian dikenal sebagai era penggerak. Kesadaran kebangkitan bangsa ini kemudian diteruskan oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan, seperti Soekarno dan Hatta, yang kemudian mengantarkan bangsa ini ke gerbang kemerdekaan pada 1945.

Dari fase di atas, jelas sekali model gerakan di tahap pra-kemerderkaan ini lebih menghadapkan pemuda dengan pemerintahan kolonial lewat gerakan politik diplomasi.

Sementara pada tahapan pasca-kemerdekaan, perubahan politik yang menonjol lebih banyak dihiasi gerakan mahasiswa yang lahir sebagai kekuatan penekan dan berhadapan dengan pemerintahan Indonesia. Gerakan mahasiswa 1966 menjadi penanda awal bagaimana mahasiswa menjadi oposisi di era pemerintahan Soekarno.

Repro Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka
Aksi-aksi mahasiswa meningkat terus dan mulai langsung ditujukan kepada Presiden Soekarno. Presiden membalas aksi-aksi mahasiswa dengan membubarkan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) pada tanggal 26 Februari 1966. Pada tanggal 3 Maret, Universitas Indonesia ditutup. Sekalipun demikian, gerakan mahasiswa dan perjuangan Tritura tidak terhenti, bahkan menjadi lebih berkobar.

Era 1966 ditandai juga dengan lahirnya sejumlah organisasi kemahasiswaan ekstrakampus, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI).

Organisasi-organisasi ini kemudian membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang kemudian menjadi motor penekan terhadap pemerintahan Soekarno. Peristiwa Tritura yang berisi pembubaran PKI, perombakan kabinet Dwikora, dan penurunan harga pangan lahir dari generasi awal gerakan mahasiswa yang memilih model gerakan di jalanan sebagai kekuatan penekan.

Cerita sukses gerakan mahasiswa 1966 tentu menjadi pelajaran berharga bagi kekuasaan. Pasca-Soekarno, gerakan mahasiswa pun kemudian dibatasi ruang geraknya oleh rezim Soeharto. Kebijakan Mendikbud Daoed Joesoef terkait Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) menjadi tembok pembatas bagi ruang gerak mahasiswa kala itu.

Menurut penjelasan Daoed Joesoef, kebijakan ini sebenarnya untuk mengembalikan kampus sebagai komunitas intelektual. ”Silakan mengkaji politik, tetapi tidak untuk berpolitik praktis. Masa itu, kampus sangat riuh dengan kegiatan politik dan rawan ditunggangi. Lalu, kapan mahasiswa belajar dengan baik?,” ujar Daoed (Kompas, 8/8/2016).

kompas/ wawan h prabowo
Para mahasiswa dari berbagai universitas menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Mereka menuntut dibatalkannya Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang baru saja direvisi dan menolak Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).

Jika ditelusuri, kebijakan NKK/BKK ini tidak lepas dari peristiwa yang terjadi sebelumnya. Sebut saja kampanye mahasiswa terkait ”golongan putih” saat Pemilu 1971 dan protes mahasiswa atas pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1973 yang berpuncak pada demonstrasi mahasiswa terhadap dominasi modal asing di Indonesia pada 15 Januari 1974.

Peristiwa terakhir ini kemudian dikenal dengan nama ”Malapetaka 15 Januari” atau Malari. Aksi ini dilakukan untuk ”menyambut” kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka yang kala itu dipandang sebagai simbol datangnya modal asing. Catatan peristiwa inilah yang kemudian membuat pemerintah perlu mensterilkan kampus dari gerakan-gerakan politik melalui NKK/BKK yang relatif sukses membuat gerakan mahasiswa ”mati suri”.

Selanjutnya pada 1990, Mendikbud Fuad Hasan resmi mencabut kebijakan NKK/BKK dan kemudian membuat pedoman terkait organisasi kemahasiswaan. Dari sinilah kemudian lahir era Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi. Era senat, meskipun dibentuk oleh kampus, menjadi pintu bagi gerakan mahasiswa untuk mengekspresikan ruang geraknya ”berpolitik”.

Apalagi, sejatinya, otoritarianisme Orde Baru melupakan pendidikan dan penyadaran politik yang sebenarnya tetap berlangsung di dalam kampus. Salah satunya pers kampus yang menjadi media alternatif karena dikelola mandiri oleh mahasiswa dan secara umum kontennya lebih banyak menjadi oposan terhadap pemerintahan Orde Baru.

kompas/eddy hasby
Mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto. Sebagian mahasiswa melakukan aksi duduk di atap Gedung MPR/DPR.

Puncaknya, krisis ekonomi yang terjadi kemudian memicu lahirnya gerakan mahasiswa 1998. Krisis ekonomi yang dipicu oleh meningkatnya harga kebutuhan pokok membuat mahasiswa, yang kala itu baru saja mengalami proses transisi turun ke jalan, bergerak menyuarakan aspirasi rakyat.

Transisi yang dimaksud, dari era Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi yang sebelumnya dibentuk oleh pihak kampus menjadi era Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang relatif mandiri (ketua/presiden BEM dipilih langsung melalui pemilu raya kampus).

Di fase inilah terjadi peristiwa tragis terbunuhnya empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998. Peristiwa ini justru semakin memicu gerakan mahasiswa yang lebih besar dan pada akhirnya membuat Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden.

Gerakan Pascareformasi
Pascareformasi, komitmen gerakan mahasiswa terhadap agenda kepentingan publik relatif tetap terjaga. Menariknya, gerakan mahasiswa kali ini juga dihiasi oleh gerakan awal yang masif di media sosial.

Terbukti, aksi mahasiswa pada 23 September 2019 yang memakai tagar #ReformasiDikorupsi mampu menggerakkan ribuan mahasiswa, baik di Ibu Kota maupun di daerah. Salah satu yang fenomenal adalah tagar #GejayanMemanggil yang diikuti oleh mahasiswa-mahasiswa di Yogyakarta.

Aksi turun ke jalan berlanjut hingga seminggu kemudian. Eskalasi dari gerakan mahasiswa ini membuat penanganan di lapangan cenderung memicu ketegangan dan represif. Bahkan, dalam unjuk rasa di Kendari, Sulawesi Tenggara, 26 September 2019, dua mahasiswa Universitas Halu Oleo meninggal.

kompas/ megandika wicaksono
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Kabupaten Banyumas menggelar aksi solidaritas dengan turun ke jalan atas wafatnya Randi dari Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara. Mahasiswa menuntut kasus tersebut diusut tuntas dan pelaku penembakan dihukum seberat-beratnya. Aksi digelar secara damai di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (27/9/2019).

Menariknya, aksi mahasiswa kali ini mampu menularkan gerakannya hingga lahirlah gerakan pelajar sekolah menengah kejuruan. Tentu saja ini mengagetkan publik karena menjadi fenomena baru dalam gerakan demonstrasi. Munculnya aksi lanjutan dari para pelajar SMK ini, menurut analisis sosiolog kritis Asef Bayat, merupakan tindakan para non-demonstran.

Dalam artikelnya, Un-civil society: The politics of the ’informal people’ (2010), Asef Bayat mendefinisikan un-civil society adalah mereka yang mendukung aksi karena merasa terwakili, tetapi selama ini tidak bisa bergabung dalam aksi tersebut.

Kini, kesempatan mereka bergabung dalam aksi demonstrasi tak lepas dari upaya untuk mengambil peran dalam momentum demonstrasi mahasiswa tersebut. Dalam konsep Asef Bayat, mereka tak ingin lagi disebut sebagai un-civil society.

Suara alternatif

Tentu apa yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa yang hadir di saat-saat kritis seperti ini tak lepas dari kesadaran mereka akan kekuatan yang dimiliki. Mereka memiliki suara alternatif yang bisa memengaruhi pengambil kebijakan.

Hal ini diakui pengamat politik Dimas Oky Nugroho. Menurut dia, sulit dibantah bahwa gerakan mahasiswa memiliki kekuatan yang historis sekaligus politis. Mereka selalu mendapat tempat dan relevan sepanjang Indonesia berdiri.

”Gerakan mahasiswa menyuarakan suara-suara alternatif, suara-suara idealisme dan moral politik, ketulusan dan kebajikan,” ungkap Dimas yang pernah menjabat Presiden BEM FISIP Unair 1998-1999.

kompas/wawan h prabowo
Para mahasiswa berusaha menghindari gas air mata yang ditembakkan oleh petugas kepolisian saat berunjuk rasa di depan Gedung DPR Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Mereka menuntut dibatalkannya Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang baru saja direvisi dan menolak Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).

Hasil jajak pendapat Kompas yang diselenggarakan pada 25-26 September 2019 juga mengungkapkan, sebagian besar responden meyakini apa yang dilakukan oleh mahasiswa adalah untuk menyuarakan aspirasi rakyat.

Pada akhirnya, sejarah perjalanan bangsa membuktikan, gerakan mahasiswa hadir ketika lembaga-lembaga demokrasi tidak bekerja baik, korupsi mewabah, moral politik bobrok, dan kebijakan ekonomi negara tidak menuju kesejahteraan sosial.

”Mahasiswa dan anak muda secara historis pasti akan bergerak untuk mengoreksi. Republik ini harus berterima kasih kepada anak-anak muda yang peduli dan mencintai negeri ini,” kata Dimas.

Jadi, mari kita angkat topi bahwa gerakan mahasiswa tidak mati. Ia akan terus lahir di setiap keresahan yang dirasakan publik. (Yohan Wahyu/Litbang Kompas)