Suplemen, Gizi Seimbang,
dan Atlet

Suplemen,
Gizi Seimbang,dan Atlet

Atlet, orangtua atlet, dan pelatih adalah komunitas yang amat tanggap terhadap pentingnya zat gizi dalam peningkatan kualitas diri. Maka, sesungguhnya mereka berpotensiuntuk dijadikan agen perubahan dalam membentuk masyarakat Indonesia yang punya pola makan gizi seimbang—sebuah kebiasaan yang masih jauh dari harapan yang berdampak masih rendahnya tingkat kesehatan warga negeri ini.

Menjelang malam, awal pekan terakhir Desember 2017. Ruangan memanjang di lantai dua, salah satu sudut Stadion Akuatik dipenuhi para lelaki dan perempuan berbagai profesi, karyawan, pebisnis, guru, ibu rumah tangga. Kesamaan mereka yang berkumpul di salah satu arena dalam Gelanggang Olahraga Bung Karno, Senayan, Jakarta, itu, satu: putra-putri mereka adalah perenang pelajar beragam usia, dari tingkat sekolah dasar hingga SMA.

Duduk di kursi-kursi berbantalan busa yang lembab—agaknya bekas dipakai para perenang di tepi kolam, para orangtua tersebut antusias mengikuti sebuah lokakarya. Temanya tentang pengembangan atlet jangka panjang. Paradigma ini, yang dinamakan Long Term Athlete Development (LTAD), telah menjadi formulasi pembinaan olahraga global, dan telah luas diadopsi di negara-negara maju sejak awal abad ini.

a
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pelari 4 x 100 meter putra, Lalu Muhammad Zohri, dalam latihan pelatnas Asian Games 2018 di Stadion Madya, Senayan, Jakarta, Senin (19/3/2018). Atlet elite membutuhkan asupan makanan berkualitas untuk memenuhi kebutuhan bertanding dan latihan kerasnya.

LTAD pada dasarnya adalah metode pembinaan olahraga secara bertahap, mengikuti perkembangan fisiologis, psikologis, dan kognitif seseorang sejak anak-anak. Alih-alih hanya menekankan pada program latihan fisik dan teknik, LTAD juga amat memperhatikan aspek kehidupan harian atlet seperti gizi, pola istirahat, dan aktivitas lainnya.

Pembicara dalam seminar itu tokoh penting dalam samudra renang Indonesia. Dia adalah lelaki Perancis tinggi, kurus, berwajah tirus. David Armandoni nama lelaki itu. Dia adalah pelatih para perenang pelatnas Indonesia sejak beberapa tahun silam.

Pada satu penggalan ceramah, Armandoni membuat para bapak dan ibu peserta seminar itu tertawa. Yang pasti karena penyampaian Armandoni yang ringan dan lucu. Mungkin juga tawa itu merupakan ungkapan reflektif sebagian orang tua, memperoleh pencerahan dan tips berguna.

Armandoni mengisahkan, dalam beberapa kesempatan mengikuti para perenang Indonesia berlomba, dia terkejut melihat bekal yang dibawa oleh atlet-atlet tersebut. Mereka begitu banyak membawa suplemen: vitamin, mineral, dan lainnya dalam bentuk pil, cairan, dan sebagainya. Dan begitu beragam.

Karbohidrat, protein, lemak, air, vitamin, dan mineral tidak boleh kurang ditelan jika tak ingin selalu kalah.

”Kamu sedang sakit?” ujar Armandoni mengulangi pertanyaannya kepada salah satu atlet ketika itu. Tentu jawabannya tidak. Suplemen menjadi bagian rezim asupan tak terpisahkan bagi banyak atlet.

Kelompok ini umumnya memahami, kualitas hidup dan prestasi juga sangat ditentukan oleh terpenuhinya seluruh komponen gizi.

Kisah itu mengungkapkan sebuah kesamaan, sekaligus jurang perbedaan, di dalam komunitas olahraga hampir di semua tempat termasuk Indonesia. Kesamaannya adalah pelatih, atlet, orangtua atlet, terapis,industri suplemen, para pakar dari berbagai bidang keolahragaan adalah satu kelompok masyarakat yang amat sadar dan sangat mementingkan asupan berkualitas dalam setiap aktivitas harian mereka.

Hitung Jumlah Kebutuhan Kalori Anda

Berat badan tidak boleh kosong
Tinggi badan tidak boleh kosong
Usia tidak boleh kosong
Jumlah minum susu minimal 0

00

Ini adalah jumlah kalori minimal yang tubuh anda butuhkan setiap harinya.

00

Ini adalah jumlah kalori yang harus anda punya untuk menjalankan kegiatan anda.

00

Ini adalah jumlah kalori yang anda dapatkan dari makanan.

00

00

a
a

Kelompok ini umumnya memahami, kualitas hidup dan prestasi juga sangat ditentukan oleh terpenuhinya seluruh komponen gizi. Karbohidrat, protein, lemak, air, vitamin, dan mineral tidak boleh kurang ditelan jika tak ingin kalahan. Perbedaannya ada pada detail. Pada sumber asupan gizi tersebut, seperti halnya (tetapi tidak terbatas) pada vitamin dan mineral.

Adalah kebetulan sejarah yang amat menguntungkan dunia olahraga ketika penemuan, kajian, dan perkembangan pengetahuan tentang vitamin dimulai 1912, sudah seabad silam. Di kurun-kurun itu pula, belasan tahun setelah Olimpiade modern digelar pada 1896, olahraga prestasi terus bergerak mengukuhkan posisinya dalam interaksi antarbangsa.

a
KOMPAS/PRIYOMBODO

Pelatih angkat besi Dirja Wiharja (kanan) setiap pagi dan sore mempersiapkan suplemen bagi para lifter yang berlatih di Olympic Center, Cibubur, Jakarta Timur, Rabu (11/1/2017).

Pasca-Perang Dunia I, olahraga prestasi menjadi instrumen penyembuh luka permusuhan. Menjelang Perang Dunia II yang dimotori Nazi Jerman, olahraga prestasi digunakan sebagai simbol keunggulan sebuah bangsa.

Memasuki era Perang Dingin, olahraga menjadi media negara-negara blok Barat dan Timur untuk memastikan tersedianya SDM berkualitas untuk memenangi ”perang” militer, ekonomi, dan budaya.

Negara-negara baru yang bermunculan pasca 1945 juga berlomba memanfaatkan olahraga untuk mengangkat harkat mereka agar sejajar dengan bekas penjajahnya.

Peran olahraga yang kian penting dan luas itu juga berkonsekuensi pada semakin pentingnya penajaman prestasi olahraga. Sejalan beriringan, penemuan dan pemahaman baru tentang vitamin sebagai zat pemelihara kesehatan makin berkembang. Vitamin sendiri adalah zat organik yang digunakan oleh tubuh kita, antara lain untuk membantu dan memperlancar proses metabolisme.

Maka, upaya peningkatan prestasi olahraga memperoleh satu senjata baru untuk digunakan: vitamin. Bisa dibilang, komunitas pertama yang langsung memanfaatkan setiap penemuan-penemuan dan pengetahuan baru tentang vitamin adalah masyarakat olahraga, di samping komunitas medis tentu saja.

mengetahui khasiat

Sejak ratusan hingga ribuan tahun lalu, manusia telah mengetahui jenis-jenis makanan yang bermanfaat bagi kesehatan, mampu meningkatkan vitalitas, dan menyembuhkan penyakit. Namun, bahwa khasiat itu diberikan oleh zat-zat tertentu dalam makanan baru diketahui secara pasti, lama setelah itu.

Contoh yang menjadi tonggak sejarah ”kevitaminan” adalah thiamine atau vitamin B1. Adalah dokter dan ilmuwan kesehatan Belanda, Christiaan Eijkman (1858-1930), yang memulainya. Tak lama setelah diwisuda sebagai dokter pada 1883, Eijkman ditugaskan ke negeri jajahan, Hindia Belanda.

Di negeri ini dia mengawali kariernya sebagai dokter dan peneliti di Semarang, lalu berpindah-pindah ke berbagai daerah lainnya. Salah satu penyakit yang dia tangani sekaligus diteliti saat itu adalah beriberi, yang menyebabkan pembengkakan bagian tubuh, otot terasa lemah, kekuatan berkurang. Penyakit ini banyak memakan korban jiwa saat itu.

Dalam tugas penelitiannya sejak 1886 di Komisi Kesehatan Hindia Belanda itu, Eijkman menggunakan sejumlah ayam yang menderita gejala beriberi sebagai objek. Eijkman mengamati, ayam-ayamnya itu berangsur sembuh setelah diberi makan nasi sisa ransum tentara. Di zaman itu, jatah serdadu adalah beras paling tak diminati, berupa beras yang bulir-bulirnya masih penuh dengan selaput bekatul.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Seorang peneliti bekerja di laboratorium Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Jakarta, Senin (31/7/2006).

Sesungguhnya pemberian pakan beras bekatul tidaklah disengaja dan Eijkman belum sepenuhnya sadar akan khasiat beras murah itu. Beruntung, koki tangsi militer mulai gusar karena beras sisanya terus-menerus diminta. Dia pun menghentikan pasokan.

Terpaksalah Eijkman membeli sendiri beras di pasar. Ternyata, setelah beberapa lama berganti asupan berupa beras yang digiling sempurna hingga putih, ayam-ayamnya kembali mengidap beriberi. Baru saat Eijkman balik memberinya dengan bekatul, ”kelinci-kelinci” percobaannya itu sembuh. Sayang, Eijkman tak melanjutkan penelitannya itu hingga tuntas karena sakit.

Namun, ia sempat menuangkan penelitiannya itu dalam sebuah artikel ilmiah. Artikel itulah yang kemudian menarik minat ahli biokimia Polandia, Casimir Funk (1884-1967). Pada 1912, dua tahun sebelum Perang Dunia I pecah, Funk berhasil menyapih zat dalam bekatul yang ”bertanggung jawab” terhadap pencegahan dan penyembuhan penyakit beriberi.

Zat itu dia namai vitamin, vital amine, senyawa amoniak yang penting. Pada 1929, Eijkman—bersama ilmuwan Inggris Frederick Hopkins—diganjar Hadiah Nobel Kedokteran atas kontribusinya terhadap pemahaman penyakit beriberi dan penemuan vitamin B1. Ironis, Funk justru terlupakan.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Pengemasan vitamin C dosis tinggi di pabrik PT Kalbe Farma Tbk, Cikarang, Bekasi, Senin (2/5/2011).

Berbeda dari Eijkman, dokter Inggris James Lind (1716-1794) tak pernah menyaksikan jerih payahnya berbuah pada ”penemuan” vitamin C. Semasa hidup, Lind bekerja sebagai dokter Angkatan Laut Kerajaan Inggris. Tugas utamanya adalah meningkatkan kehidupan pelaut di kapal layar. Berbagai praktik baru dia perkenalkan, dari sisi asupan, sanitasi, ataupun ventilasi kapal layar.

Di masa itu, salah satu momok bagi pelaut adalah penyakit kudis yang menjadi pencabut nyawa banyak jiwa dalam pelayaran yang panjang. Pada 1747 Lind menemukan, mengonsumsi buah limau (citrus) secara teratur bisa mencegah dan menyembuhkan kudis.

Namun baru pada 1932, 138 tahun setelah Lind wafat, zat berkhasiat penyembuh kudis itu bisa diisolasi. Setelah para ahli dari berbagai negara dan institusi melakukan penelitian bertahun-tahun, para ahli dari Amerika Serikat, Hongaria, dan Inggris secara terpisah akhirnya bisa mengisolasi senyawa yang dinamakan vitamin C itu.

EPA/LAWRENCE LOOI

Pil-pil Vitamin D tersedia bebas di apotek-apotek di Inggris, 28 Desember 2005. Konsumsi Vitamin D secara rutin disebutkan bisa membantu melawan kanker tertentu.

Singkat kata, pemahaman dan perkembangannya atas vitamin relatif baru. Vitamin D, sebagai contoh yang lain, baru ditemukan pada 1921 oleh peneliti Universitas Cambridge, Inggris, Edward Melandby. Sementara struktur molekul vitamin B12 baru dapat diurai pertama kali pada 1954 oleh ahli kimia Universitas Oxford, Inggris, Dorothy Hodgkin.

Walaupun bukan material yang membentuk sel, vitamin adalah zat kimia yang vital dalam memfasilitasi pembangunan dan perkembangan jaringan, memelihara kondisi sel, juga dalam memperbaikinya.

Vitamin juga tak dapat digunakan sebagai energi, tetapi tetap diperlukan dalam proses pemanenan energi dalam tubuh. Bagi dunia olahraga, keduanya (pembentukan dan terjaganya kondisi setiap bagian tubuh serta energi) amatlah berharga.

Miskinnya energi tentu buruk bagi orang pada umumnya, tetapi bagi atlet hal tersebut adalah bencana.

Sejumlah vitamin B, misalnya, berperan dalam koenzim yang terlibat saat konversi zat gizi bahan bakar menjadi energi dalam proses fosforilasi oksidatif atau proses energi aerobik. Kekurangan vitamin-vitamin jenis ini membuat energi yang dipanen tidak memadai. Miskinnya energi tentu buruk bagi orang pada umumnya, tetapi bagi atlet hal tersebut adalah bencana.

Kekurangan sedikit vitamin mungkin tidaklah membuat kita sakit, tetapi yang pasti, itu membuat prestasi seorang atlet melorot. Salah satu contoh yang umum adalah kekurangan asam folat (B9) yang banyak dikandung oleh sayuran segar dan polong-polongan. Gejala dari kekurangan vitamin ini ”halus” saja, rasa lelah (fatigue), juga perasaan sensitif yang kerap muncul dalam bentuk rasa gelisah hingga lekas marah.

Rasa lelah juga bisa disebabkan karena seseorang kekurangan Vitamin B1. Selain itu, kekurangan thiamine, nama lain vitamin itu, dalam tubuh menyebabkan gangguan tidur, dan perubahan perilaku. Dalam kasus penyakit beriberi, kekurangan vitamin B1 dalam jumlah yang signifikan bisa menyebabkan nyawa melayang.

a
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Peserta Tambora Bike Camp, kelelahan pada etape pertama Tambora Challange di Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Kamis (14/4/2016). Tambora Bike Camp dimulai dari Taliwang menuju Kecamatan Rhee, Sumbawa Besar.

Tentu saja, contoh-contoh di luar vitamin B juga sangat penting bagi manusia—dan bagi atlet, amat menentukan nasibnya. Kekurangan vitamin A diketahui menyebabkan gangguan pada penglihatan. Gangguan seperti ini jelas tak dapat ditolerir dalam olahraga karena atlet dalam hampir dalam semua cabang olahraga—jika tak bisa dibilang semua—terutama bereaksi berdasarkan umpan visiomotorik: gerakan yang dihasilkan, dimulai dari rangsangan pada penglihatan.

menjadi gaya hidup

Kesadaran akan vitalnya zat-zat gizi ini terhadap perkembangan tubuh dan peningkatan kemampuannya membuat komunitas olahraga juga amat memperhatikan asupan vitamin. Tidak pernah ada dalam doktrin mereka, menoleransi kekurangan zat-zat ini, bahkan dalam jumlah yang kecil saja.

a
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Pusat kebugaran menjadi bagian dari gaya hidup orang Jakarta seperti yang tampak di Celebrity Fitness di Jakarta Pusat, 24 Februari 2008.

Namun, di lain sisi, doktrin itu—yang kemudian juga menular pada kelompok masyarakat lainnya, terutama mereka yang mengadopsi gaya hidup bugar dengan berolahraga secara teratur—melahirkan kebiasaan mengonsumsi suplemen secara teratur, kadang dalam jumlah yang cukup banyak, seperti yang disinyalir oleh Armandoni.

Mungkin, kebiasaan seperti itu tidak juga salah. Dalam satu perbincangan membahas soal suplemen, Mury Kuswari yang Ketua Umum Asosiasi Nutrisionis Olahraga dan Kebugaran Indonesia (ANOKI) serta-merta menyodorkan sebuah diagram yang isinya mengejutkan. Dalam diri komunitas olahraga itu sendiri terdapat perbedaan cara pandang terhadap suplemen.

Banyak atlet, pelatih, orangtua—tentu saja dengan dukungan kalangan industri suplemen secara langsung ataupun tidak langsung—memulai rezim zat gizi olahraga (sports nutrition) dengan menempatkan suplemen, juga sebagai kebutuhan awal.

Hal ini bisa jadi berarti, pola makan seperti biasa (yang belum tentu telah memenuhi kriteria asupan seimbang) tetap dilanjutkan, tetapi hal itu disadari tidaklah mencukupi untuk kebutuhan peningkatan dan perkembangan prestasi dan latihan.

Banyak atlet telah “dididik” untuk memiliki jumlah waktu makan yang lebih banyak.

Atau, pola makan dan kebutuhan zat gizi semula dilanjutkan dengan jumah yang ditingkatkan, tetapi praktik itu disadari tidak akan mencukupi karena terbentur pada ”waktu” yang tetap 24 jam. Kasarnya, waktu yang sehari itu harus dibagi untuk latihan spesifik cabang olahraga, latihan fisik sebagai pendukung, ditambah aktivitas sebagaimana warga lainnya: bekerja atau sekolah, istirahat, kegiatan sosial, dan makan.

Jika sekali mengasup sepiring makan siang menghabiskan waktu 30 menit, misalnya, berapa waktu tambahan yang diperlukan untuk menghabiskan dua piring. Belum lagi, jika orang kebanyakan makan tiga kali dalam sehari, banyak atlet telah ”dididik” untuk memiliki jumlah waktu makan yang lebih banyak.

Misalnya, tiga kali makan pokok termasuk sarapan, sekian kali kudapan bergizi (sebelum atau pascalatihan), dan sekali memasok zat gizi bermutu (antara lain kaldu atau protein seperti susu) sebelum tidur.

Atlet sejak mereka berstatus atlet pelajar memang mesin energi yang besar. Hal itu, antara lain, dicontohkan oleh pengasuh klub renang AS, Rivertown Aquatics, dalam situs mereka. Seorang perenang, misalnya, memerlukan energi hingga 10 kalori dalam semenit latihan.

Jika seorang perenang putra usia 14 tahun berlatih satu jam dalam sehari, kebutuhan energinya lebih banyak hingga 500 kilokalori dibandingkan kebutuhan remaja normal. Jika latihan dua jam, bisa lebih banyak 800 kalori (dengan K besar yang menunjukkan kilokalori).

Kebutuhan energi yang besar juga berarti kebutuhan zat gizi nonbahan bakar yang juga besar: air, vitamin, dan mineral. Dengan berbagai keterbatasan yang diberikan oleh kebiasaan dan juga waktu, maka pola makan seperti orang normal bukanlah pilihan bagi kelompok ini.

Pola ini harus dilengkapi sedari awal dengan suplemen lalu bersama pilihan-pilihan bahan pangan berkualitas tinggi. Jadilah rezim zat gizi olahraga.

Kelompok kedua dalam komunitas olahraga yang dimotori oleh para ahli gizi olahraga, tutur Mury, yang juga Ketua Departemen Gizi Universitas Esa Unggul, amat menekankan pada pola makan dengan gizi seimbang sebagai fondasi.

”Ini dulu yang harus dibentuk. Dasarnya tetap harus gizi seimbang. Suplemen haruslah ditempatkan pada posisinya yang sesungguhnya, pelengkap,” ujar ahli gizi yang juga pelatih olahraga lulusan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, tersebut.

Penekanan pada gizi seimbang menggantikan penggunaan suplemen dari awal, atau secara dini, didasarkan pada pemahaman bahwa dalam pola makan seperti itu, kebutuhan zat gizi nonkalori seperti vitamin dan mineral secara otomatis terpenuhi dalam jumlah yang cukup (lewat sayuran, buah, susu, dan sebagainya). Apalagi, tutur Mury, dalam soal vitamin tidak berlaku prinsip: cukup itu bagus, lebih banyak itu lebih baik.

KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA

Staf Yayasan Kegizian untuk Pengembangan Fortifikasi Pangan Indonesia (KFI) sedang menguji ada-tidaknya serta besarnya kandungan vitamin A pada minyak goreng dari berbagai merek yang diambil dari seputar Jakarta, Jumat (14/10/2016), di Kantor KFI, Jakarta Selatan. Vitamin A pada minyak goreng merupakan bentuk fortifikasi pangan guna meningkatkan gizi konsumen.

Para ahli secara sederhana membagi vitamin ke dalam dua jenis, yang larut dalam air dan yang larut dalam lemak. Vitamin larut air (water-soluble vitamins) disimpan dalam tubuh dalam jumlah yang sedikit. Kekurangan vitamin ini dalam satu-dua hari tidaklah menyebabkan sakit tetapi bisa menjadi masalah bagi penampilan atlet.

Jika jumlah vitamin ini berlebih, tubuh akan mengeluarkannya dalam bentuk urine yang berarti memerlukan kerja ginjal. Jika berlebih dalam jumlah besar dan akumulatif, tentu membuat urin kita menjadi ”sangat mahal” karena berbuah pada terbentuknya batu ginjal.

Vitamin yang larut dalam lemak (fat-soluble vitamins) kita konsumsi lewat kandungan lemak dalam makanan yang kita telan. Jika jumlahnya sudah melebihi yang dibutuhkan, kita akan menyimpannya dalam lemak tubuh. Karena surplus vitamin tersebut tak dikeluarkan lewat urin seperti vitamin yang larut air, jumlah yang amat berlebihan bisa menyebabkan keracunan, vitamin toxicities.

Ini mengacu pada Rekomendasi Kebutuhan Harian yag diterbitkan Kementerian Kesehatan AS (USRDA/US Recommended Dietary Allowances). Angka ini mengacu pada usia dan jenis kelamin tertentu. Sebuah komite yang terdiri atas para pakar gizi selalu memperbarui nilai USRDA setiap jenis zat gizi per 6-7 tahun.

Gizi olahraga

Menurut Mury, makanan seimbang (dalam jenis, dan terutama bagi atlet: juga dalam jumlah) akan membuat kebutuhan tubuh kita pada zat-zat gizi terpenuhi. Berdasarkan rezim makan zat gizi seimbang itulah lalu kemudian pola makan zat gizi olahraga dibangun. ”Sport nutrition itu mengacu pada kebutuhan gizi sesuai dengan cabang olahraga spesifiknya,” kata pendiri yayasan Gizi Kebugaran Indonesia tersebut.

Katakanlah, atlet di cabang olahraga bela diri, senam, atau cabang lain yang memerlukan body image memerlukan jenis-jenis makanan yang membuat mereka bisa mengendalikan berat tubuh. Bayangkan jika seorang petinju menjelang tanding ternyata bobotnya 2-3 kilogram di atas kelasnya. Upaya penurunan radikal dalam tempo relatif singkat tentu akan berdampak pada seluruh kemampuannya: kecepatan, kekuatan, bahkan cara berpikir.

Contoh lain, seorang atlet memerlukan karbohidrat, alias gula kompleks, dalam jumlah memadai dalam kurun pasokan yang berkesinambungan. Mengganti makanan pokok dari beras putih ke beras merah merupakan bentuk penerapan diet olahraga berdasarkan diet seimbang.

Dengan pola makan yang didasarkan pada diet seimbang, kebutuhan akan suplemen dapat dikembalikan pada fungsi dasarnya, yaitu sebagai pelengkap.

Beras merah kaya akan serat yang menyebabkan penyerapan ”bahan bakar” glukosa (hasil proses pencernaan dalam tubuh) ke dalam darah diperlambat sehingga tubuh bisa memperoleh kebutuhan material energi secara terus-menerus dalam tempo yang lebih lama.

Selain itu, beras merah kaya akan Vitamin B yang membantu proses ”pemanenan” energi dalam tubuh kita. ”Atau dikombinasikan makan nasi putih dengan sayuran dalam jumlah yang cukup,” kata Mury.

Dengan pola makan yang didasarkan pada diet seimbang, kebutuhan akan suplemen dapat dikembalikan pada fungsi dasarnya, yaitu sebagai pelengkap. “Katakanlah jika atlet pergi bertanding ke Jepang atau negara tertentu. Di sana sayur mahal, atau sulit diperoleh. Maka pada saat itulah suplemen vitamin diperlukan,” tutur Mury lagi.

KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU

Siswa SD Naskat Mathias 3 Langgur B di Kabupaten Maluku, Maluku, menikmati sarapan pagi bergizi seimbang di sekolah (26/5/2017). Lewat Program Gizi Anak Sekolah atau Progas yang dicanangkan Kemdikbud, sekolah dan pemerintah daerah diajak memperhatikan kecukupan gizi anak sekolah dalam rangka meningkatkan prestasi belajar.

Diakui, tidak ada solusi instan dalam menggeser pola piramida asupan dari mengandalkan suplemen ke pola yang merangkul gizi seimbang sebagai dasar. Bagaimanapun, hal itu terkait pada kebiasaan hidup. Kebiasaan itulah yang harus terus dibentuk dan disosialisasikan.

Sesungguhnya Indonesia cukup terbantu dalam hal ini. Pemerintah telah menerbitkan pedoman tentang gizi seimbang lewat Peraturan Menteri Kesehatan sejak empat tahun silam (PMK No 41/2014 Tentang Pedoman Gizi Seimbang).

Peraturan itu cukup membantu karena cukup detail menginformasikan kebutuhan-kebutuhan jenis makanan per kelompok usia. Selain itu juga dicantumkan jenis-jenis pangan alternatif (misal, jenis pangan pengganti beras) dan jumlahnya.

a
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Berlatih sejak awal pagi, nyaris tiap hari, adalah rutinitas bagi para pelajar perenang. Dari kolam klub masing-masing itulah, mereka bersiap untuk menjalani aktivitas berikut, yaitu bersekolah. Irama kehidupan tersebut tecermin dalam latihan dalam klub renang Pari Sakti di Stadion Renang Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Senin (27/4/15) pagi.

Peraturan menteri kesehatan itu mengandung pesan, kecukupan gizi masih belum terpenuhi oleh banyak penduduk Indonesia. Hal itu tergambar dari konsumsi pangan masyarakat pada umumnya yang belum sesuai dengan pola gizi seimbang.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 misalnya (ini riset kesehatan dasar terakhir yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan), 93,5 persen penduduk usia di atas 10 tahun mengonsumsi sayuran dan buahbuahan masih di bawah anjuran.

Selain itu, kualitas protein yang dikonsumsi juga masih rendah karena sebagian besar berasal dari protein nabati. Remaja-remaja kita ternyata juga tak minum air putih dalam jumlah yang cukup.

Kembali pada keyakinan Mury, makan dengan pola diet seimbang adalah persoalan kebiasaan. Maka satu-satunya cara membentuknya adalah melalui pendidikan, penyuluhan, kampanye ke berbagai lapisan masyarakat. Tak ada cara instan yang bisa ditempuh.

Punya pengaruh

Di sisi lain, masyarakat kita sesungguhnya sudah memiliki komunitas yang amat peduli—bahkan fanatik—terhadap zat gizi. Mereka tak hanya dahaga akan pengetahuan menyangkut gizi, mereka bahkan sangat sigap dalam menerapkan setiap pengetahuan baru yang diperoleh tentang gizi. Mereka adalah komunitas olahraga: atlet, orang tua atlet, dan pelatih.

Komunitas ini dapat dikatakan punya pengaruh pada lingkungannya. Tanyakanlah pada banyak orang tua atlet pelajar, mereka umumnya punya pengalaman tentang bagaimana rekan-rekan mereka sesama orang tua siswa di sekolah ingin tahu tentang jenis makanan si atlet.

a
KOMPAS/PRIYOMBODO

Atlet dan ofisial mengikuti yang mengikuti upacara pengukuhan kontingen Indonesia ke SEA Games Kuala Lumpur 2017 berfoto bersama seusai acara di Wisma Kemenpora, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (2/8/2017). Pengukuhan 250 atlet dan 55 orang ofisial dilakukan oleh Ketua Umum Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Erick Thohir.

”Bu, si A badannya bagus banget. Makannya apa?” begitu kira-kira pertanyaan yang sering diajukan pada orang tua atlet pelajar.

Maka, pemerintah: Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, dan sebagainya seyogyanya sadar, mereka punya rekan untuk dijadikan sebagai agen perubahan dalam menciptakan masyarakat yang sadar gizi seimbang. Oleh karena itu, dekatilah komunitas olahraga dalam kampanye dan informasi tentang gizi seimbang!

Kerabat Kerja

Penulis: Yunas Santhani Azis | Fotografer: Agus Sutanto, Priyombodo, Heru Sri Kumoro, Wisnu Widiantoro, Wawan H Prabowo, Hendra A Setyawan, Dudy Sudibyo, Hendra A Setyawan, EPA/Lawrence Looi | Infografik: Dimas Tri Adiyanto | penyelaras bahasa: Hibar Himawan | Desainer & Pengembang: Vandi Vicario, Deny Ramanda, Annisa Octaviana, Miftahul Awali Rizkina | Produser: Prasetyo Eko Prihananto, Haryo Damardono, Dahono Fitriyanto

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.