Lantas, apa makna lukisan-lukisan itu?
Budianto menduga, stensil tangan itu merupakan semacam ”pagar magis” untuk menolak bala bagi para penghuni goa. Ia berpandangan, hal itu bisa jadi merupakan bentuk awal manusia mengenal ”Tuhan” atau sesuatu yang maha dahsyat tempat mereka menggantungkan harapan.
Dugaan itu diperkuat dengan ditemukannya sejumlah goa berlukis yang tidak dihuni manusia. Goa-goa seperti itu umumnya terletak di ketinggian bukit yang sulit dijangkau serta jauh dari sumber makanan dan sungai. Selain itu, tidak ditemukan sampah dapur, misalnya tulang hewan atau kerang-kerangan, seperti yang ditemukan di goa-goa lain yang dihuni.
Artinya, goa-goa itu memiliki fungsi khusus, salah satunya diduga untuk praktik ritual yang berkaitan dengan lukisan tersebut. ”Jadi manusia pada masa itu sudah mengenal ritual-ritual tertentu sebagai pengikat komunitas mereka,” kata Budianto.
Peneliti bahasa rupa dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Pindi Setiawan, berpendapat lukisan-lukisan prasejarah itu menunjukkan keterampilan yang maju dari manusia awal penghuni Nusantara. Selain di Maros, Pindi juga pernah meneliti lukisan goa-goa karst di Kalimantan Timur.
Dari penilaiannya, manusia pembuat lukisan itu bukan hanya terampil membuat gambar yang bagus, melainkan juga mempertimbangkan aspek-aspek lain. Hal itu seperti tata letak, pencahayaan, dan sudut pandang yang membentuk satu kesatuan utuh dalam melihat lukisan tersebut.
Dosen komunikasi visual dan multimedia Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB itu juga berpandangan lukisan-lukisan tersebut bukanlah gambar bisu, tetapi ada proses yang melibatkan pengalaman semua indera manusia saat difungsikan oleh pembuatnya.
”Ada lukisan goa yang gambarnya penting, tetapi ada juga yang proses menggambarnya juga penting, misalnya dibuat dengan doa-doa,” kata Pindi. Contoh gambar yang penting biasanya dibuat dalam jumlah banyak dan penempatannya di titik-titik yang tinggi.
Kenapa lukisan itu penting? Pindi menduga hal itu terkait sistem religi manusia pembuatnya pada zaman tersebut. Dalam hal ini, stensil tangan itu berfungsi sebagai medium komunikasi dengan ”dunia lain” yang eksis bersama dunia nyata.
Adapun terkait lukisan hewan, Pindi berpendapat hal itu sebagai ekspresi kekaguman atas jenis hewan yang dihormati atau dianggap memiliki keistimewaan bagi manusia kala itu. ”Hal ini juga terkait dengan religi mereka,” ujarnya.
Budianto mengatakan, budaya lukisan cap tangan itu terus berlanjut hingga kedatangan masyarakat penutur Austronesia ke Sulawesi sekitar 4.000 tahun lalu. Penutur Austronesia adalah salah satu nenek moyang langsung bangsa Indonesia.
Lebih jauh, Budianto menjelaskan, dalam budaya masyarakat Bugis, lukisan tangan menjadi salah satu komponen tradisi Ma’bedda Bola, yang dalam arti harfiahnya ”membedaki rumah”. Tradisi itu merupakan ritual selamatan rumah baru agar menjadi berkah bagi penghuni sekaligus menjauhkan dari segala bala.
Ritual ini biasanya dipimpin sanro (semacam orang pintar dan dituakan) yang akan mengelilingi rumah dengan mantra atau doa tertentu. Kemudian, telapak tangan dicelupkan pada air rendaman beras atau air campuran tepung beras sebelum ditempelkan ke dinding atau tiang rumah panggung. Bekas telapak tangan akan dibiarkan selama mungkin hingga akhirnya pudar sendiri.
”Ini kemungkinan adalah bentuk pengetahuan yang berlanjut dari masa prasejarah sampai generasi sekarang,” ujar Budianto.
Namun, tradisi Ma’bedda Bola kini semakin jarang ditemui, seperti dikemukakan Lahab (54), warga Kelurahan Kalabbirang sekaligus juru pelihara Taman Prasejarah Leang-leang.
”Dulu saat orangtua saya masuk rumah baru, tradisi ini dilakukan. Saya juga masih melakukan saat menempati rumah baru. Saya tidak tahu persis apa maksudnya karena itu tradisi turun-temurun yang kami lakukan. Namun, intinya itu seperti penolak bala,” kata Lahab.