Goa Maros

Tapak-tapak Manusia Awal Sulawesi

Goa-goa karst di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, adalah peti harta yang menyimpan kekayaan cerita berusia puluhan ribu tahun. Pada dinding-dinding cadas di rongga bumi itu, jejak manusia-manusia penghuni awal Pulau Sulawesi dikekalkan.

Foto ini diolah digital oleh Toto Sihono

Membuka peti harta

Lepas tengah hari, Jumat (16/3/2018), saat Kompas memasuki mulut goa Leang Pettae di Kelurahan Leang-leang, Kecamatan Bantimurung, Maros. Lampu senter diarahkan ke langit-langit salah satu lorong goa yang sempit dan gelap.

Seekor hewan berkaki empat terlukis di sana dengan cat merah. Meskipun permukaan dinding goa yang menjadi ”kanvasnya” banyak tertutup bercak putih, wujud itu masih bisa dikenali, yakni babirusa.

Tak jauh dari situ, di bagian lain langit-langit goa setinggi 2,5 meter, sejumlah telapak tangan manusia tergambar. Telapak tangan itu dibuat dengan teknik stensil, yaitu menyemprotkan cat pada tangan yang ditempelkan ke permukaan dinding sehingga menyisakan cetakan negatifnya.

KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG

Stensil tangan di goa prasejarah Leang Petta Kere, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Jumat (16/3/2018).

”Leang Pettae adalah goa pertama di kawasan karst Maros-Pangkep yang diketahui oleh arkeolog memiliki lukisan prasejarah saat CHM Heeren Palm meneliti tempat ini pada tahun 1950,” kata Budianto Hakim (53), arkeolog dari Balai Arkeologi (Balar) Makassar.

Hari itu Budianto ikut bersama Kompas menjelajahi sejumlah goa prasejarah di Maros, termasuk Pettae. Goa-goa itu berada dalam kawasan karst yang disebut kawasan karst Maros-Pangkep. Pangkep adalah akronim dari Pangkajene dan Kepulauan, kabupaten tetangga Maros di utara.

Dari penelitian Palm itu, lukisan prasejarah di goa-goa lain di Maros satu per satu terungkap, baik oleh Palm maupun peneliti lain, antara lain HR van Heekeren dan CHJ Franssen. Lukisan ditemukan di Leang Burung, Leang Jarie, Leang Lambattorang, dan Leang Petta Kere. Leang adalah bahasa lokal yang berarti goa.

Goa-goa tersebut lokasinya berdekatan. Bahkan, Leang Petta Kere hanya terpaut jarak sekitar 50 meter dari Leang Pettae. Lokasi kedua goa itu kini menjadi Taman Prasejarah Leang-leang yang dikelola Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulsel.

Budianto mengatakan, jumlah goa prasejarah di kawasan karst Maros-Pangkep yang telah terdata mencapai sekitar 230 goa. Adapun yang diketahui memiliki peninggalan lukisan mencapai lebih kurang 80 goa. Sebagian goa masuk dalam wilayah Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (TN Babul) seluas 43.700 hektar.

”Dari jumlah itu, masih sangat dimungkinkan ada goa-goa lain yang belum ditemukan karena sejauh ini wilayah karst Maros-Pangkep yang bisa terjangkau baru sekitar 10 persen,” ujar Budianto.

Terkait banyaknya potensi goa yang belum diteliti, Kepala Balai Arkeologi Makassar Irfan Mahmud mengatakan, pihaknya segera membuat zonasi. Selain untuk memastikan semua goa bisa terdata, zonasi juga akan menjadi basis data bagi pemerintah kabupaten untuk pemanfaatan kawasan.

”Selama ini terjadi tumpang tindih antara kepentingan bisnis, terutama tambang, kepentingan wisata, dan juga konservasi. Beberapa kali kami harus berhadapan dengan pengusaha tambang jika izin tambang masuk dalam wilayah konservasi. Karena itu, zonasi menjadi salah satu solusi,” kata Irfan.

Intinya, dengan zonasi yang berbasis penelitian, akan ada pembagian wilayah konservasi untuk goa prasejarah. Lalu akan ada juga wilayah yang memungkinkan dikembangkan untuk kepentingan bisnis. Kelak hasil penelitian juga akan menghasilkan peta kawasan karst yang lebih lengkap.

Kompas/Hendra A Setyawan

Goa yang digunakan manusia purba untuk bertahan hidup yang didalamnya terdapat sisa makanan berupa kulit kerang dan sampah dapur di Leang Bulu Sipong, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Sabtu (21/9/2013).

Kompas/Eddy Hasby

Dinding Leang Lompoa di Pangkep, Sulawesi Selatan, Minggu (5/8/2012), yang dengan stalaktit dan stalagmit. Banyak lukisan prasejarah ditemukan di dinding leang di kawasan Sulawesi Selatan.

Lukisan tertua dunia

Sebelum tahun 2014, tidak ada yang tahu pasti sejak kapan lukisan-lukisan cadas menghiasi goa-goa di Maros. Sejumlah ahli pun memperkirakan usianya tak lebih dari 10.000 tahun. Namun, hasil penelitian yang dipublikasikan di Nature, jurnal sains internasional ternama, pada 9 Oktober 2014, mengubahnya.

Penelitian itu merupakan kerja sama sejumlah ahli dari Balai Arkeologi Makassar, Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulsel, Pusat Arkeologi Nasional, University of Wollongong Australia, Griffith University Australia, dan Australian National University. Hasilnya mengejutkan jagat arkeologi dunia dan menyedot perhatian media-media internasional.

Hasil penelitian mengungkapkan, salah satu stensil tangan di Leang Timpuseng dipastikan berusia setidaknya 39.900 tahun. Leang Timpuseng berlokasi di Kelurahan Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung, sekitar 3 kilometer dari Taman Prasejarah Leang-leang.

Beberapa Lokasi Temuan Lukisan Prasejarah

@
@

Usia tersebut diperoleh melalui metode penanggalan uranium-series. Metode itu mengukur usia coralloid speleothem, atau yang biasa disebut cave popcorn karena bentuknya berupa benjolan kecil yang mirip camilan berondong jagung.

Coralloid tumbuh di permukaan dinding goa dari proses pengerasan air dan mineral lainnya. Kapan coralloid itu terbentuk dapat ditelusuri melalui kandungan uranium terlarutnya. Dengan begitu, para ahli dapat mengetahui usia lukisan goa yang di atas permukaannya ditumbuhi coralloid.

Adam Brumm, ketua tim peneliti dari University of Wollongong Australia, saat memaparkan hasil penelitian itu kepada pers di Jakarta, mengatakan, pengungkapan usia lukisan goa di Maros merupakan temuan yang sangat penting karena menguak misteri kehidupan manusia prasejarah di Indonesia periode 40.000-an tahun lalu.

”Penanggalan dengan uranium-series sangat akurat. Jika penanggalan karbon hanya bisa mendeteksi umur hingga 40.000-an tahun, penanggalan uranium-series bisa mendeteksi sampai 600.000-an tahun,” kata Adam (Kompas, 10/10/2014).

Fakta baru ini berdampak penting karena mengubah pemahaman kita tentang perjalanan spesies manusia modern (Homo sapiens) di muka Bumi. Usia 39.900 tahun itu menempatkan lukisan goa Maros satu periode zaman dengan lukisan di goa El Castillo, Spanyol.

Lukisan berbentuk cakram di El Castillo merupakan lukisan prasejarah tertua yang usianya paling tidak 40.800 tahun. Lukisan El Castillo pun kerap dianggap sebagai penanda titik mula perkembangan keterampilan artistik manusia modern sebelum menyebar ke wilayah lain di dunia.

Timpuseng menunjukkan, kemampuan itu juga dimiliki manusia di belahan dunia lain pada masa bersamaan, bahkan bisa jadi lebih awal. Untuk kategori stensil tangan, lukisan di Leang Timpuseng menjadi yang tertua di dunia. Sebelumnya, stensil tangan tertua juga dipegang oleh lukisan di El Castillo yang berusia 37.300 tahun.

Hanya beberapa sentimeter dari stensil tangan Timpuseng terdapat pula sebuah lukisan yang telah memudar. Para peneliti memastikan wujud lukisan itu adalah babirusa betina. Hasil penanggalan uranium-series menunjukkan usianya 35.400 tahun.

KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG

Lukisan babirusa di langit-langit goa prasejarah Leang Timpuseng, Kecamatan Bantimurung, Maros, Sulawesi Selatan, Jumat (16/3/2018). Hasil penelitian arkeologi yang dipublikasikan pada 2014 menunjukkan lukisan itu berusia setidaknya 35.400 tahun sehingga menjadi salah satu lukisan figuratif tertua dunia.

Di goa Leang Barugayya 2, tak jauh dari Timpuseng, sebuah lukisan hewan yang diperkirakan babi, memiliki usia minimum 35.700 tahun. Hal itu menjadikan lukisan hewan dari goa prasejarah Maros sebagai salah satu lukisan dekoratif tertua di dunia.

Penelitian mengambil 19 sampel coralloid dari 14 lukisan di 9 goa di wilayah Kecamatan Bantimurung dan Kecamatan Simbang. Selain Timpuseng dan Barugayya 2, sampel juga berasal dari Leang Barugayya 1, Leang Jarie, Goa Jing, Leang Bulu Bettue, Leang Lompoa, Leang Burung 2, dan Leang Sampeang.

Secara keseluruhan, penelitian atas usia lukisan-lukisan itu berkisar dari paling muda 17.400 tahun hingga tertua 39.900 tahun. Mayoritas lukisan usianya lebih dari 25.000 tahun.

Arkenas dan BPCB Makassar

Salah satu lukisan dinding goa yang terdapat di Leang Timpuseng, Maros, Sulawesi Selatan yang diabadikan Pusat Arkeologi Nasional beberapa waktu lalu.

Tangan-tangan magis

Leang Timpuseng terletak sekitar 200 meter dari jalan poros yang menghubungkan Kelurahan Kalabbirang dengan Kelurahan Leang-leang di Kecamatan Bantimurung, Maros. Jaraknya sekitar 40 kilometer arah timur laut pusat kota Makassar.

Goa itu terletak di kaki bukit karst setinggi setidaknya 100 meter. Antara bukit karst dan jalan terbentang sawah-sawah warga. Mata air yang berasal dari Leang Timpuseng menjadi sumber pengairan sawah-sawah tersebut, sesuai arti Leang Timpuseng dalam bahasa setempat, yakni ”goa mata air”.

Goa itu kini sudah dipagari di bagian halaman dan dirawat oleh seorang penjaga dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulsel. Saat Kompas mengunjunginya pascapublikasi hasil penelitian usia lukisan goa itu pada tahun 2014, Timpuseng masih terbuka seperti goa biasa.

Di dalam goa kecil itulah karya seni purba yang menggemparkan dunia terabadikan. Stensil tangan dan lukisan babirusa itu terletak di langit-langit setinggi sekitar 4 meter, tak jauh dari mulut goa. Meski sudah pudar, kedua gambar tersebut masih bisa dikenali.

KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG

Bagian depan goa prasejarah Leang Pettae di Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Jumat (16/3/2018). Di goa itulah peneliti pertama kali menemukan lukisan prasejarah di kawasan karst Maros-Pangkep pada tahun 1950.

Wujud telapak tangan lengkap dengan kelima jarinya itu terbentuk dari kombinasi warna kelabu permukaan batu dengan warna cat menghitam yang mengelilinginya. Jika gambar babirusa dibuat dengan teknik lukis umum, yakni menggunakan sejenis kuas dan cat, gambar tangan dibuat dengan teknik berbeda.

Arkeolog Balai Arkeologi Makassar, Budianto Hakim, menjelaskan, pembuatnya menggunakan teknik semprot, baik dengan bantuan alat maupun langsung dari mulut. Pertama-tama, mereka mengumpulkan hematit, batuan mineral yang mengandung pigmen merah.

Batu itu dipecahkan kemudian bagian dalamnya dikikis untuk merontokkan lapisan warna merah tersebut. Serbuk yang terkumpul lantas dicampur dengan air untuk menghasilkan cat.

”Selanjutnya, telapak tangan ditempelkan ke permukaan dinding lalu cat itu disemprotkan sehingga meninggalkan bekas telapak tangan,” ujar Budianto yang juga terlibat dalam penelitian usia lukisan goa prasejarah Maros.

KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG

Arkeolog Balai Arkeologi Makassar Budianto Hakim menunjukkan hematit, bijih mineral berwarna merah, yang ditemukannya di sekitar goa prasejarah Leang Timpuseng di Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Jumat (16/3/2018). Hematit dipakai manusia purba sebagai bahan cat untuk melukis dinding goa.

Pola stensil tangan di goa-goa prasejarah Maros bervariasi, ada yang tunggal seperti di Timpuseng, berkelompok acak seperti di Leang Pettae dan Leang Petta Kere, sampai berjajar membentuk garis seperti di Leang Lompoa. Letaknya kebanyakan di titik-titik yang sulit dijangkau.

Stensil tangan di Leang Burung 1 adalah salah satu contoh yang paling ekstrem. Terdapat dua stensil di titik berbeda yang tercetak di langit-langit setinggi setidaknya 10 meter dari lantai goa.

TOTO SIHONO

Animasi ilustrasi pembuatan lukisan prasejarah di leang-leang di Maros, Sulawesi Selatan. Lukisan prasejarah sebagian dibuat dengan teknik stensil, yaitu menyemprotkan cat yang dibuat dari tumbukan hematit atau batuan mineral yang mengandung pigmen merah, pada tangan yang ditempelkan ke permukaan dinding sehingga menyisakan cetakan negatifnya.

Lantas, apa makna lukisan-lukisan itu?

Budianto menduga, stensil tangan itu merupakan semacam ”pagar magis” untuk menolak bala bagi para penghuni goa. Ia berpandangan, hal itu bisa jadi merupakan bentuk awal manusia mengenal ”Tuhan” atau sesuatu yang maha dahsyat tempat mereka menggantungkan harapan.

Dugaan itu diperkuat dengan ditemukannya sejumlah goa berlukis yang tidak dihuni manusia. Goa-goa seperti itu umumnya terletak di ketinggian bukit yang sulit dijangkau serta jauh dari sumber makanan dan sungai. Selain itu, tidak ditemukan sampah dapur, misalnya tulang hewan atau kerang-kerangan, seperti yang ditemukan di goa-goa lain yang dihuni.

Artinya, goa-goa itu memiliki fungsi khusus, salah satunya diduga untuk praktik ritual yang berkaitan dengan lukisan tersebut. ”Jadi manusia pada masa itu sudah mengenal ritual-ritual tertentu sebagai pengikat komunitas mereka,” kata Budianto.

Peneliti bahasa rupa dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Pindi Setiawan, berpendapat lukisan-lukisan prasejarah itu menunjukkan keterampilan yang maju dari manusia awal penghuni Nusantara. Selain di Maros, Pindi juga pernah meneliti lukisan goa-goa karst di Kalimantan Timur.

Dari penilaiannya, manusia pembuat lukisan itu bukan hanya terampil membuat gambar yang bagus, melainkan juga mempertimbangkan aspek-aspek lain. Hal itu seperti tata letak, pencahayaan, dan sudut pandang yang membentuk satu kesatuan utuh dalam melihat lukisan tersebut.

Dosen komunikasi visual dan multimedia Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB itu juga berpandangan lukisan-lukisan tersebut bukanlah gambar bisu, tetapi ada proses yang melibatkan pengalaman semua indera manusia saat difungsikan oleh pembuatnya.

”Ada lukisan goa yang gambarnya penting, tetapi ada juga yang proses menggambarnya juga penting, misalnya dibuat dengan doa-doa,” kata Pindi. Contoh gambar yang penting biasanya dibuat dalam jumlah banyak dan penempatannya di titik-titik yang tinggi.

Kenapa lukisan itu penting? Pindi menduga hal itu terkait sistem religi manusia pembuatnya pada zaman tersebut. Dalam hal ini, stensil tangan itu berfungsi sebagai medium komunikasi dengan ”dunia lain” yang eksis bersama dunia nyata.

Adapun terkait lukisan hewan, Pindi berpendapat hal itu sebagai ekspresi kekaguman atas jenis hewan yang dihormati atau dianggap memiliki keistimewaan bagi manusia kala itu. ”Hal ini juga terkait dengan religi mereka,” ujarnya.

Budianto mengatakan, budaya lukisan cap tangan itu terus berlanjut hingga kedatangan masyarakat penutur Austronesia ke Sulawesi sekitar 4.000 tahun lalu. Penutur Austronesia adalah salah satu nenek moyang langsung bangsa Indonesia.

Lebih jauh, Budianto menjelaskan, dalam budaya masyarakat Bugis, lukisan tangan menjadi salah satu komponen tradisi Ma’bedda Bola, yang dalam arti harfiahnya ”membedaki rumah”. Tradisi itu merupakan ritual selamatan rumah baru agar menjadi berkah bagi penghuni sekaligus menjauhkan dari segala bala.

Ritual ini biasanya dipimpin sanro (semacam orang pintar dan dituakan) yang akan mengelilingi rumah dengan mantra atau doa tertentu. Kemudian, telapak tangan dicelupkan pada air rendaman beras atau air campuran tepung beras sebelum ditempelkan ke dinding atau tiang rumah panggung. Bekas telapak tangan akan dibiarkan selama mungkin hingga akhirnya pudar sendiri.

”Ini kemungkinan adalah bentuk pengetahuan yang berlanjut dari masa prasejarah sampai generasi sekarang,” ujar Budianto.

Namun, tradisi Ma’bedda Bola kini semakin jarang ditemui, seperti dikemukakan Lahab (54), warga Kelurahan Kalabbirang sekaligus juru pelihara Taman Prasejarah Leang-leang.

”Dulu saat orangtua saya masuk rumah baru, tradisi ini dilakukan. Saya juga masih melakukan saat menempati rumah baru. Saya tidak tahu persis apa maksudnya karena itu tradisi turun-temurun yang kami lakukan. Namun, intinya itu seperti penolak bala,” kata Lahab.

Repro dari jurnal Nature

Foto kiri menunjukkan lukisan berwarna hitam dari masa awal gaya Austronesian di Leang Bulu Bettue. Foto kanan memperlihatkan adanya stensil tangan yang ditunjukkan dengan tanda panah.

Repro dari jurnal Nature

Foto kiri adalah foto lukisan stensil tangan di Leang Jarie sedang foto kanan menunjukkan coralloid speleothem , atau yang biasa disebut cave popcorn karena bentuknya berupa benjolan kecil yang mirip camilan berondong jagung. Para ahli dapat mengetahui usia lukisan goa dari dinding yang permukaannya ditumbuhi coralloid.

Repro dari jurnal Nature

Foto kiri adalah foto lukisan prasejarah babirusa di Leang Timpuseng sedang foto kanan menunjukkan coralloid speleothem dari dinding di mana lukisan babirusa ini berada. Para ahli dapat mengetahui usia lukisan goa dari dinding yang permukaannya ditumbuhi coralloid.

Repro dari jurnal Nature

Foto kiri adalah foto lukisan prasejarah berwujud binatang di Leang Barugayya sedang foto kanan menunjukkan coralloid speleothem -nya. Para ahli dapat mengetahui usia lukisan goa dari dinding yang permukaannya ditumbuhi coralloid.

Repro dari jurnal Nature

Foto kiri adalah foto lukisan stensil tangan yang teramputasi di Leang Lompoa sedang foto kanan menunjukkan coralloid speleothem dari dinding di mana stensil itu berada. Para ahli dapat mengetahui usia lukisan goa dari dinding yang permukaannya ditumbuhi coralloid melalui metode penanggalan uranium-series 

Melacak sang seniman

Goa-goa karst di Maros-Pangkep merupakan pusat permukiman yang diyakini awalnya dihuni manusia Austromelanesoid, jauh sebelum kedatangan bangsa penutur Austronesia. Austromelanesoid adalah Homo sapiens awal yang diduga bermigrasi dari Afrika ke Nusantara, termasuk Pulau Sulawesi, sejak sekitar 60.000 tahun lalu.

Namun, hingga kini belum ditemukan bukti fisik berupa kerangka manusia dari zaman itu di goa-goa Maros ataupun di wilayah Sulawesi lainnya. Hal ini pun menjadi misteri besar yang coba dipecahkan para arkeolog.

Sebuah titik terang muncul pada tahun 2015. Saat itu, tim Balai Arkeologi Makassar yang diketuai Budianto Hakim menemukan tengkorak dan tiga gigi geraham manusia di goa prasejarah Bala Metti di Desa Pattuku, Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone.

Dari konteks lapisan budaya dan alat-alat yang ditemukan di lokasi, Budianto menduga kuat tengkorak itu adalah Austromelanesoid yang hidup 11.700-60.000 tahun lalu. Goa di Bone juga berkarakter mirip dengan goa-goa karst di Maros, termasuk banyak dihiasi lukisan prasejarah.

Meski begitu, kepastian hal itu masih harus menunggu penelitian usia yang hingga kini masih berlangsung. Jika terbukti, tengkorak itu merupakan temuan kerangka fisik pertama dari Homo sapiens awal yang menghuni Pulau Sulawesi (Kompas, 29/4/2015).

Pada saat bersamaan, upaya melacak manusia awal Sulawesi juga dilakukan di Maros. Temuan usia lukisan di Leang Timpuseng pada 2014 hanyalah satu bagian dari rangkaian penelitian dan ekskavasi yang dilakukan arkeolog Australia dan Indonesia sejak 2013.

KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Lukisan prasejarah di salah satu leang di Maros, Sulawesi Selatan.

Salah satu tujuan utama penelitian adalah untuk mencari manusia awal penghuni Sulawesi sekaligus ”seniman” pembuat lukisan-lukisan prasejarah tersebut. Oleh karena itu, penelitian terus dilanjutkan hingga 2017.

Penelitian difokuskan di Leang Bulu Bettue, masih di Kecamatan Bantimurung, Maros, sekitar 1 kilometer dari Leang Timpuseng. Sejumlah jejak dan bukti menuntun para arkeolog melakukan ekskavasi di goa itu.

Pada 2016 mereka menemukan perhiasan prasejarah yang usianya sekitar 30.000 tahun di goa tersebut. Perhiasan berupa anting-anting dan manik-manik yang terbuat dari tulang dan gigi mamalia darat endemik Sulawesi, seperti babirusa dan kuskus beruang. Ini diklaim sebagai temuan perhiasan tertua di Indonesia.

Temuan itu melecutkan semangat baru bagi para arkeolog. Mereka pun semakin yakin langkah untuk menemukan sosok manusia awal Sulawesi kian dekat.

”Kami beruntung karena dalam banyak penelitian masih ada sekitar 90 persen deposit tua yang terperangkap di goa. Karena itulah, pencarian pada 2017 dilakukan dengan menggali lebih dalam dan diperluas ke dinding goa,” kata Budianto.

Pemilihan lokasi itu dengan pertimbangan selama ini temuan fosil manusia ditemukan di tepi dinding goa. ”Pada masa lampau ada perlakuan khusus terhadap orang meninggal dengan menempatkannya pada dinding yang lebih tinggi dan aman,” ujar Budianto.

Ekskavasi pada September 2017 itu kini dihentikan sementara. Sejumlah temuan dibawa ke Australia dan beberapa negara lain untuk diteliti lebih lanjut. Hasilnya akan menentukan apakah ekskavasi akan dilanjutkan atau bisa jadi misteri besar itu akhirnya terjawab.

Kompas/Reny Sri Ayu

Para peneliti dan arkeolog yang dibantu mahasiswa mengumpulkan tanah dan batu dari Leang Bulu Buttue di kawasan karst Maros untuk mencari manusia purba yang terkait dengan lukisan tertua di dunia berusia 40.000 tahun yang ditemukan tak jauh dari goa ini, 19 September 2017. Ekskavasi yang dilakukan di kawasan ini melibatkan peneliti dan arkeolog dari Australia dan Indonesia.

KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG

Peninggalan alat batu manusia prasejarah yang ditemukan di goa-goa kawasan karst Maros-Pangkep saat ini disimpan di Balai Arkeologi Makassar, Sulawesi Selatan, seperti terlihat pada Jumat (16/3/2018).

Kerabat Kerja

Penulis: Reny Sri Ayu, Mohamad Final Daeng | Fotografer: Mohamad Final Daeng, Aloysius Budi Kurniawan, Reny Sri Ayu, Eddy Hasby, Hendra A Setyawan | videografer: Mohamad Final Daeng | penyunting video: Antonius Sunardi | animator: Toto Sihono | paralaks: Toto Sihono | infografik: Dimas Tri Adiyanto, Dicky Indratno | penyelaras bahasa: Hibar Himawan | designer & pengembang: Yulius Gian, Elga Yuda Pranata | produser: Prasetyo Eko Prihananto, Haryo Damardono

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.