Perjuangan mengatasi pandemi Covid-19 selama setahun terakhir di Tanah Air menjadi berlipat kesulitannya akibat derasnya berita palsu atau hoaks dan disinformasi. Berita palsu terkait Covid-19 begitu menggurita di media sosial dan tidak sedikit warga yang percaya. Padahal, dampak dari hoaks ini dapat membahayakan keselamatan mereka.
Di era digital, tsunami informasi begitu cepat membanjiri dunia maya. Lini masa media sosial turut berdenyut tanpa henti. Informasi berkelindan sesuka hati. Tanpa disadari, jari tangan turut membagikan tanpa coba menahan diri.
Padahal, ruang informasi dunia maya turut disesaki hoaks dan disinformasi mengenai Covid-19. Ada begitu banyak versi soal definisi, risiko, dan interpretasi tentang wabah yang baru diketahui setahun terakhir ini. Dalam konteks penanganan pandemi, informasi palsu sama berbahayanya dengan virus SARS-CoV-2 itu sendiri.
Tak pelak, lonjakan kasus positif Covid-19 juga berdampingan dengan ledakan hoaks atau berita dengan konten yang salah, informasi palsu, serta menyesatkan, yang menyebar di beragam platform media sosial hingga media daring.
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat, sepanjang tahun 2020 terdapat 2.298 konten yang mengandung hoaks, yang didominasi hoaks terkait Covid-19, yaitu sebanyak 788 konten. Hoaks ini ditemukan di platform media sosial Twitter, Facebook, Instagram, dan Youtube. Diduga masih banyak hoaks lain, tetapi beredar di media percakapan Whatsapp yang sulit terdeteksi karena bersifat tertutup.
Jumlah hoaks dan informasi menyesatkan pada tahun 2020 hampir dua kali lipat dibandingkan pada 2019, yang tercatat 1.221 hoaks dengan didominasi isu politik sebanyak 625 konten. Adapun pada 2018 jumlah hoaks yang beredar 997 konten.
Pada 2020, salah satu contoh hoaks yang paling banyak dibagi menurut data Mafindo, antara lain, hoaks yang menyebutkan vaksin Covid-19 itu telah bermutasi menjadi ribuan Covid-19 baru di seluruh dunia. Hoaks itu salah satunya dibagikan di salah satu akun Facebook. Konten yang menyesatkan itu dibagi pada 20 Desember 2020 dan telah dibagikan sebanyak 24 kali.
Hoaks lainnya menyebutkan, jika sudah disuntik vaksin Covid-19, tidak perlu mematuhi protokol kesehatan. Memasuki tahun 2021, hoaks masih terus bermunculan. Dari Januari hingga 15 Februari 2021, Mafindo menemukan 121 hoaks terkait Covid-19 yang didominasi isu seputar vaksin Covid-19.
Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho menilai, pemasalahan hoaks tidak dapat dilihat dari sekadar jumlahnya saja, tetapi terutama pada dampaknya. Apalagi dampak hoaks Covid-19 dan vaksin ini jauh lebih masif dibandingkan hoaks saat Pemilu 2019.
Salah satu dampaknya terlihat dari kasus pengambilan paksa jenazah pasien atau terduga Covid-19 dari rumah sakit. Pada Juni 2020, kasus terjadi di Sulawesi Selatan, bahkan pada Januari 2021 kejadian serupa terulang di Jawa Timur. Padahal, tindakan tersebut sudah dikategorikan sebagai pidana. Polisi pun telah menetapkan sejumlah orang sebagai tersangka.
Di Jawa Tengah, pada Mei 2020, warga juga berani meneror petugas pelacak yang tengah menelusuri kasus positif Covid-19 di sebuah desa. Warga mengancam akan membalas dendam karena menganggap pelacakan kasus korona sebagai kezaliman.
Sejumlah tindakan tersebut terjadi seiring dengan masih beredarnya informasi dan beragam teori yang meragukan Covid-19. Rumah sakit dan tenaga kesehatan dinilai sengaja mengategorikan semua penyakit menjadi korona demi kepentingan bisnis.
”Ada juga beberapa isu yang jumlahnya sedikit, tetapi dampaknya sangat luas dan besar. Seperti isu masalah kehalalan (vaksin). Jadi ketika ada hoaks dengan isu yang menyebutkan isu bahwa vaksin ini tidak halal, itu biasanya juga viralitasnya sangat tinggi,” ujar Septiaji di Jakarta, pertengahan Februari lalu.
Hoaks dapat membuat masyarakat terbelah ke dalam begitu banyak kelompok yang tidak percaya pada informasi resmi dari otoritas dan meragukan langkah-langkah tenaga kesehatan. Mereka pun mengartikulasikannya dalam berbagai bentuk yang berbeda sesuai rujukan informasinya.
”Ketika masyarakat banyak mengandalkan informasi secara digital, keputusan-keputusan yang diambil masyarakat itu sangat berkorelasi dengan informasi yang ia baca dari media sosial ataupun aplikasi percakapan,” kata Septiaji.
Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia Zubairi Djoerban menjelaskan, merebaknya hoaks ini membuat sebagian orang tidak percaya kepada pandemi, pengobatan, dan vaksin. Dengan kata lain, dampak hoaks di kala pandemi tidak kalah berbahayanya dibandingkan dengan penyakit itu sendiri.
”Dampaknya, ini tidak hanya membahayakan kepada orang itu sendiri, tetapi juga kepada orang lain. Hoaks ini mengendurkan pencegahan dan protokol kesehatan sehingga dampak penularannya bisa meningkat,” ujar Zubairi.
Hoaks dan disinformasi di masa pandemi ini terbukti membuat warga terpengaruh, seperti yang terjadi kepada Ja (26), warga Kota Tangerang, Banten. Pada akhir Desember 2020 dan pertengahan Januari 2021, ketika vaksin Sinovac mulai dikirim ke Indonesia, ia aktif mencari informasi terkait vaksin melalui mesin pencari daring.
Di halaman pertama mesin pencari, kata Ja, pemberitaan yang muncul didominasi oleh efek samping dan ancaman bahaya terhadap penerima vaksin. Berita dari beberapa tautan ia baca sampai habis. Sekalipun belum tentu berasal dari sumber resmi, dan tidak dibandingkan dengan sumber yang lain, Ja mengaku memercayainya.
Di kantor, dia juga kerap mendengar informasi ketidakamanan vaksin. Dalam diskusi dengan rekan-rekannya, mereka saling mewanti-wanti agar tidak sampai terjebak bahaya vaksin Covid-19.
Oleh karena itu, walaupun pemerintah mewajibkan warga mengikuti vaksinasi untuk mencapai kekebalan komunitas, Ja enggan berpartisipasi. ”Tunggu orang-orang dulu deh. Saya mau lihat dulu, apakah sudah terbukti efektif pada orang yang sudah divaksin,” katanya.
Ketakutan serupa dialami DS (28), warga Kota Depok, Jawa Barat. Menurut dia, sosialisasi dan edukasi tentang program vaksinasi masih minim. Bahkan, masyarakat tidak bisa mengetahui alasan pemilihan merek vaksin yang dibeli pemerintah.
Kekosongan penjelasan ini, kata DS, menjadi celah masuknya narasi antivaksin. Tidak bisa dimungkiri, dirinya pun menjadi lebih percaya kepada berita-berita yang masih simpang siur.
Makanya, ia sangat hati-hati dalam memutuskan keikutsertaan vaksinasi Covid-19, termasuk ketika istrinya yang bekerja sebagai tenaga kesehatan di rumah sakit di Depok sudah masuk gelombang pendaftaran vaksinasi. ”Istri saya akhirnya masuk dalam gelombang terakhir yang mendaftar karena saya (minta) undur-undur terus,” katanya.
Nu (32), warga Kota Tangerang, Banten, juga takut vaksin Covid-19 bisa membahayakan tubuhnya dan keluarga. Ibu empat anak itu cenderung menghindari vaksin untuk anak-anaknya sejak delapan tahun lalu. Namun, tayangan di Youtube yang menampilkan perbincangan selebritas dengan dokter sekaligus influencer tentang keraguan terhadap vaksin Covid-19 sangat memengaruhi dirinya.
Bahkan, Nu yang bekerja sebagai guru sekolah dasar (SD) rela mengundurkan diri jika sekolah mengadakan program vaksinasi.
Selain itu, Nu juga terpengaruh berbagai kabar yang muncul di lini masa status aplikasi pesan daring Whatsapp. Beberapa teman kerap membagi tautan berita tentang efek samping vaksin Covid-19 terhadap penerimanya. Walau jarang membaca berita pada tautan-tautan itu sampai tuntas, ia percaya pada kebenaran isinya. ”Yang paling saya percaya itu kabar bahwa vaksin Covid-19 bisa membuat orang lumpuh,” ucap Nu.
Nu mengakui, ia masih sering membaca informasi seputar manfaat dan keamanan vaksin. Akan tetapi, hal itu sudah tidak lagi berpengaruh baginya. Bahkan, Nu yang bekerja sebagai guru sekolah dasar (SD) rela mengundurkan diri jika sekolah mengadakan program vaksinasi. ”Siapa yang mau tanggung jawab kalau saya mendapatkan efek negatif dari vaksin?” ujarnya.
Penolakan vaksin yang diiringi paparan pemberitaan sejalan dengan hasil survei Litbang Kompas pada Februari 2021. Dari 2.000 responden, ada 24 persen yang menolak divaksin. Alasan terbesar mereka adalah ketakutan akan efek samping serta belum terujinya kualitas dan efektivitas vaksin.
Adapun sumber informasi para penolak vaksin berasal dari televisi (52,7 persen), media sosial (26,3 persen), komunitas seperti grup Whatsapp atau klub hobi (14,5 persen), dan internet (11,8 persen). Selain itu, 10,6 persen merujuk dari berita daring; 10,1 persen dari media cetak; dan 2,2 persen dari radio.
Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Iim Halimatussa’diah, memandang, peredaran hoaks merupakan tantangan terbesar di era informasi. Masyarakat kini tidak kekurangan informasi, tetapi justru mendapatkan begitu banyak dan cenderung memilih hanya yang sesuai dengan keyakinannya. ”Hoaks jadi mudah dipercaya karena mengonfirmasi bias yang mereka punya dan tidak di-crosscheck dengan informasi lainnya,” kata Iim.
Dalam konteks narasi antivaksin, kata Iim, hoaks seperti ”bumbu penyedap” yang memperkuat keraguan karena faktor agama dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah perlu menunjukkan transparansi dalam program vaksinasi dan berkolaborasi dengan banyak pihak untuk menggencarkan kampanye tentang manfaat vaksin Covid-19.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), terdapat 1.392 isu hoaks dari 23 Januari 2020 sampai 29 Januari 2021 yang terdeteksi pada 2.195 sebaran. ”Jadi satu isu bisa menyebar di beberapa kanal,” kata Staf Khusus Menkominfo Bidang Digital dan Sumber Daya Manusia Dedy Permadi.
Dedy mengatakan, dari 2.195 sebaran itu, sebanyak 1.914 sebaran sudah dicabut (take-down) sehingga konten-konten tersebut tak bisa diakses lagi. Pencabutan tersebut bervariasi, dari pencabutan konten saja hingga pemblokiran akun.
Menurut Dedy, Kemenkominfo telah menjalin kerja sama dengan kepolisian serta sejumlah pengelola platform digital, seperti Facebook, Instagram, Twitter, Telegram, dan Youtube. Mereka melakukan penelusuran tanpa jeda selama 24 jam sehari guna mencegah hoaks-hoaks tersebut menyebar lebih luas.
Berdasarkan penindakan hukum terhadap penyebaran hoaks, kepolisian sudah menangkap para tersangka yang terlibat dalam 352 kasus hoaks terkait Covid-19 sepanjang tahun 2020.
Direktur Kebijakan Publik Twitter Indonesia dan Malaysia Agung Yudha mengatakan, disinformasi terkait dengan pandemi Covid-19 dan vaksin dinilai bisa membahayakan publik. Untuk itu, Twitter menerapkan kebijakan terhadap cuitan yang membahayakan secara lebih menyeluruh sehingga publik bisa melapor.
Beberapa penindakan terhadap unggahan yang dianggap melanggar yang diberlakukan Twitter dimulai dari peringatan, kemudian pelabelan, yakni memberi tanda untuk unggahan yang belum bisa dipastikan kebenarannya, hingga pencabutan unggahan atau akun. Pencabutan unggahan ini dilakukan setelah ada kajian.
Selain pemerintah, sejumlah kalangan juga geram dengan masifnya hoaks yang berseliweran. Berangkat dari berbagai keresahan tentang hoaks itu, ada yang bergerak menjadi sukarelawan untuk melawannya dengan cara terus-menerus memberikan edukasi informasi kesehatan yang benar kepada masyarakat. Mereka terdiri dari berbagai profesi, mulai dari dokter, pegiat teknologi informasi, jurnalis, sampai ibu rumah tangga.
Salah satunya adalah Adam Prabata (29), kandidat Phd di Kobe University, juga tak lelah menyuarakan informasi yang benar di tengah kesibukannya menyelesaikan kuliah di ”Negeri Sakura”. Dokter yang pernah bertugas di RS Permata Depok itu aktif membuat konten edukasi kesehatan soal Covid-19 di akun Instagram pribadinya @adamprabata.
Kontennya didominasi diagram dan gambar serta bahasa yang mudah dipahami. Ia mulai hal itu pada 4 Maret 2020, atau dua hari setelah ada kasus positif perdana di Indonesia. Saat ini, di akunnya sudah ada 224 konten dengan pengikut mencapai 138.000 akun.
Adam menceritakan, ia merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu ketika melihat rekan-rekannya dokter dan tenaga kesehatan berjibaku di garis terdepan di sejumlah rumah sakit dalam pandemi ini. ”Di Jepang, saya merasa tidak bisa ngapa-ngapain. Sementara teman-teman di Indonesia bisa langsung turun menangani pasien. Terus saya mencari apa yang bisa saya lakukan dan yang bisa dijangkau dari Jepang ini, ya, dari media sosial,” kata Adam.
Ketika kontennya tak senada dengan pernyataan resmi pemerintah, dia dianggap sebagai oposisi dan diserang warganet pembela pemerintah. Sebaliknya, saat sepakat dengan kebijakan pemerintah, ia akan diserang kubu yang berseberangan dengan pemerintah. ”Kalau masalah dituduh-tuduh, saya sudah kenyang. Dari dibilang anggota elite global, suruhan WHO, itu sudah banyak banget. Antek vaksin dan antek Bill Gates. Wah, udah enggak kehitung,” ucap Adam.
Namun, ia tak patah arang. Berpegang pada informasi dari sumber-sumber resmi dan kredibel, antara lain Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), dan berbagai jurnal ilmiah tentang kesehatan, Adam tak berhenti membagikan informasi.
Menurut Adam, pemerintah sudah cukup responsif menyediakan informasi resmi soal edukasi kesehatan dan penangkalan hoaks di berbagai situs resmi lembaga negara. Namun, hal itu belum memadai di tengah banjir informasi ini.
Sukarelawan lain yang konsisten mengedukasi publik adalah KawalCovid.19. Berdiri lebih dahulu sebelum Satgas Covid resmi pemerintah, kelompok ini sudah menyuarakan soal potensi bahaya pandemi dan melawan informasi palsu yang beredar di masyarakat.
Koordinator Sukarelawan KawalCovid19.id Elina Ciptadi (44) mengatakan, dari sekitar 20 sukarelawan, jumlah sukarelawan KawalCovid terus berkembang menjadi 700 orang dalam satu bulan. Mereka terdiri dari beragam profesi, seperti ahli epidemiologi, jurnalis, penulis, dan para dokter yang meluangkan waktu dan tenaga di tengah kesibukan harian mereka di perantauan.
Mereka bekerja di antara kesibukan mereka bekerja. Seperti Elina yang meluangkan waktu di tengah kesibukannya mengurus keluarga dan pekerjaannya di bidang teknologi informasi di Singapura.
Untuk menjalankan KawalCovid19.id, ada satu tim khusus yang setiap hari memelototi data Covid-19 dari pemerintah pusat hingga ke pemerintah di tingkat daerah. Pekerjaan yang tidak mudah karena begitu banyak data yang harus diolah.
Perjuangan melawan hoaks di kala pandemi tidak hanya milik mereka yang telah mengantongi ilmu kesehatan dan berjaringan luas. Di Semarang, ada Margaretha Diana (40), ibu rumah tangga yang menjadi sukarelawan Mafindo untuk mengeduasi emak-emak di lingkungan sekitarnya dari hoaks.
Paling gemas bila di grup Whatsapp tempat dirinya tergabung ada saja ibu-ibu atau bapak-bapak yang menyebarkan hoaks. Sukarelawan Mafindo Semarang ini pasti akan langsung menegurnya. Adapun respons yang diterimanya tidak selalu ramah.
”Ada yang marah, tersinggung, ada yang ngatain saya kok keminter? (sok pintar). Ada yang merasa sudah senior karena usianya lebih tua jadi merasa lebih tahu dan yakin tidak bisa salah. Ya, tapi, kalau mereka menyebarkan hoaks, masa tidak kita tegur? Kan, agar itu tidak dia sebarkan lagi,” ujar Eta panggilan akrabnya.
Maksud baik Eta itu kadang kala membuatnya diacuhkan oleh pergaulan ibu-ibu. Mereka membuat grup Whatsapp yang tidak ada dirinya. Tetangganya yang tersinggung itu pun juga meminta anak-anaknya menjauhi anak-anak Eta. Meskipun demikian, Eta tidak pernah patah arang untuk terus menyuarakan informasi yang benar.