Angkatan Udara adalah matra militer termuda dalam sejarah peradaban manusia. Sejarah telah membuktikan, supremasi udara adalah kunci kemenangan di masa perang dan kekuatan penting di masa damai bagi suatu bangsa.
Jerman dikenal karena kekuatan Luftwaffe-nya memorakporandakan Inggris dan menguasai Eropa Barat dalam Perang Musim Semi 1940. Sebaliknya, Inggris pun bertahan karena ketabahan dan keberanian para penerbang Royal Air Force (RAF), angkatan udara tertua di dunia.
Militer Jepang pun menguasai Asia-Pasifik dengan dominasi payung udara Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang sejak 1937 di China lalu di Pasifik dan Asia Tenggara sejak Desember 1941, hingga sasaran utama invasi Jepang, yaitu Hindia Belanda dan Pulau Jawa, dikuasai pada 9 Maret 1942.
Amerika Serikat pun menyerang balik di Pasifik dengan kekuatan udara US Navy dan US Army Air Corps. Sejak 1942 kekuatan udara AS mengambil inisiatif perang dan mendesak Jepang hingga akhirnya menyerah setelah serangan bom atom yang diangkut lewat udara. Kekuatan udara adalah kunci!
Indonesia lahir pada 17 Agustus 1945. Angkatan bersenjata yang kemudian meliputi kekuatan udara pun menyusul dan segera mengawal kemerdekaan. Semula Badan Keamanan Rakyat (BKR) lalu Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Djawatan Penerbangan yang menjadi TRI Angkatan Oedara (TRI-AO) terbentuk pada 9 April 1946.
Dalam kurun waktu tersebut, para perintis TNI Angkatan Udara mengumpulkan berbagai jenis pesawat dan pangkalan udara yang ada untuk membentuk kekuatan Angkatan Udara. Berbagai pesawat peninggalan militer Jepang dan rampasan Jepang dari pihak Sekutu dalam perang 1942 menjadi cikal bakal armada TNI AU.
Pesawat bomber buatan Inggris, Bristol Blenheim, pesawat latih dasar bersayap ganda (biplane) Chuka Renssuki alias Cureng; Nakajima Ki 43 Hayabusha yang dijuluki Oscar; Nakajima Ki 27 Nishikoren (Nate); Mitsubishi Ki 51 Guntei (Sonia); Mitsubishi Ki 46 III Kai (Dinah); dan pesawat latih lanjut Tachikawa Ki 55 ”Ida” (Cukiu) menjadi tulang punggung kekuatan udara bayi republik ketika itu.
Para penerbang yang di masa kolonial Hindia Belanda sempat tergabung dalam Militaire Luchvaart Dienst (MLD), semisal R Suryadarma yang merupakan navigator bomber Glen Martin di zaman Hindia Belanda, hingga pemuda yang menjalani pendidikan penerbang di Australia bersama pihak Sekutu dan lain-lain, menguasai berbagai pangkalan dan mengambil alih aset pesawat udara, fasilitas perawatan, dan jaringan komunikasi yang strategis.
Dalam buku Sejarah TNI Jilid I terbitan tahun 2000 disebutkan, pada 12 Desember 1945, Markas Tertinggi TKR mengumumkan pembentukan bagian penerbangan sebagai bagian dari Markas Besar Umum di Yogyakarta.
Semasa itu semua bagian penerbangan di seluruh Indonesia, termasuk prajurit dan pegawai pangkalan, berada di bawah komando Kepala TKR Bagian Penerbangan yang berkedudukan di Markas Besar Umum. R Suryadarma dan Sukarmen Martodisumo masing-masing diangkat sebagai Kepala dan Wakil Kepala TKR Jawatan Penerbangan.
Tidak hanya penerbang, para teknisi, seperti Nurtanio dan Hanandjudin, juga giat melakukan perbaikan pesawat-pesawat peninggalan Jepang. Adapun Agustinus Adisutjipto menjadi putra pertama Indonesia yang menerbangkan pesawat militer dengan lambang Merah Putih.
Pihak Republik Indonesia yang memusatkan kekuatan di wilayah pedalaman di Yogyakarta mengamankan pangkalan-pangkalan udara yang belum dikuasai Belanda, seperti Cibeureum di Tasikmalaya, Maguwo di Yogyakarta, dan Maospati di Madiun. Pesawat terbang yang berhasil diperbaiki dan diterbangkan antara lain Nishikoren, Hayabusha, dan Cureng.
Kolonel (Sus) Dede Nasrudin, Kepala Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala di Yogyakarta, menceritakan sepak terjang para personel TNI AU pada masa awal Revolusi Fisik 1945-1949. Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer I pada 23 Juli 1947 dan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948, para personel Angkatan Udara RI tidak tinggal diam.
”Sepekan setelah Agresi I Belanda, para kadet penerbang menyerang Salatiga, Ambarawa, dan Semarang pada 29 Juli 1947. Pada sore harinya, Belanda membalas dan menembak jatuh pesawat Dakota VT-CLA yang membawa bantuan Palang Merah Malaya yang mengakibatkan Agustinus Adisutjipto, Abdulrahman Saleh, dan Adi Sumarmo berikut pilot Constantine, kopilot Hazelhurst, Beryl Constantine istri pilot, dan teknisi Bidha Ram, serta seorang penumpang Zainal Arifin tewas. Hanya seorang penumpang, yakni Abdul Gani, yang selamat,” kata Dede, pertengahan Juli 2018.
Peristiwa 29 Juli 1947 itu kemudian diperingati sebagai Hari Bhakti TNI AU setiap tahun. Peringatan tahun ini dipusatkan di Museum Dirgantara Mandala.
Banyak pesawat AU Republik Indonesia (AURI) yang dihancurkan dalam serangan mendadak Belanda pada Agresi I dan Agresi II. Meski demikian, para personel AURI tidak tinggal diam.
Mereka terus membangun jaringan komunikasi untuk perjuangan, semisal dengan stasiun-stasiun pemancar yang mengudarakan keberadaan Pemerintah Indonesia di luar negeri dengan stasiun relay dari Jawa-Sumatera hingga membentang ke Malaya-Thailand-Burma dan India.
Para kadet penerbang TNI AU juga diberangkatkan ke India untuk menempuh pendidikan penerbang. Pesawat Dakota RI 001 Seulawah, yang dibeli oleh rakyat Aceh untuk mendukung perjuangan RI, bersama pesawat selanjutnya yang dibeli setelah itu, ikut dioperasikan di Burma sebagai Indonesian Airways selepas Belanda melancarkan Agresi II.
Indonesia Airways sangat berjasa pada masa awal kemerdekaan Burma sebagai sarana transportasi pasukan pemerintah ke sejumlah wilayah Burma yang dilanda pemberontakan.
Semasa itu turut dibeli pula berbagai jenis pesawat, seperti Avro Anson dari Malaya. Salah satu pesawat Avro Anson dipiloti Abdul Halim Perdanakusuma.
Dede Nasrudin menambahkan, semasa Belanda menguasai Yogyakarta, Panglima Besar Jenderal Soedirman bergerilya, terutama di sekitar Gunung Wilis, Jawa Timur, tempat pemancar Radio Republik Indonesia berada. Demikian pula siaran Radio Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat tetap mengudara.
Para personel Angkatan Udara berpartisipasi dalam membangun jaringan perhubungan. Demikian pula mereka aktif mengoperasikan berbagai perangkat komunikasi yang diselundupkan kapal The Outlaw milik TNI Angkatan Laut yang dikomandani John Lie.
Selepas pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda pada 27 Desember 1949, pihak Belanda menghibahkan berbagai pesawat tempur, pengebom, dan pesawat angkut ke pihak Indonesia.
Bebagai pesawat, seperti pengebom menengah North American B-25 Mitchell; pesawat pemburu North American P-51 Mustang yang juga dikenal sebagai ”Si Cocor Merah”; pesawat latih North American T-6 Harvard dan L-4J Piper Cub; pesawat angkut C-47 Dakota dan pesawat intai Auster menjadi darah segar bagi TNI AU di dekade 1950-an.
Pada 1950-an juga dikirimkan 60 siswa penerbang TNI AU ke TALOA (Transocean Air Lines Oakland Airport) dan menjadi nama sekolah penerbangan Taloa Academy of Aeronautics di kota kecil Minterfield, Bakersfield, California, AS. Mereka menjadi kadet penerbang yang mengikuti pendidikan selama setahun.
Para lulusan Taloa ini ada yang kelak menjadi pucuk pimpinan di TNI AU, antara lain Marsekal TNI Omar Dhani yang menjabat Menteri Panglima AU pada 1963, kemudian Marsekal TNI Sri Mulyono Herlambang Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) 1965 dan Marsekal TNI Saleh Basarah, yang menjabat KSAU pada 1973.
Pesawat biplane Stearman yang menjadi pesawat latih para kadet TNI AU di TALOA kini juga dipajang di Museum Dirgantara Mandala. Dede Nasrudin mengatakan, pesawat tersebut didapatkan pihak museum dari AS setelah ditukar dengan bangkai pesawat Northrop P-61 Black Widow milik AS yang ditemukan di rimba belantara Papua.
Para penerbang TNI Angkatan Udara juga aktif dalam operasi penumpasan separatis dan pemberontak seperti ketika menghadapi Angkatan Udara Revolusioner (Aurev) PRRI-Permesta di Lapangan Udara Mapanget dekat Manado pada 1958.
Aurev ketika itu mendapat dukungan gelap badan intelijen Amerika Serikat (CIA) dan Taiwan dengan pesawat tempur P-51 Mustang dan bomber B-26 Invader serta personel Amerika, Filipina, dan Taiwan dari Pangkalan Clark dan Subic di Filipina.
Sejarawan Sulawesi Utara, Fendi Parengkuan, yang banyak mengadakan kajian tentang Permesta mengatakan, dirinya sempat bertemu para penerbang-penerbang Taiwan eks The Flying Tigers yang diinternir TNI di sekolah dekat Centrum Manado setelah PRRI-Permesta dikalahkan Pemerintah Republik Indonesia.
Salah satu peristiwa yang terkenal adalah ketika pesawat tempur P-51 Mustang yang diawaki Kapten (Pnb) Ignatius Dewanto menembak jatuh bomber B-26 Invader Permesta di dekat Ambon yang diterbangkan pilot CIA, Allan Lawrence Pope, dan juru radio Harry Rantung.
Aurev sebelumnya sempat menenggelamkan kapal TNI AL jenis korvet RI Hang Tuah di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Lanud Mandai (kini Lanud Hasanuddin di Gowa, Sulawesi Selatan) dan wilayah Ambon juga dibom oleh pesawat Aurev.
Allan Pope divonis mati pada 1959 di Jakarta lalu ditahan di Kaliurang, Yogyakarta, kemudian mendapat pengampunan Bung Karno pada 1962 berkat lobi Presiden John F Kennedy (JFK). Sebelumnya pada masa Presiden Dwight David Eisenhower hubungan Indonesia dan Amerika Serikat kurang mesra.
Hubungan baik Soekarno-JFK turut memengaruhi pertambahan kekuatan armada TNI AU pada 1960-an.
Pada 1960-an TNI AU mencapai masa puncak kekuatan dan disebut-sebut sebagai kekuatan udara terkuat di belahan bumi selatan. Karena kedekatan Indonesia dengan Uni Soviet semasa itu, TNI AU memiliki beragam pesawat tempur canggih pada zamannya, seperti MiG-15, MiG-17, MiG-19, dan terutama MiG-21.
MiG-21 waktu itu jauh lebih superior dari jet tempur Hawker Hunter yang dioperasikan Belanda di Pulau Biak dalam perebutan Irian, dan Australia dalam Konfrontasi Ganyang Malaysia yang berpangkalan di Butterworth, Penang.
Pada Pada era yang sama, Indonesia juga mendapat pesawat intai dan antikapal selam Fairey Gannet buatan Inggris untuk TNI Angkatna Laut. Hal ini sempat memicu perselisihan Inggris-Belanda sesama anggota Pakta Pertahanan NATO.
Berkat persahabatan Bung Karno-Kennedy, Amerika Serikat memberikan bantuan berupa pesawat angkut modern pada awal 1960-an, yakni C-130B Hercules. Indonesia menjadi salah satu negara pemakai awal pesawat yang kelak terbukti legendaris ini bersama Australia dan Kanada.
Pesawat Hercules pertama milik Indonesia dengan nomor ekor 1301 kini juga diabadikan di Museum Dirgantara Mandala.
Mantan Kepala Staf TNI AU (KSAU) Marsekal (Pur) Chappy Hakim mengisahkan para seniornya di Dinas Angkutan Udara Militer (DAUM) mendapat pelatihan dari instruktur asing. Sebagian dari instruktur tersebut berasal dari Amerika Serikat dan merupakan mantan penerbang The Flying Tigers. Satuan udara kesohor Amerika Serikat dalam Perang Dunia II di mandala China - Burma - India (CBI).
Adapun Panglima TNI Marsekal (TNI) Hadi Tjahjanto ketika menjabat KSAU pada medio 2017 menambah koleksi baru Museum Dirgantara Mandala, yakni jet tempur Hawker Hunter eks Belanda yang ditemukan di Biak.
Pesawat itu sengaja diposisikan berhadap-hadapan dengan MiG-21 TNI AU dengan nomor registrasi 2160. Kedua pesawat sedianya disiapkan untuk berhadapan satu sama lain dalam mandala perebutan Irian Barat yang batal.
”Mereka tidak sempat bertempur di udara Irian ketika itu. Sekarang bertemu di Museum Dirgantara Mandala di Yogyakarta. Semoga ini menjadi pelajaran sejarah pentingnya membangun kekuatan udara,” kata Hadi Tjahjanto.
Masa 1960-an itu TNI AU juga memiliki pesawat pengebom jarak jauh strategis (strategic long range bomber) buatan Uni Soviet, Tupolev Tu-16, yang dilengkapi peluru kendali AS-1 Kennel atau Raduga KS-1 Komet. Rudal yang dikembangkan dari pesawat tempur MiG-15 (bentuk dan ukurannya mirip) itu dijuluki rudal penghancur kapal induk.
Ketika itu memang Koninklijk Marine (AL Kerajaan) Belanda menempatkan kapal induk Karel Doorman di Irian untuk menghadapi kekuatan Indonesia. Pesawat tempur Fairey Firefly dan Hawker Hunter menjadi kekuatan udara Belanda.
Operasi penerjunan pertama Pasukan Gerak Tjepat (PGT) TNI AU yang kini dikenal sebagai Paskhas TNI AU juga digelar di Sorong, Kaimana, dan Merauke, Irian, pada Agustus 1962 dengan sandi Operasi Jatayu.
Sebanyak enam pesawat angkut C-130 Hercules dikawal oleh tiga pengebom strategis Tu-l6 Badger, satu Il-28 Beagle, dua B-25/26, empat P-51 Mustang, dan dua UF-1 Albatross yang berperan sebagai pesawat SAR. Operasi akan dilakukan secara serentak dengan sasaran di daerah Klamono-Sorong, Kaimana, dan Merauke.
Serbuan tersebut dibagi dalam Operasi Alap-alap mengerahkan dua Hercules dengan flight leader Mayor Udara Nayoan dan wingman Kapten Udara Santoso Suharto. Pesawat berangkat dari Amahai dengan membawa 132 anggota PGT yang akan diterjunkan di daerah Merauke.
Selanjutnya, Operasi Elang melibatkan dua C-130B Hercules yang diterbangkan Letkol Udara Slamet dengan wingman Kapten Udara Sukardi dan kopilot LU I Siboen. Pesawat akan berangkat dari Laha untuk menerjunkan 132 anggota PGT di daerah Klamono-Sorong.
Sebagai penutup, Operasi Gagak dengan sasaran Kaimana dan Merauke juga menggunakan dua Hercules yang dipimpin Mayor Udara Pribadi dan wingman Mayor Udara TZ Abidin. Pesawat berangkat dari Letfuan dengan membawa 141 anggota Batalion 454 Banteng Raiders Diponegoro.
Namun, kekuatan udara superior di belahan bumi selatan itu kemudian lenyap seiring dengan pembersihan organisasi militer di tiga matra oleh penguasa Orde Baru. Sejarawan Didi Kwartanada mengatakan, semasa awal 1970-an hingga akhir 1970-an bisa dikatakan kekuatan udara Indonesia nyaris lumpuh karena ketiadaan suku cadang akibat terganggunya hubungan dengan Uni Soviet dan Republik Rakyat China.
Di dalam negeri, konsolidasi kekuatan rezim Soeharto yang berbasiskan TNI Angkatan Darat berusaha ”meredam” kekuatan Angkatan Udara dan Angkatan Laut.
”Pesawat MiG-21 akhirnya di-grounded setelah terjadi beberapa kali kecelakaan. Sesudah itu, pada 1970-an sempat didatangkan hibah pesawat F-86 Avon Sabre eks RAAF Australia dan pesawat latih T-33 dari Amerika Serikat untuk menjaga kemampuan terbang para penerbang TNI AU. Kondisi memang sangat memprihatinkan ketika itu. Pada Operasi Seroja di Timor Timur 1976 masih dioperasikan pesawat tua, termasuk B-25 Mitchell dan pesawat-pesawat tua Dakota, untuk mendukung operasi tempur,” kata Didi.
Kondisi memang sangat memprihatinkan ketika itu. Pada Operasi Seroja di Timor Timur 1976 masih dioperasikan pesawat tua, termasuk B-25 Mitchell dan pesawat-pesawat tua Dakota, untuk mendukung operasi tempur,” kata Didi.
Dede Nasrudin menceritakan, pesawat-pesawat MiG-21 TNI AU kala itu grounded dan muncul 18 pesawat F-86 Sabre dari Australia. Selanjutnya, Indonesia mendapatkan 16 pesawat latih T-33 Thunderbird tahun 1973 dari AS.
Karena kekurangan pesawat tempur, TNI AU kemudian mempersenjatai pesawat T-33 itu. Kemudian pesawat tersebut digunakan dalam konflik Timor Timur sejak 1978.
Menjelang akhir dekade 1970-an, meski ada tekanan internasional terkait dengan operasi militer di Timor Timur, Soeharto berhasil meyakinkan Amerika Serikat untuk mendapat dukungan persenjataan, termasuk jet-jet tempur.
Hadirlah jet tempur yang ditampilkan dalam parade Hari ABRI pertama kali dan belum pernah terulang di Jalan Tol Jagorawi, 5 Oktober 1980. Jet-jet tempur itu adalah F-5E Tiger II (Skuadron Udara 14) yang dibeli baru dari Amerika Serikat dan jet tempur A4-E Skyhawk (Skuadron Udara 11 dan 12) bekas pakai yang dibeli dari Israel hasil Operasi Alpha yang diungkap dalam buku terbitan TNI AU, Elang Tanah Air di Kaki Lawu: Sejarah Pangkalan Udara Iswahjudi, 1939-2003.
F-5E dirancang sejak medio 1950-an oleh pabrikan Northrop. Pesawat dengan persenjataan dua kanon 20 milimeter M39 serta bom dan rudal AIM-9 Sidewinder yang legendaris. Pesawat-pesawat F-5E Tiger datang dengan diangkut pesawat angkut raksasa C-5A Galaxy yang mendarat di Lanud Iswahjudi, Madiun, Jawa Timur, 21 April 1980.
Teknisi Amerika Serikat melatih teknisi TNI AU. Pelatihan kepada penerbang TNI AU di Amerika Serikat dimulai dengan kehadiran mereka sejak 5 Desember 1979 dan 19 Januari 1980 di Lanud Williams di Negara Bagian Arizona.
Sebanyak 16 unit atau satu skuadron penuh F-5E dimiliki TNI AU. Operator F-5E adalah Skuadron Udara 14 yang sebelumnya mengoperasikan MiG-21 (1962-1970) dan F-86 Sabre (1974-1980).
F-86 Sabre dikenal kiprahnya dalam Perang Korea (1950-1953) dan F-5E Tiger termasyhur dalam Perang Vietnam yang dioperasikan Amerika Serikat dan sekutunya, Vietnam Selatan.
KSAU Marsekal (TNI) Yuyu Sutisna, yang lama mengawaki F-5E Tiger, mengatakan, pesawat tersebut membutuhkan keahlian khusus untuk mengendalikannya karena kecepatannya tinggi.
”Bentuknya sangat ramping sehingga kecepatannya tinggi dan harus pas mengatur pendaratan. Sangat mudah terjadi over shoot—melewati pendaratan—sehingga pesawat celaka,” kata Yuyu yang sempat berlatih dengan sesama penerbang F-5E Tiger dari Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Secara fisik, pesawat berbentuk mirip pensil terbang yang memiliki panjang 14,45 meter dan lebar bentang sayap 8,13 meter itu memiliki kecepatan terbang 940 knot atau 1,5 kali kecepatan suara!
Yuyu mengisahkan, dirinya mengalami era transisi F-5E yang mengalami modernisasi ibarat dari sistem analog ke digital yang serba terkomputerisasi. Ketika itu, KSAU Marsekal Rilo Pambudi, seusai mengunjungi Pameran Dirgantara Le Bourget di Paris, Perancis, berniat mengadakan upgrading pesawat F-5E yang sudah 13 tahun dioperasikan TNI AU.
Program modernisasi Tiger tersebut diberi nama ”MACAN” yang merupakan singkatan dari Modernisation of Avionics Capabilities for Armament and Navigation. Pemenang kontrak adalah SABCA, sebuah perusahaan Belgia.
Pada 1995 dialokasikan waktu 18 bulan untuk memodernisasi F-5E Tiger. Namun, dalam buku Sejarah Pangkalan Udara Iswahjudi diungkapkan, ada kendala pembuatan konfigurasi sistem avionik yang ditargetkan selesai dalam tujuh bulan ternyata terlambat hingga hampir dua tahun baru selesai.
”Saya adalah salah satu penerbang yang menguji dan menerbangkan pesawat program MACAN tersebut. Pesawat ini unik, bisa start scramble dengan satu mesin, lalu menjelang take off menyalakan mesin kedua,” kata Yuyu Sutisna dalam wawancara dengan Kompas, 2015.
Modifikasi yang dilakukan mencakup radar warning receiver, inertial navigation unit, pilot display unit, dan sistem airborne video camera recorder (AVCR). Sistem baru tersebut bisa mendeteksi ancaman rudal ataupun arah radar lawan secara 360 derajat.
Salah satu kenangan dalam menerbangkan F-5E Tiger, menurut Yuyu Sutisna, adalah ketika dirinya dalam satu penerbangan formasi empat pesawat terjebak awan badai kumulonimbus di atas perairan Laut Jawa di utara Cirebon saat terbang ferry dari Pekanbaru ke Lanud Iswahjudi, Madiun.
”Selama tiga-empat menit kami terjebak kumulonimbus. Bahkan, pesawat yang diterbangkan Errys Heryanto dihantam petir di bagian ekor. Pesawat anjlok dari ketinggian 37.000 kaki (10,6 kilometer) ke 13.000 kaki (4.000 meter). Kami tidak bisa saling berkomunikasi dan saling menjaga heading arah pesawat agar tidak bertabrakan,” kata Yuyu. Akhirnya, flight F-5E itu bisa lolos dari perangkap kumulonimbus.
Modernisasi MACAN sempat terhenti karena embargo Barat terhadap rezim Orde Baru setelah konflik di Timor Timur 1999. Meski demikian, para teknisi TNI AU akhirnya berhasil melakukan modernisasi MACAN mengacu pada pesawat yang sudah diselesaikan oleh Belgia.
Semasa Perang Dingin dan puncak kekuasaan Orde Baru pada 1980-an hingga 1990-an, F-5E Tiger menjadi tulang punggung kekuatan dirgantara yang terlibat dalam pelbagai operasi, termasuk menjaga Konferensi Tingkat Tinggi Nonblok di Jakarta pada 1992 hingga misi ”gila”, yakni merekam penembakan rudal Harpoon yang dilakukan Mayor Dradjad Rahardjo dan Letda Agung Sasongkojati sebagai juru kamera.
F-5E mereka terbang dengan kecepatan Mach 0,93 atau 1.000 kilometer per jam membuntuti rudal Harpoon. Peristiwa itu terjadi pada 3 November 1989.
Saat ini, F-5E Tiger TNI AU memasuki masa purnatugas. Salah satu pesawat ini kini menjadi koleksi tetap Museum Dirgantara Mandala.
Pada akhir dekade 1980-an didatangkan pesawat tempur baru, yakni F-16 Fighting Falcon tipe A dan B ke Lanud Iswahjudi, Madiun, Jawa Timur, dan dioperasikan di Skuadron Udara 3. Program Peace Bima Sena itu diawali dengan pengiriman 67 teknisi dan empat penerbang ke Amerika Serikat untuk latihan terbang dan perawatan pesawat.
Generasi pertama F-16 diterbangkan ferry dari Fort Worth, Dallas, Texas, Amerika Serikat, dan tiba di Lanud Iswahjudi pada 5 Desember 1989. Total 12 pesawat didatangkan memperkuat TNI AU.
F-16 TNI AU aktif dalam berbagai latihan bersama (Latma) dengan negara sahabat di antaranya adalah Elang Thainesia, Elang Ausindo, Cope West, Elang Malindo, dan Elang Indopura, serta kunjungan ke negara sahabat, seperti Thailand, Singapura, dan Australia.
Adapun pada 1994 didatangkan pesawat tempur BAE Hawk 100 dan 200 yang ditempatkan di Pontianak, Kalimantan Barat, dan Pekanbaru, Riau. Total ada 32 unit jet tempur Hawk 100 dan 200 yang dioperasikan TNI AU yang kini digantikan dengan pesawat tempur baru.
Setelah mengalami embargo dari Amerika Serikat pada awal Reformasi dan operasi militer di Aceh 2003, pengadaan pesawat tempur dan helikopter dari Rusia kembali dilakukan demi kepentingan menjaga keutuhan negara dengan pembelian jet tempur Sukhoi Su-27 dan Su-30 dari Rusia yang ditempatkan di Skuadron Udara 11 di Makassar, Sulawesi Selatan. Selain itu, dibeli pula helikopter Mi-17 dan helikopter serbu Mi-35 yang dioperasikan Pusat Penerbangan TNI Angkatan Darat (Puspenerbad).
Panglima TNI Marsekal (TNI) Hadi Tjahjanto mengatakan, pihaknya saat ini memprioritaskan pengadaan pesawat angkut dan helikopter angkut untuk menunjang pengembangan satuan pesawat tempur dan teknologi drone, radar, serta pasukan pengawak yang mampu beradaptasi dengan kondisi perang modern serta berbagai misi kemanusiaan.
Puluhan jenis pesawat tempur, helikopter, dan pesawat angkut di Museum Dirgantara Mandala diharapkan menjadi potret pentingnya kedaulatan dirgantara dan pengorbanan para angkasawan Indonesia sejak awal kemerdekaan, kini, dan masa mendatang. Jayalah Swa Bhuwana Pakca—Sayap Pelindung Tanah Air!
Penulis: Iwan Santosa | Fotografer: Iwan Setiyawan, JB Suratno, S Armansya,| Ferganata Indra Riatmoko, Dahono Fitrianto, Purnama Kusumaningrat, Dudy Sudibyo, Hendra A Setyawan, Arbain Rambey, Riza Fathoni, Alif Ichwan | Infografik: Novan Nugrahadi | Desainer & Pengembang: Rafni Amanda, Elga Pranata, Yulius Giann | Paralaks: Toto Sihon | Produser: Dahono Fitrianto
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.