Hikayat Kue Lebaran

Saat Lebaran, kukis dan kue basah jarang terlupa untuk disajikan. Meski mungil dalam ukuran, pesona yang dimilikinya amat besar. Penganan jenis ini bahkan menjadi antaran wajib bagi yang terkasih. Jauh sebelumnya, budaya itu sudah ada dalam kehidupan para bangsawan dan priayi zaman kolonial. Kehadirannya menunjukkan status sosial serta simbol toleransi.

Kini, lumrah rasanya menjumpai deretan toples bening berisi aneka kukis saat hari raya. Tak seperti dulu, kukis hanya dinikmati pejabat negara atau kaum ningrat. Ditinjau dari bahan yang digunakan, kukis Lebaran yang dikenal saat ini memang bukan merupakan kudapan asli Indonesia.

Arsip Kedai Nyonya Rumah
Kue Mata Merah untuk momen lebaran.

Pada zaman dulu, tepung terigu dan mentega, sebagai bahan dasar pembuatan roti dan kukis, merupakan komoditas mewah. Harganya cukup mahal karena diimpor dari Eropa. Oleh sebab itu, kedua bahan ini hanya bisa dinikmati oleh kaum menengah ke atas.

Lantas bagaimana kukis bisa menjadi hidangan identik saat Lebaran? Menurut Fadly Rahman, pengamat sejarah kuliner Nusantara dan dosen di Universitas Padjadjaran, hidangan kukis bermula dari budaya saling mengirimkan bingkisan atau parsel berupa makanan yang dilakukan para elite Eropa kepada para bangsawan atau priayi saat perayaan hari besar. Sebaliknya, mereka juga mendapatkan parsel berupa hidangan khas Nusantara, seperti ketupat, opor, dan kari (kerrie).

Arsip Kedai Nyonya Rumah
Kue Warna-Warni dan Yan Hagel untuk momen lebaran

Kebiasaan mengirimkan kukis buatan dapur sendiri dari resep yang diwariskan secara turun-temurun itu berkembang sekitar abad ke-19. Bahan-bahannya didatangkan langsung dari Eropa, seperti tepung terigu, susu, mentega, dan keju. Kelezatan kukis yang dibagikan itu amat mencuri perhatian masyarakat lokal dan pendatang China. Selera mereka menyatu dalam kukis.

Sebelum mengenal kukis, masyarakat biasa menyajikan hidangan khas, seperti dodol, opak, dan rengginang. Perlahan resep kukis semakin menyebar ke berbagai lapisan. Introduksi dilakukan melalui buku-buku resep dan demo masak yang diadakan kalangan orang Eropa. Tak ketinggalan, masyarakat Indonesia turut larut dalam tren tersebut. Mereka mencatat resep, menduplikasi, hingga memodifikasi beberapa resep dengan tujuan menyesuaikan selera.