Berbekal sebilah linggis, Opo Heselo menyisir ladang ubi jalar di belakang kediaman saudaranya. Melihat sekilas bagian batang yang terbesar, ia membuka tanah dengan linggis. Tangannya meraba, dan mengeluarkan umbi seukuran kepalan tangannya.
Umbi yang dipanen dikumpulkan di dekat kakinya. Ia melanjutkan mencari di petak lainnya. “Masih muda, jadi tidak banyak yang besar,” katanya sembari terus mencari ubi, Jumat (19/11/2021) siang di Wamena, Jayawijaya, Papua. “Ubi mau dipakai bakar batu ini,” kata dia, menambahkan.
Berjarak 20 langkah darinya, sejumlah pria sibuk mengangkat batu. Batu itu nantinya menjadi media masak.
Batu-batu itu disusun membentuk persegi. Di atas lapisan batu pertama ditumpuk dengan potongan-potongan kayu bakar. Sementara itu, di atas lapisan batu pertama dan kayu bakar kembali ditumpuk dengan batu membentuk persegi setinggi sekitar 30 centimeter.
Lapisan batu dan kayu itu kemudian dibakar. Api yang sudah menyala kemudian ditutup dengan dedaunan dari pohon cemara. Daun cemara yang berada di lapisan atas menghalangi nyala api sehingga hanya asap yang tampak membumbung tinggi.
“Ini sengaja ditutup biar panas apinya tidak keluar. Batu-batu ini akan siap digunakan ketika ada yang meledak. Artinya batu-batu itu sudah panas,” ucap Heselo.
Selain memanaskan batu, Heselo dan para kerabatnya juga menggali sebuah lubang dengan kedalaman sekitar 30 sentimeter, persis di samping lapisan batu dan kayu itu. Lubang itu bakal menjadi wadah untuk membakar ubi jalar, sayur-sayuran, dan daging ayam.
Setelah sekitar satu jam, batu yang telah panas itu dimasukkan ke dalam lubang menggunakan alat penjepit dari kayu. Alat itu dalam bahasa lokal disebut hapa.