Dari TNI untuk Tumpah Darah Indonesia
anpa propaganda berbentuk film, seperti Sniper, Shooter, ataupun Enemy at the Gates, Tentara Nasional Indonesia telah dikenal dunia berkat kepiawaiannya dalam menembak. Raihan juara umum di lomba menembak Australian Army Skill at Arms Meeting menjadi buktinya.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) bahkan telah sejak tahun 2008 hingga 2015, secara berturut-turut, meraih juara umum di lomba menembak Australian Army Skill at Arms Meeting. Tahun 2015, dari 50 emas yang diperebutkan, TNI menyabet 30 emas, 16 perak, dan 10 perunggu.
Tuan rumah Australia pada ajang tersebut hanya merah lima emas, US Marine—yang tersohor itu—hanya mendapatkan lima emas, sedangkan Inggris hanya kebagian tiga emas.
Padahal, Serda Juwadi, peraih dua emas untuk cabang petembak jitu (sniper) mengatakan, senapan accuracy weapon miliknya jelas kalah canggih dengan senjata para petembak dari negara-negara maju, seperti Australia, Amerika Serikat, dan Inggris. Namun, dia tetap percaya diri untuk membidik sasaran berjarak 200 meter hingga 1.200 meter.
Mereka melihat sasaran di teropong masih terang, kita sudah kabur-kabur karena memang versi kita kalah baru,” kenang Juwadi dari Komando Pasukan Khusus atau Kopassus (Kompas, Minggu, 31 Mei 2015).
Namun faktanya, di tengah keterbatasan, tim Indonesia tetap menjadi juara. Meski demikian, pasukan dari negara-negara maju itu sempat menuntut kontingen TNI untuk membedah senjata yang digunakan. Mereka curiga karena TNI begitu berjaya. Permintaan yang tentu saja langsung ditolak karena bila senjata TNI harus dibedah, negara-negara maju harus juga membedah senjata mereka supaya diketahui TNI.
Kemenangan di Australia membuktikan pasukan TNI tidak dapat diremehkan. Tentu saja, bukan senjatanya yang tidak dapat diremehkan, melainkan justru pasukan TNI itu sendiri!
Kepala Staf AD Republik Korea Jenderal Kim Kae Won menjuluki prajurit RPKAD sebagai prajurit terbaik dari dunia bebas. Kekaguman Jenderal Kim dilontarkan setelah menyaksikan latihan prajurit RPKAD di Citatah, Jawa Barat.
Jenderal Kim menyaksikan kemampuan prajurit RPKAD untuk naik gunung dan terjun melalui lereng gunung. Setelah itu, pasukan RPKAD mendemonstrasikan cara menangkap dan mengonsumsi daging-daging yang tidak biasa dimakan seperti ular.
Hanya saja, TNI sangat jarang terlibat konflik bersenjata di luar wilayah Indonesia. Tidak seperti prajurit AS, misalnya, yang ditampilkan dalam film seperti Black Hawk Down, We Were Soldiers, dan Flags of Our Fathers.
Ketika ada WNI yang disandera oleh Abu Sayyaf, TNI juga hanya bersiaga penuh, dan tidak melintasi tapal batas, meski telah siap tempur. Ini berbeda saat TNI ”mengejar” para pembajak Garuda Indonesia 206 pada 28 Maret 1981. Ketika itu, TNI menumpas tuntas pembajak dalam Operasi Woyla di Bandara Don Muang, Thailand. Apakah TNI kini kehilangan kemampuannya? Tentu tidak.
Meremajakan Alutsista
Kemampuan individual prajurit TNI jelas tidak terbantahkan. Tempaan alam dan keterbatasan sarana kerap mendorong kemampuan prajurit TNI hingga ke batas akhir. Keterbatasan sarana ini juga tidak hanya dialami ketika kita mempertahankan kemerdekaan di awal-awal masa revolusi dengan bambu runcing, tetapi juga hingga masa Orde Baru.
Kompas, Rabu, 9 September 1970, misalnya, melaporkan hanya kurang dari 40 persen pesawat AURI yang dapat terbang. Laporan di Kompas itu didapatkan dari pernyataan Wakil Panglima ABRI Jenderal Panggabean.
Sementara itu, Direktur Angkutan AD Brigjen Mustafa Kamal Nasserj mengatakan, ketika itu hanya 30 persen angkutan militer di darat yang dapat beroperasi. Menurut dia, usia prima angkutan militer hanya lima tahun, tetapi kini umumnya mencapai 15 tahun.
Walau sarana terbatas, waktu itu, ABRI tetap berupaya maksimal untuk rakyat. Di bawah pimpinan Mayor Udara Pandji Saleh, misalnya, AURI menerbangkan pesawat Gelatik untuk menyemprot sawat-sawah rakyat di Pameungpeuk, Jawa Barat. Jadi, AURI tidak hanya berperan untuk mempertahankan negara atau terlibat dalam masa-masa perang, tetapi juga saat damai, yakni dengan cara membantu petani, terutama di saat petani kesulitan karena serangan hama tanaman.
Belakangan, ketika PT Pindad (Persero) semakin berkembang, peremajaan terus dilakukan tanpa harus bergantung produk impor. Wakil Presiden Jusuf Kalla, misalnya, telah menyampaikan niat pemerintah untuk memesan 50 panser Badak. (Kompas, Sabtu, 23 Januari 2016). Pemesanan peralatan tempur itu sesuai keinginan Presiden Joko Widodo agar pemerintah terus meningkatkan pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) dari industri strategis nasional.
Panser Badak diharapkan dapat menggantikan panser Saladin, sebuah panser berpenggerak roda 6 x 6 yang dibuat pabrik Alvis dari Inggris. Saladin, yang kini masih dioperasikan TNI AD, ternyata diproduksi pada awal 1960-an.
Selain meremajakan ”alat perang” dengan memaksimalkan peran industri strategis seperti Pindad, TNI juga berburu senjata canggih dari luar negeri. Tahun 2016 ini, misalnya, TNI AU berhasrat mendatangkan pesawat tempur Sukhoi SU-35 dari Rusia.
Kiblat Indonesia memang tidak lagi melulu negara Barat, tetapi juga negara Timur. Indonesia tidak lagi sekadar menerima lungsuran pesawat F16 meski harga pembelian Sukhoi juga tetap harus diperhatikan sehingga kita mendapat manfaat maksimal sebanding dengan harga pembelian.
Proses negosiasi kini terus berlangsung. Mudah-mudahan, TNI mendapatkan ”alat tempur” terbaik demi untuk menunaikan tugas mereka di dalam menjaga tanah tumpah negara Indonesia.
Membantu Rakyat
Kini, ketika gesekan antarnegara tidak selalu berkembang menjadi konflik bersenjata, TNI akhirnya mengoptimalkan kemampuannya untuk membantu rakyat. Dan, hal itu sah-sah saja selama masyarakat benar-benar terbantu dengan kehadiran TNI.
Salah satu pro-kontra terkait keterlibatan TNI adalah ketika TNI dilibatkan dalam pengamanan di stasiun kereta api, baik stasiun kereta jarak jauh maupun stasiun komuter meski kehadiran TNI telah mampu membuat perjalanan kereta api lebih nyaman.
Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, TNI juga diperintahkan untuk memadamkan kebakaran hutan. ”Ini adalah operasi militer, selain perang,” kata Yudhoyono (Kompas, 16 Maret 2014).
Yudhoyono melanjutkan, ”Sampai asap dan api tidak ada lagi. Kalau ada yang kedapatan membakar lahan, tangkap dan penjarakan.” Ketika itu, kata Presiden, helikopter telah disiapkan untuk menyemprotkan air, tetapi tetap diperlukan prajurit di titik api untuk memadamkan api.
Di era Presiden Joko Widodo, TNI juga berperan dalam sejumlah bencana. Ambil contoh ketika banjir bandang menerjang Desa Pujiharjo di Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada Juli 2016, dan ketika banjir menghantam Garut, Jawa Barat.
Kerja-kerja kemanusiaan seperti itu yang menempatkan TNI di hati rakyat yang dijaganya. Dirgahayu Tentara Nasional Indonesia.
Galeri
Suka dengan tulisan yang Anda baca?
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.