Ada (Impor) Gula, Ada “Semut”

Manisnya gula tak hanya membuat lidah konsumen sulit berpaling. Lebih lanjut, manisnya (keuntungan) gula telah menjadikannya komoditas perdagangan yang diperebutkan, termasuk di tengah era pandemi Covid-19 seperti saat ini.

Begitu manisnya gula, mendorong pemenuhan kebutuhannya dilakukan secara instan, yaitu dengan cara impor dari negara lain. Padahal, ada program swasembada dan revitalisasi pabrik gula yang mengolah tebu petani. Belum lagi hadirnya 10 pabrik gula baru yang dibangun pemerintah.

Di tahun pandemi ini, kebijakan dan regulasi tentang gula makin berwarna-warni, terutama untuk memperlancar masuknya gula impor, baik gula mentah (raw sugar) maupun gula konsumsi. Gula mentah merupakan bahan baku gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman.

kompas/priyombodo
Pekerja memanggang roti di industri roti skala kecil Langgeng Sari di kawasan Bendungan Hilir, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (23/5/2018). Industri ini rentan terdampak kenaikan harga bahan baku, seperti gula.

Padahal, Kementerian Pertanian memperkirakan, produksi gula nasional pada tahun ini bisa mencapai 2,42 juta ton atau naik 0,16 juta ton dari tahun 2019 yang sebanyak 2,26 juta ton.

Bahkan pada periode Juni-Juli 2020 yang merupakan puncak musim giling tebu, produksi gula nasional diperkirakan mencapai 430.000-530.000 ton. Sementara, Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) memprediksi, kebutuhan gula Indonesia pada 2020 mencapai 6,8 juta ton.

Memang, jumlah produksi gula tahunan nasional ini belum mampu mencukupi kebutuhan gula konsumsi dan gula industri yang masing-masing kisarannya sebesar 3 juta ton per tahun.

kompas/priyombodo
Gula kristal rafinasi.

Kekurangannya, terutama untuk kebutuhan bahan baku industri, harus diimpor dari sejumlah negara. Namun kerap kali petani menilai impor gula dari negara lain kurang terukur.